"Dari Depok Kecil ke Depok Besar: Sahabat-sahabat dan Sastra Indonesia Universitas Indonesia"
PENULIS : HARRITS RISQI BUDIMAN
Rasanya masih tak percaya bahwa saya bersama teman-teman saya melewati cerita tahap kedua yang kami rencanakan dengan sangat mengejutkan pada awalnya. Tahap kedua? Ya, ini cerita lanjutan tidak terduga dari tahap pertama kami demi meraih jurusan dan perguruan tinggi favorit kami. Kami mengucapkan terima kasih banyak kepada Allah, orang tua, dan seluruh orang yang membantu dalam proses mewujudkan impian kami ini.
Mungkin ada yang pernah membaca cerita saya masuk ke UGM sebagai mahasiswa ilmu filsafat tahun lalu sekaligus teman-teman saya di kampus lain. Cerita itulah tahap pertamanya dan ini adalah tahap keduanya. Sebenarnya kurang tepat jika saya menyebut ini sebagai tahap; saya sebut ini sebagai bab, seperti bab dalam buku yang mengisahkan bagian cerita. Saya akan menceritakan ini dari awal.
SEBAGAI MAHASISWA ANGKATAN 2015
Tahun 2015 adalah tahun yang menyenangkan sekaligus haru bagi kami bertiga. Saya, Yunaz, dan Nafizal akhirnya merasakan suasana yang benar-benar baru, yaitu suasana perkuliahan yang hampir semuanya berbeda dengan masa sekolah menengah. Meski tujuan awal kami adalah satu kampus yang sama, hasilnya berkata lain. Kami terpisah di tiga perguruan tinggi berbeda di tiga kota. Saya di Ilmu Filsafat UGM, Yogyakarta; Yunaz di Ilmu Sejarah UNAIR, Surabaya; dan Nafizal di Manajemen UB, Malang. Uniknya, baru kami sadari saat masuk perkuliahan, ketiga kota tersebut adalah jalur perjalanan kami saat berjuang untuk tes masuk perguruan tinggi, dimulai dari Malang, transit di Surabaya, dan tes di Yogyakarta.
Kami masih sering menanyakan kabar dan berbagi cerita walaupun perjuangan bersama kami sudah usai saat itu. Kami pun bahkan menyusun acara pertemuan kecil yang kami lakukan 10 Oktober 2015 di Batu. Kami berbagi pengalaman kami selama di kampus masing-masing.
ALASAN MEMILIH UNTUK MENINGGALKAN
Menjelang akhir Oktober, saya mulai merasa adanya ketidakcocokan saya dan ilmu filsafat. Saya sudah menuliskan alasan saya tidak cocok dengan ilmu filsafat di tulisan-tulisan saya sekitar Oktober, November, dan Desember 2015. Saya merasa tidak cocok dengan dua hal: jurusan dan lingkungannya. Selain itu, sebagai alasan utama, saya lebih suka belajar mengenai kebahasaan, terutama bahasa dan sastra Indonesia. Saya ingin belajar linguistik.
Saya mulai berpikir untuk mengikuti tes lagi. Bukan hal mudah untuk memutuskan apakah saya akan mengikuti tes lagi atau tidak. Namun, akhirnya semua menjadi satu keputusan pasti: saya ikut tes lagi. Saya mulai menceritakan hal tersebut kepada orang tua dan beberapa anggota keluarga besar. Awalnya saya sangat takut untuk menceritakannya dan tentu saja saya ditanyai alasan mengapa saya ingin pindah. Beruntung saya memiliki orang tua yang mau mengerti. Mereka tidak menjawab dengan kata “ya” atau “tidak”. Jawaban mereka adalah jika ini keputusan terbaik saya, mereka akan mendukung saya dan mendoakan hasil yang terbaik. Lancar meminta izin kepada orang tua bukan berarti yang lain juga lancar. Beberapa anggota keluarga besar lainnya malah tidak setuju jika saya pindah. Di saat itulah seorang teman saya yang sudah berkuliah di UI menyemangati saya untuk tetap mengejar impian saya. Akhirnya, saya terus mencoba untuk menjelaskan alasan saya ingin pindah. Lama-lama mereka mengerti dan sedikit demi sedikit mengizinkan.
