Sebagai seorang pelajar saat-saat jadwal liburan sudah barang tentu digunakan untuk mengisi dengan berbagai kegiatan. Mulai dari berwisata, bertemu dengan keluarga, magang, atau berkreasi lainnya. Hal ini juga saya lakukan di liburan menuju semester genap ini. Awalnya saya mengisi dengan kegiatan pengenalan kampus bersama teman-teman, mengikuti tes beasiswa dan merampungkan buku saya. Saat mengikuti tes beasiswa, saya bertanya mengenai info beasiswa tersebut kepada salah satu senior SMA saya yaitu Mas Mukhlis Ndoyo Said ( Cak Mukhlis ) yang dulu pernah mendapatkan beasiswa itu, serta dia juga mantan Presiden KM ITS 2013-2014. Perbincangan kami ternyata tidak berhenti terkait beasiswa itu. Esok hari Mas Mukhlis mengajak saya untuk penelitian di situs megalitikum (masa batu besar pada zaman pra aksara ) di daerah Banyuwangi, karena ia mengetahui bahwa saya berkuliah di jurusan Ilmu Sejarah.
Mas Mukhlis kemudian mengabarkan bahwa rencananya akan berangkat di hari Rabu malam (15/01). Selepas Ashar di hari Rabu, saya langsung menuju ke kontrakan mas Mukhlis di dekat ITS. DI kontrakannya saya juga bertemu dengan kawan baru yang kebetulan semua adalah mahasiswa ITS dengan beragam jurusan. Pertama saya berkenalan dengan mas Ujang, mahasiswa Geofisika yang juga ikut dalam penelitian ini. Dia berasal dari Jember dan berambut gondrong sama seperti saya. Dia mengatakan bahwa baru saja dia meminjam peralatan untuk penelitian seperti palu, GPS, dan kompas di kampus. Berikutnya, didalam kamar saya juga bertemu dengan Mas Budi yang se angakatan dengan mas Mukhlis di ITS. Dia juga mempunyai bisnis yaitu Dawet Sejedewe, minuman khas Indonesia. Ia dulu memulai bisnis dengan mas Mukhlis, namun ia kini menjalani bisnis itu dengan sendiri. Bahkan di depan kamarnya terdapat mesin untuk menggiling dawet dan pembuat santan. Selepas Magrib, adik tingkat mas Ujang di Geofisika juga datang dan ikut dalam penelitian kali ini, yaitu mas Hamzah yang berasal dari Lumajang.
Sebelum kami berangkat, mas Mukhlis sudah menghubungi salah satu temannya untuk meminjam mobil dan membeli makan malam yang porsinya edan. Bahkan saya sudah terlalu kenyang untuk menghabiskan makan malam yang terdiri dari nasi empog ( nasi jagung ) , telur ceplok, dan tumis sayuran. Selepas Isya kami ber enam akhirnya berangkat dan pertama-tama kami akan menuju ke Stasiun Sidoarjo untuk menjemput mas Sigit, yaitu seorang berambut gondrong yang menyukai plesiran dan hal yang berbau sejarah atau budaya. Malam hari jalan semakin sepi, sehingga hanya satu jam kami sampai di Stasiun. Lalu sejenak kami minum kopi dan berbincang dengan warga dan mas Sigit yang katanya sebagai pemanasan. Kami melanjutkan perjalanan ke Banyuwangi tepat pada pukul 23.30 WIB.
Tak terasa saat shubuh kami sampai di daerah Asembagus ,Situbondo. Kami memutuskan untuk berhenti di Pasar Pabrik untuk membelikan oleh-oleh yang akan dibawa ke Banyuwangi dan menunaikan sholat Subuh disana. Pada pagi hari itu saya melihat kesibukan di pasar itu. Komoditas yang dijual kebanyakan adalah sayur dan buah. Kami disana membeli buah naga, salak dan ketela. Mayoritas masyarakat disana berbahasa Madura. Untungnya karena dirombongan kami ada yang bisa bahasa Madura yaitu mas Rahmat, ia berhasil menawar harga buah yang kami beli. Terdapat buah yang menarik perhatian saya adalah buah pisang merah. Sesuai namanya buah ini memang berwarna merah dan cukup besar ukurannya dibanding dengan jenis pisang yang lain.