Alasan saya sudah jelas untuk memilih sastra Indonesia, yaitu dikarenakan saya sangat tertarik dengan sastra. Saya ingin mengambil konsentrasi linguistik. Pertanyaan selanjutnya yang paling sering ditanyakan oleh teman-teman saya adalah mengapa harus UI. Ada beberapa alasan untuk hal ini. Alasan pertama, jujur saja, insting dan feeling. Alasan kedua adalah UI merupakan salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Selanjutnya, FIB UI, fakultas yang membawahi sastra Indonesia, adalah fakultas dengan jumlah prodi sastra terlengkap sekaligus salah satu fakultas budaya yang paling tua di Indonesia. Karena tertua dan terlengkap, fasilitasnya juga pasti lebih lengkap. UI juga dekat dengan Jakarta. Jakarta adalah salah satu kota tujuan yang sudah saya tulis dalam tulisan A Big Plan yang saya buat. Teman-teman yang pernah masuk kamar indekos saya pasti pernah melihat tulisan tersebut. Alasan sederhana mengapa ingin di UI karena tidak ada yang lain, just U and I. :)
Ketika saya sudah mendapat izin dari keluarga, saya menceritakan keinginan saya untuk pindah kepada Yunaz. Saya lupa kapan saya menceritakan itu, yang jelas saat itu siang hari, sepulang saya kuliah. Kalau tidak salah, itu sekitar bulan November. Saya mengirim pesan di Line kepada Yunaz bahwa saya sepertinya akan tes lagi. Yunaz segera memberi respons. Sepertinya dia terkejut. Awalnya, ia bertanya-tanya melalui pesan. Setelah itu, saya ditelepon oleh ia. “Kenapa ingin pindah?”, “Apa kamu tidak rugi umur?”, dan “Bagaimana pendapat orang tuamu?”adalah pertanyaan-pertanyaan awal yang diucapkan Yunaz. Saya kemudian menjelaskan semua.
Beberapa hari berlalu, tanpa saya sangka, Yunaz mengirim pesan kepada saya. Ia menyampaikan bahwa ia sebenarnya juga ingin mengejar impiannya untuk berkuliah di jurusan arkeologi, tetapi ia masih mempertimbangkan beberapa masalah dan ia juga belum berani bilang ke orang tuanya. Saat itu, perasaan saya mengatakan bahwa sepertinya kami bertiga (saya, Yunaz, dan sepertinya Fizal juga) akan tes lagi dengan tujuan memperjuangkan jurusan yang benar-benar kami inginkan sejak awal.
Saya dan Yunaz terus memberi kabar. Akhirnya, Yunaz bilang bahwa ia sudah bicara kepada ibunya dan kakaknya. Meskipun begitu, belum ada jawaban positif. Bahkan, kakak Yunaz sepertinya tidak setuju dengan keputusan Yunaz yang ini. Kakak Yunaz berkata bahwa biaya hidup di daerah sana (Jakarta dan sekitarnya) lumayan tinggi. Ia tahu karena ia pernah di sana untuk coas. Kakak Yunaz saat itu mahasiswa jurusan kedokteran hewan di UB. Sekarang ia menjadi asisten dosen di UB.
Menjelang akhir bulan Desember, Yunaz memberi kabar positif. Akhirnya, ia diizinkan untuk mengikuti tes. Hal yang mengejutkan adalah Nafizal juga berencana untuk tes lagi. Saya diberi tahu mengenai hal itu oleh Yunaz. Benarlah perasaan saya bahwa kami bertiga akan tes lagi.
Alasan Yunaz ingin pindah adalah ia ingin mengejar impiannya berkuliah arkeologi. Selain itu, ia merasa kurang jauh dari rumah. Semakin jauh merantau, semakin banyak pengalaman. Itu merupakan salah satu pepatah yang kami pegang erat. Sementara itu, alasan Nafizal pindah juga tak jauh beda dengan Yunaz. Memang ia sudah berkuliah di jurusan manajemen, tetapi bukan di universitas yang ia harapkan. Ia ingin lebih jauh. Merantau adalah hal penting.
Setelah semuanya membawa kabar positif untuk tes lagi, kami membuat obrolan grup di Line. Lewat sanalah kami berkomunikasi hampir setiap hari. Kami menyusun rencana apa saja yang harus kami persiapkan. Agar lebih mudah merencanakan, kami perlu bertemu secara langsung. Kebetulan saya, Yunaz, dan teman-teman lain dari Imaba Jogja dan Imaba Surabaya akan merencanakan kegiatan sosialisasi kampus pada bulan Januari di Batu. Nah, sekalian saja, kami sepakat untuk bertemu pada bulan itu.
JANUARI
Usai jadwal yang lumayan sibuk untuk sosialisasi kampus, kami bertiga akhirnya bertemu. Saya lupa tanggal berapa. Kami awalnya berencana bertemu di sekitar hutan kota. Pada malam sebelum hari bertemu itu, Yunaz bilang bahwa ia sedang sakit gigi dan sepertinya tidak bisa datang pada hari yang telah direncanakan. Rencana bertemu itu hampir saja tidak jadi. Namun, pada pagi hari setelah malam itu, Yunaz bilang bahwa dia akan mengusahakan datang. Saya berpikir positif saja bahwa hari itu semua bisa datang. Saya mulai mempersiapkan diri. Rencana berangkat pukul 08.00 molor satu jam karena bapak saya sedang pergi dan tidak ada yang mengantar ke pemberhentian bus. Maklum, rumah saya terpencil, sekitar lima kilometer dari jalan utama (jalan provinsi Malang – Kediri). Yunaz akhirnya berkata bahwa ia bisa datang. Ketika bapak saya datang, segera saya diantar untuk naik bus. Saya berangkat sekitar pukul 09.00 dan sampai di hutan kota sekitar pukul 10.00. Di sana saya menunggu di gazebo. Seperti biasa, banyak orang pacaran di sana. Saya menunggu Yunaz sekitar lima belas menit. Kedatangan Yunaz diiringi oleh hujan deras. Kami berteduh di sekitar sana bersama banyak orang. Saking derasnya, jaket yang kami kenakan menjadi basah sebagian.
Setelah hujan agak reda, saya dan Yunaz ke tempat makan langganan kami, yaitu warung mie ayam yang ada di belakang Masjid Sultan Agung. Tak lama setelah kami memesan makanan, Fizal datang. Saya selalu suka jika berkumpul bertiga seperti itu. Ada guyonan khas dari Fizal dan Yunaz yang sering membuat saya tidak berhenti tertawa. Nah, di saat itulah Fizal membawa ide bagus. Ia menawarkan bagaimana jika kami bertiga belajar dengan cara membeli CD Zenius per mata pelajaran. Kebetulan Fizal sudah punya CD matematika dasar dan pembelajaran self-learning (semacam pengenalan konsep diri dan konsep belajar yang benar). Ia berkata bahwa CD itu memberi pengaruh yang sangat besar setelah ia lihat materinya. Fizal pun mengatakan bahwa teman kami, Farah, yang dulu tes bersama kami dan sekarang di Pariwisata UGM, dulu juga menggunakan Zenius. Saya ikut menambahkan bahwa ada teman saya yang juga menyarankan untuk memakai Zenius karena dia sendiri memakainya dan lolos ke UI. Selain itu, saya juga pernah membaca testimonium dari beberapa pengguna Zenius bahwa ada pengaruh besar dalam cara mereka belajar setelah mereka memakai Zenius. Saya dan Yunaz setuju untuk menggunakan Zenius.
Kami bertiga kemudian menentukan CD apa saja yang akan kami beli. Kami sepakat membeli CD berdasarkan mata pelajaran yang kami anggap cukup rumit. Mata pelajaran itu adalah bahasa Indonesia, bahasa Inggris, ekonomi, dan geografi. Saya menanggung biaya untuk pembelian CD bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Yunaz menanggung biaya untuk dua CD lainnya. Fizal bertugas sebagai pembelinya. Jadi, kami tinggal memberi uang kepada Fizal. Karena saat itu kami sedang kekurangan uang untuk membeli CD, kami sepakat akan membelinya pada bulan Februari. Intinya, empat CD mata pelajaran tersebut ditambah dua CD milik Fizal harus bisa dipakai kami bertiga meski di tempat yang berbeda. Caranya? Rahasia. :)
Hari itu kami akhiri tidak sampai malam karena Yunaz tidak tahan dengan giginya yang sakit dan ingin segera pulang. Saya pun ada acara bertemu dengan adik kelas Bahasa untuk memberikan foto-foto Bulan Bahasa. Setelah itu saya pulang.
Itu adalah pertemuan saya yang terakhir dengan mereka pada bulan Januari dan terakhir bertemu Fizal sampai bulan Mei. Sementara itu, Yunaz berencana untuk berkunjung ke Jogja pada bulan Februari. Saya akhirnya pulang sekitar tanggal 20-an karena ada acara bertemu dengan dosen PA untuk berkonsultasi mengenai KRS (Kartu Rencana Studi) semester II sekaligus pengisiannya.