Komoditas hasil perkebunan yang banyak dipasarkan |
Perjalanan kami lanjutkan menuju rumah salah satu mantan petugas Taman Nasional Baluran, yaitu Mas Heru, di Situbondo yang berbatasan dengan Banyuwangi. Kami sampai disana masih pagi sekali, bahkan udara disana ditambah angin yang kencang mewarnai sejuknya pagi itu. Sampai dirumahnya, kami langsung saja tiduran di teras rumahnya dan dibuatkan kopi, sedang mas Heru melanjutkan untuk memupuk di sawahnya. Kami yang masih merasa kurang tidur dan kelelahan akhirnya memutuskan untuk istirahat disana. Sampai pada pukul 07.00 WIB. Mas Budi menjemput ketua Karang Taruna dusun setempat yaitu mas Slamet, yang rumahnya berjarak tidak terlalu jauh dengan rumah mas Heru. Makin bertambah kenalan orang baru saya di hari itu. Kemudian Mas Slamet mengajak kami untuk sarapan dirumahnya. Saya melihat dibelakang rumah mas Slamet ternyata sudah Laut Utara Jawa. Disana terdapat banyak perahu nelayan yang sedang diparkir di bibir Pantai Pandean, Wonorejo, Situbondo. Di pagi itu juga saya melihat kesibukan nelayan yang sedang membenahi kapal, merakit jaring, atau sekadar membersihkan kapal. Komoditas ikan menjadi tulang punggung masyarakat disana, seperti ikan tongkol, teri dan sebagainya. Disana juga sudah ada pengelolaan ikan segar untuk dikemas dan siap dipasarkan. Mas Slamet sebagai pemuda dusun juga mengembangkan koperasi di dusun itu.
Dari Kanan : Mas Sigit , mas Slamet, dan seorang pemuda dusun, di teras rumah mas Heru |
Suasana Pantai Pandean dan perahu nelayan yang tersandar disana |
Setelah sarapan kami memutuskan untuk menuju ke lokasi situs arkeologi di Dusun Maelang dan Dusun Tangkup, Banyuwangi. Lokasi ini tidak terlalu jauh dengan Taman Nasional Baluran dan rumah mas Slamet. Pertama-tama kami menuju ke pos PERHUTANI untuk izin penelitian kami. Lokasi ditemukannya sumber daya arkeologi ini berada di tengah ladang di dusun tersebut, sehingga mengharuskan kami untuk berjalan kaki. Kami memarkir mobil di depan masjid yang tidak jauh dengan jalan menuju lokasi. Awalnya mas Sigit yang sudah sering kali kesini memimpin perjalanan, namun ditengah perjalanan kami menyadari bahwa jalan yang kita pakai salah. Memang disana tidak ada penanda yang secara langsung menunjukan rute ke lokasi tersebut. Disana juga terdapat ladang jagung milik warga. Alhasil kami harus menerobos di ladang jagung tersebut. Beberapa aliran sungai juga kami lewati. Perjalanan menuju lokasi kurang lebih selama tiga puluh menit. Disarankan ketika menuju lokasi membawa peralatan tracking atau hiking karena jalannya juga naik turun.
Lokasi yang pertama kita teliti yaitu sebuah goa batu yang memiliki bentuk seperti rumah. Terlihat juga susunan batu yang menyerupai atap goa memiliki lapisan dan patahan yang sangat rapi. Didalam goa terdapat beberapa lubang besar dan lubang kecil yang memiliki tafsiran yang berbeda-beda. Lubang itu juga ada yang diluarnya nampak memiliki bekas asap, jadi di permukaan dinding goa terdapat warna hitam seperti bekas pengasapan. Di atap goa terdapat lubang yang ditafsirkan memiliki fungsi sebagai saluran air dari atas. Selain itu lubang kecil didalam goa bentuknya menyerupai dakon ( permainan tradisional ).
Mas Ujang dan mas Hamzah langsung saja meneliti struktur dan jenis batuan yang ada di goa itu. Menggunakan palu yang sudah disiapkan mereka mengikis sedikit di tiap lapisan batu penyusun di goa. Mereka juga telah menyiapkan larutan HCL untuk meneliti apakah batuan disana mengandung kapur atau tidak. Beberapa batu dapat bereaksi ketika ditetesi HCL ,namun beberapa tidak bereaksi. Mereka juga membawa pulang beberapa jenis batu yang ditemukan di goa itu untuk dijadikan sempel penelitian dikampus.