FEBRUARI
Yunaz datang pada tanggal 12. Selain untuk bermain, ia juga datang untuk membawa CD Zenius milik Fizal. Saat itu pula, saya memberi uang ke Fizal lewat Yunaz untuk membeli CD Zenius yang menjadi tanggungan saya.
Kira-kira satu atau dua minggu kemudian saya dikirimi empat CD Zenius oleh Yunaz. Di dalamnya kiriman itu juga ada sobekan tas FIB UI. Yunaz bilang dia dulu mendapat itu tidak sengaja di jalan dan sebagian sobekan itu ada di Yunaz dan sebagian dikirimkan ke saya. CD yang dikirim sesuai pesanan, yaitu CD mata pelajaran yang kami butuhkan. Di dalam CD bahasa Indonesia dan bahasa Inggris ada bonus voucher Zenius yang bisa saya gunakan untuk streaming video materi Zenius di situsnya. Nantinya, voucher ini saya gunakan pada bulan Mei akhir. Pembelajaran dengan Zenius saya mulai hari itu juga, ketika kiriman CD datang.
Bulan Februari itu perkuliahan semester II dimulai. Awal perkuliahan itu saya merasa bersemangat. Namun, masalah tak terduga datang. Saya selalu tidak bisa tidur pada malam hari; saya insomnia. Saya sudah berusaha menguranginya dengan mengehentikan semua aktivitas saya pada pukul 21.00 WIB, tetapi hasilnya tetap saja. Parahnya, hal ini berlangsung hingga satu atau beberapa bulan kemudian. Semakin lama insomnia ini semakin parah. Bahkan, saya pernah baru bisa tidur pukul 04.30. Oleh karena itu, saya sering kehilangan jam kuliah pagi saya, seperti pada mata kuliah filsafat barat modern dan bahasa Indonesia.
Sejak bulan Februari pula kami bertiga menyusun rencana untuk pilihan jurusan dan perguruan tinggi dalam tes nanti. Tentu ini tidak boleh saya sia-siakan dan saya harus optimis terhadap apa yang benar-benar saya perjuangkan. Sastra Indonesia UI sudah pasti ada di urutan pertama. Saya agak bingung menentukan pilihan kedua dan ketiga untuk SBMPTN dan SIMAK UI. Begitu pula yang terjadi dengan Yunaz. Yunaz sudah menentukan pilihan pertamanya pada Arkeologi, tetapi masih bingung untuk pilihan kedua dan ketiganya. Berbeda dengan saya dan Yunaz, Fizal sudah lebih dulu menentukan pilihannya, yaitu manajemen dan ilmu ekonomi di UGM, baik pada SBMPTN maupun UTUL UGM. Kesimpulan sementara yang kami dapat pada bulan itu adalah saya akan memilih Sastra Indonesia UI, Ilmu Sejarah atau Arkeologi UI, dan Sastra Indonesia UGM. Intinya, saya ingin keluar dari filsafat. Yunaz akan memilih Arkeologi UGM, Arkeologi UI, dan Sejarah UI. Fizal sudah jelas. Oh iya, Yunaz punya perjanjian tidak tertulis dengan mamanya. Ia boleh mengikuti tes lagi dengan syarat tidak memilih sejarah pada pilihannya. Oleh karena itu, pemilihan jurusan sejarah masih diragukan kepastiannya. Kesimpulan selanjutnya, kami bertiga akan tes di Jogja, baik SIMAK maupun UTUL. Sementara itu, untuk SBMPTN, kami rencananya akan tes di tempat masing-masing karena berbagai alasan.
Hal yang tidak saya sangka adalah Yunaz memutuskan untuk ikut SIMAK. Argumennya simpel, yaitu ia ingin tempat yang lebih jauh. Hal ini berkaitan dengan keyakinan kami bahwa semakin jauh perjalanan, maka semakin banyak pengalaman. Pemilihannya untuk ikut SIMAK juga didasari karena UI sangat dekat dengan daerah pusat, tempat seluruh pusat aktivitas berada dan harapan relasi semakin banyak. Alasan lucu-lucuannya sih agar bisa berdemonstrasi di pusat pemerintahan. :)
Kami juga mulai mencari penyemangat berupa video. Semua video profil universitas, fakultas, dan apa saja mengenai hal-hal tersebut kami unduh dan kami putar hampir setiap hari. Saya mengunduh video profil UI, OKK UI 2015, dan profil FIB UI. Saya justru tertarik dengan video profil FIB UI karena semuanya disajikan secara lengkap, mulai dari visi, prodi, fasilitas, sampai hal yang paling membuat saya betah melihat video tersebut, yaitu musik latarnya. Video tersebut berjudul Profil FIB UI 2015.
MARET
Saya ingin sekali ikut tes SIMAK di Depok, tetapi keadaan tidak memungkinkan. Salah satu kendalanya adalah saat tes SIMAK, yang dijadwalkan akan diselenggarakan pada tanggal 5 Juni 2016, saya perkirakan akan bertepatan dengan hari efektif perkuliahan atau UAS. Padahal, saya ingin sekalian jalan-jalan ke UI jika tes di sana. Untuk menginap, ada teman saya yang siap menampung saya. Ia bilang bahwa jika saya jadi tes di sana, saya naik kereta saja dan turun di Pasar Senen kemudian akan menjemput.
Menurut saya, dengan mengambil tempat tes di daerah universitas tujuan, akan menambah semangat dalam tes nanti, apalagi jika sempat mengunjungi universitasnya. Hal ini sudah saya lakukan ketika tes tahun lalu dan memang menambah semangat. Di salah satu bagian CD Zenius, kalau tidak salah bernama Zenius Learning, pemateri dan sekaligus pendirinya, Sabda PS, juga mengatakan bahwa mengunjungi universitas tujuan adalah hal penting.
ZENIUS
Cerita sedikit pengalaman menggunakan Zenius bolehlah, ya? Jadi, untuk yang belum tahu, Zenius ini adalah semacam media pembelajaran. Kalau dibilang bimbel, sepertinya kurang tepat, tetapi kita sebut saja ini sebagai bimbel agar lebih mudah. Kelebihannya dari bimbel lain adalah mereka tidak hanya mengajarkan bagaimana mengerjakan soal dengan baik, tetapi juga penguatan penalaran sehingga selain berpengaruh pada mengerjakan lebih mudah, efek belajar penalarannya sangat berpengaruh pada cara pandang di kehidupan nyata. Ada pula di bagian self-learningSabda menjelaskan pentingnya percaya diri dan kekuatan yakin terhadap sesuatu. Sampai sekarang semua itu berpengaruh.
Saya akan beri satu contoh. Semua pelajaran memberi efek, tetapi yang paling terasa menurut saya adalah saat belajar ekonomi. Ekonomi diajar oleh Sabda. Sumpah, metode belajarnya asyik, keren! Dia kalau mengajar pakai bahasa santai, tapi tetap detail dan banyak pengetahuan tambahan. Nah, waktu saya belajar ekonomi ini, kesan saya selama belajar ekonomi mulai SMP, SMA kelas X, sampai detik sebelum belajar itu berubah. Sebelumnya, kesan saya terhadap ekonomi adalah pelajaran sulit, banyak rumus dan istilah, dan tentu saja terkadang membosankan. Namun, setelah belajar ekonomi dengan Zenius, saya mulai mengerti apa itu ekonomi sebenarnya. Memang tidak semuanya sih, tetapi esensi dari ekonominya dapat. Ekonomi ternyata apa yang dilakukan manusia setiap hari. Kalau boleh dibilang, hanya 20% yang benar-benar hafalan, sisanya adalah penalaran dan ada di kehidupan sehari-hari. Asyik deh pokoknya. Di sini bukan saya bermaksud promosi Zenius sebagai penjual produk, tetapi saya menceritakan sedikit bagaimana Zenius dan efek dari penggunaan Zenius itu. Jika penasaran, coba cek zenius.net. Di sana juga ada banyak artikel yang kerenbanget (zenius.net/blog).