Disepanjang jalan meuju lokasi juga terdapat beberapa batu yang memiliki struktur sama dengan batuan di goa |
Lapisan atap goa yang memiliki struktur batuan sangat rapi |
Suasana di dalam goa |
Jenis batuan yang berbeda di dalam goa |
Jika dikelilingi maka situs ini memiliki luas yang cukup besar |
Dalam penelitian kali ini kami memiliki disiplin ilmu yang berbeda. Dilihat dari sudut pandang geofisika maka di goa tersebut memiliki jenis dan struktur batuan yang berbeda-beda, contohnya terdapat batu yang memiliki kandungan kapur bereaksi ketika ditetesi larutan HCL. Jika dilihat dari sudut pandang sejarah ( sebenarnya yang lebih tepat adalah dengan sudut pandang arkeologi ) , menurut buku terkait sejarah pra aksara dan artikel bebas yang saya baca, goa ini merupakan tinggalan zaman Megalitikum. Dilihat dari temuan dinding goa yang menggunakan batu dan disusun secara rapi dan terstruktur. Goa itu juga masih ditafsirkan sebagai tempat tinggal nomaden dan sebagai salah satu wilayah bercocok tanam masa lampau. Disekitaran goa juga banyak dialiri sungai, yang mana sungai merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Situs ini kemudian dinamai Maelang, karena tempat dimana lokasi ini ditemukannya. Maelang sendiri merupakan bahasa Madura yang artinya memperhilang atau sengaja dihilangkan. Mitos yang terdengar di daerah sana, dahulu memang terdapat peradaban yang pernah tinggal disana namun lama-kelamaan tempat itu ditinggalkan dan memang "sengaja" untuk dihilangkan. Berdasarkan http://www.kabarbanyuwangi.info/tim-bpcb-trowulan-teliti-sumberdaya-arkeologi-di-desa-watukebo.html di lokasi itu memang pernah dilakukan penelitian dan banyak ditemukan sumber daya arkeologi yang berserakan. Menurut saya, sumber daya arkeologi di Maelang alangkah sebaiknya jika balai arkeologi ataupun dinas terkait dan lembaga peneliti lain mengekskavasi atau meneliti lebih lanjut lokasi tersebut, agar terlihat dan terhimpun dengan jelas hasil kebudayaan yang ada di Maelang.
Setelah kami meneliti dan sedikit berdiskusi untuk membahas hasil temuan dilokasi, kami melanjutkan ke dusun dibawah Maelang, yaitu dusun Tangkup. Terdapat perbedaan yang mencolok utamanya terkait sumber daya arkeologi yang ditemukan di dua dusun yang berdekatan ini. Di dusun Tangkup, banyak ditemukan gerabah yang ditafsirkan adalah peninggalan Dinasti Ming. Selain itu kami juga menelusuri aliran sungai disana. Terdapat sebuah waduk pula disana. Kami kemudian menelusuri kebawah. Kami mendapati aliran sungai tersebut mengalir ditengah-tengah batu besar yang terpisah. Pemandangan indah itu kemudian kami abadikan dengan berfoto di batu itu. Konon terdapat mitos setempat bahwa dialiran sungai itu dikeramatkan. Dinding batu disana juga memiliki lapisan yang berbeda-beda dan memiliki pemandangan yang cukup indah.
Dibalik batu besar itu terlihat pemandangan alam yang cukup indah |
Akhirnya setelah kami selesai meneliti disana pada pukul 15.30 dan langsung kembali ke rumah mas Slamet. Sore hari di Pantai Pandean memiliki ketertarikan tersendiri. Pemandangan langit sore ditambah angin sepoi-sepoi membuat saya merasakan kenyamanan disana. Kami disana juga disambut dengan baik oleh warga dan pemuda desa. Karena mas Mukhlis sudah berulang kali kesana, bahkan ada beberapa orang yang sudah akrab dengan mereka. Kami beristirahat sejenak di rumah mas Slamet hingga kurang lebih pukul 21.00 kami memutuskan untuk berpamitan pulang ke Surabaya. Namun, sebelumnya kami juga berpamitan pada mas Heru, bahkan malam itu kami disuguhi kolak yang masih hangat. Kami sampai di Surabaya pada waktu Shubuh esok harinya.
Dari atas kiri : mas Mukhlis, mas Ujang. Bawah kiri : mas Slamet, mas Sigit, mas Budi di dalam foto penelitian beberapa waktu lalu. Matur nuwun sudah membuka jendela ilmu saya. |
Komentar
Posting Komentar