RENCANA KE JAKARTA
Suatu hari di awal minggu bulan Maret saya tidak sengaja melihat jadwal hari efektif perkuliahan yang dipajang di depan ruang kuliah setelah selesai kuliah pada sore hari. Itu adalah jadwal perkuliahan dan hari-hari penting di semester II. Saya segera melihat jadwal pada bulan Mei dan Juni. Ternyata, jadwal UAS berada pada tanggal 8 Juni. Dengan mengabaikan hari efektif di tanggal sebelumnya, saya akhirnya memilih untuk membeli tiket kereta api pada hari itu juga. Saya memberi kabar kepada Fizal dan Yunaz di grup Line bahwa saya akan membeli tiket kereta yang berarti saya akan tes di Depok. Saya memesan tiket kereta lewat daring (online) di situs kereta api. Alasan saya memesan jauh hari adalah menurut pengalaman saya, tiket kereta sering habis pada satu bulan sebelum tanggal. Selagi masih lama dan mempertimbangkan jadwal UAS yang berada sesudah SIMAK, saya jadi memesan tiket. Saya mengambil tanggal 3 Mei 2016 karena itu adalah hari Jumat dan saya percaya bahwa hari Jumat adalah hari terbaik. Tiket akhirnya sudah saya pesan. Saya harus membayar biaya tiket sebelum sekitar pukul 20.00 pada hari itu. Saya segera pulang ke indekos. Saya memberi kabar kepada orang tua saya bahwa saya jadi tes di Depok. Yunaz dan Fizal pun saya beri kabar. Sesampainya di indekos, saya segera menaruh tas kemudian pergi ke Alfamart untuk membayar tiket. Saya mencetak tiket tersebut di Stasiun Lempuyangan esok harinya.
Beberapa hari kemudian, saya berencana untuk membeli tiket pulang. Sayangnya, keuangan saya sedang krisis. Jadi, saya pinjam uang teman indekos saya dulu. Untungnya, dua hari kemudian saya mendapat kiriman uang dari orang tua. Segera saya ganti uang teman saya itu.
Saya memberi tahu orang tua saya kalau saya sudah memesan tiket pulang. Mereka menyuruh saya untuk menghubungi Mas Bagos, kakak sepupu saya yang ada di Jakarta, dan juga Mbak Syifa, anak dari teman bapak saya sekaligus ia adalah mahasiswi Sastra Jawa UI. Saya akhirnya menghubungi mereka lewat Line. Mas Bagos yang pertama membalas. Saya memberi tahu dia bahwa saya akan tes SIMAK dan saya sudah memesan tiket. Ia agak terkejut. Pada akhirnya, ia menawarkan saya untuk tinggal di indekosnya saja selama masa tes. Saya agak bingung sebenarnya. Teman saya yang di Depok juga sebelumnya menawarkan seperti itu. Namun, akhir-akhir itu ia sulit dihubungi dan tidak membalas pesan saya. Jadi, saya menerima tawaran Mas Bagos untuk tinggal di indekosnya. Sebenarnya bukan di indekosnya, tetapi di rumahnya yang ada di Depok karena saya bilang kepada dia bahwa saya akan mengambil tempat tes di Depok. Indekosnya ada di Jakarta Pusat. Tidak berselang lama setelah itu, Mbak Syifa membalas pesan saya. Saya bilang tujuan saya. Ia pun menawarkan hal yang sama. Akhirnya, saya memilih untuk tinggal di tempat Mas Bagos.
Saya terus mengubungi Yunaz dan Fizal. Jadi, progres apa pun yang terjadi, kami saling memberi tahu. Saya bilang bahwa saya sudah memesan tiket pulang dan sudah menghubungi saudara saya yang ada di Jakarta. Saya tak menyangka untuk kedua kalinya: Yunaz memilih ikut SIMAK bersama saya di Depok. Namun, sebelum memutuskan untuk benar-benar ikut dan memesan tiket, Yunaz minta izin ke orang tuanya. Orang tua Yunaz memeberi izin. Yunaz segera memesan tiket. Jadilah saya tak akan sendiri ke Depok. Terima kasih, Naz.
Marry her |
Belajar |
Rencana yang kami susun semakin matang dan jelas akan seperti apa. Jadi, kami bertiga akan tes di Jogja untuk SBMPTN. Tanggal 3 Juni saya dan Yunaz akan berangkat ke Pasar Senen, Jakarta. Sementara itu, Nafizal tinggal di indekos saya. Kabar bahagianya adalah salah satu teman Yunaz ada yang akan tes SBMPTN dan UTUL di Jogja. Namanya Hasbi. Ia ternyata lebih tua dua tahun dari kami. Ia adalah mahasiswa jurusan perpajakan di Vokasi Unair. Ia akan mengambil Hubungan Internasional UGM. Jadi, Nafizal tidak akan sendirian ketika saya dan Yunaz ke Jakarta.
Saya tidak sabar untuk berangkat ke Jakarta bersama Yunaz. Itu akan menjadi pertama kalinya saya dan Yunaz ke sana. Di antara rasa senang itu, sebenarnya saya juga sedikit bingung mengenai akan bagaimana kami di sana. Di televisi atau bahkan di internet, Jakarta sering diberitakan dengan kabar yang tidak mengenakkan. Selain itu, menurut orang-orang yang pernah ke sana, biaya hidup di sana tinggi. Hal yang paling saya khawatirkan adalah masalah keuangan. Saat itu, banyak keperluan yang mengharuskan saya mengeluarkan uang. Dompet semakin tipis. Saya tidak berani bilang ke orang tua saya bahwa uang saya tinggal sedikit. Saya takut membebani. Akhirnya, dengan sisa uang sekitar Rp150.000,00 di dua minggu terakhir sebelum bulan Maret selesai, saya harus berpikir bagaimana caranya agar uang itu tidak habis sama sekali. Beasiswa Bidikmisi dari pemerintah belum juga turun. Hanya kabar bahwa sekitar Maret akhir atau Juni awal akan turun. Sampai akhirnya, pada akhir Maret, uang saya tinggal Rp5.000,00. Semakin remang untuk berpikir bahwa saya akan baik-baik saja di Jakarta. Karena terpaksa, saya akhirnya bilang kepada ibu saya bahwa uang saya benar-benar tinggal sedikit. Namun, seperti keajaiban, siang menjelang sore hari itu juga ada kabar uang Bidikmisi turun. Saya senang bukan main. Saya segera ke ATM di FEB UGM. Ternyata benar, uang Bidikmisi sudah turun.Alhamdulillah. Saya tidak jadi minta uang ke ibu saya. Saya segera memperinci keperluan saya dan strategi agar uang tersebut bisa saya gunakan hingga di Jakarta. Terima kasih untuk pemerintah yang sudah menurunkan beasiswa ini. Jujur, baik untuk keperluan ini atau pun keperluan kehidupan selama kuliah di filsafat dan kehidupan indekos, beasiswa ini sangat banyak membantu. Setidaknya, beban orang tua saya dalam pembiayaan kuliah saya dapat berkurang, jauh berkurang. Siapa pun orang yang mencetuskan ide beasiswa ini saya ucapkan terima kasih banyak dari dasar hati. :)
Banyak hal untuk meningkatkan semangat dalam belajar, seperti melihat video-video mengenai kampus tujuan. Namun, ada cara lain. Yunaz dan Fizal stalking akun Instagram milik ui.cantik. Hehehe. Sempat di-screenshoot dan dikirim ke grup Line. Akhirnya, saya tergoda untuk ikut stalking. Ya… namanya juga cari penyemangat. Hehehe. Namun, lama-kelamaan, hal ini akhirnya menjadi pengganggu. Kalau sudah memegang HP untuk berinternetan, sampai beberapa jam pun tidak terasa. Oleh karena itu, saya akhirnya menghapus sementara aplikasi Instagram, Path, Twitter, dan Facebook. Dari keempat itu, nantinya yang benar-benar tidak saya hidupkan kembali adalah Path. Sementara itu, Twitter dan Facebook saya hidupkan lagi sekitar dua minggu setelah saya hapus dan Instagram baru saya hidupkan ketika selesai SIMAK.
APRIL
April merupakan bulan pendaftaran SBMPTN dan SIMAK. Sementara itu, UTUL baru dibuka pada bulan Mei. Kami berencana untuk mendaftar pada waktu yang sama untuk SBMPTN. Pendaftaran SBMPTN dimulai pada tanggal 25, tetapi kami memilih melakukan pengisian formulir pendaftaran pada tanggal 29 setelah salat Jumat. Untuk pembayarannya, kami sepakat melakukannya antara tanggal 25 sampai 28. Untuk SIMAK UI, karena dibuka pada tanggal 18, saya dan Yunaz sepakat melakukan pengisian formulir pada tanggal 22 setelah salat Jumat juga.
Pada awal bulan ini, kami sudah menentukan apa yang akan kami pilih. Pilihan-pillihan kami ini sudah kami pertimbangkan dengan menilai urutan prioritas, kesesuaian minat, juga pertimbangan jika nantinya diterima pada bukan pilihan yang diutamakan. Nafizal sudah jelas memilih Manajemen UGM dan Ilmu Ekonomi UGM, baik pada SBMPTN maupun UTUL. Yunaz akhirnya memilih Arkeologi UGM, Arkeologi UI, dan Sastra Jawa UI pada SBMPTN dan memilih Arkeologi UI dan Sastra Jawa UI pada SIMAK. Saya akhirnya memilih Sastra Indonesia UI, Antropologi Sosial UI, dan Sastra Indonesia UGM pada SBMPTN dan Sastra Indonesia UI, Antropologi Sosial UI, dan Arkeologi UI pada SIMAK. Saya memilih antropologi karena saya tertarik mempelajari hubungan manusia dalam menciptakan kebudayaan. Selain itu, karena dulu saya sekolah SMA di jurusan Bahasa, saya sudah mengenal bagaimana antropologi dan itu sangat menarik. Awalnya saya bertanya-tanya apakah antropologi sosial di UI sama dengan antropologi kebudayaan yang ada di beberapa universitas. Ternyata, setelah saya cari daftar mata kuliah beserta muatan kuliah Antropologi Sosial UI di internet, tidak jauh beda antara antropologi kebudayaan dan antropologi sosial. Saya tahu kalau itu tidak jauh beda setelah saya bertanya teman saya yang berkuliah antropologi kebudayaan di UB. Arkeologi saya pilih karena memang dari dulu saya selalu tertarik jika melihat benda-benda peninggalan kebudayaan masa lalu. Berkunjung ke sebuah situs dan cagar budaya adalah salah satu hobi saya. Yang pernah membaca cerita saya tahun lalu pasti mengerti mengapa saya memilih arkeologi. Untuk Sastra Indonesia UGM, sebenarnya ini pilihan yang paling terakhir di antara semua pilihan. Jadi, jika kemungkinan nanti saya tidak diterima di semua pilihan kecuali yang ini, saya baru akan mengambilnya. Namun, jika semisal saya diterima pada pilihan ini di SBMPTN dan ternyata ada dari SIMAK yang lolos, meskipun itu antropologi atau arkeologi, saya memilih yang lolos di SIMAK. Intinya, saya akan memilih UI dengan proritas utama sastra Indonesia.
Karena saya belum pernah ke Jakarta, saya juga mulai bertanya-tanya mengenai Jakarta dan juga UI kepada teman-teman saya di filsafat yang berasal dari Jakarta dan sekitarnya. Hampir semua yang saya tanya malah menyayangkan keputusan saya pindah ke UI. Mereka bilang biaya di sana lebih mahal dan pergaulannya lebih “menyeramkan”, semua yang negatif. Namun, karena ini cita-cita, saya tak terlalu mengacuhkan, tetapi memang saran mereka penting sebagai peringatan.
PERUBAHAN RENCANA TEMPAT TES SIMAK
Sebelumnya, saya dan Yunaz merencanakan akan memilih tempat tes SIMAK di Depok. Namun, akhirnya kami memilih tempat tes di Jakarta Pusat.
Beberapa hari sebelumnya, saya berkonsultasi dengan Mas Bagos mengenai tempat tes. Saya pun memberi tahu bahwa saya tidak jadi tes sendirian; saya bersama Yunaz. Akhirnya, setelah mempertimbangkan, saya memilih untuk mengambil tempat di Jakarta Pusat. Alasannya, jika saya mengambil tes di Jakarta Pusat, akan lebih mudah kalau ingin ke mana-mana, pun sudah ada yang tinggal di sana dan bisa memberi arah (Mas Bagos). Selain itu, saya dan Yunaz nantinya juga turun di Pasar Senen yang berarti di Jakarta juga. Jadi, sekalian saja. Kami berencana menginap di indekos Mas Bagos. Ia bilang indekosnya tidak terlalu jauh dari Pasar Senen.
MENDAFTAR SIMAK UI
Sebelum mengisi formulir pendaftaran, saya terlebih dahulu membuat akun beberapa hari sebelum pendaftaran. Saya kira akan ruwet, ternyata tidak sama sekali. Panduan langkah-langkahnya sudah disediakan oleh pihak sana. Tinggal mengikuti.
Tanggal 17 malam, seperti malam-malam biasanya, saya tidak bisa tidur. Pikir saya sekalian saja saya mendaftar. Memasuki tanggal 18, saya mulai membuka situs pendaftaran SIMAK. Jadilah saya mendaftar pada dini hari itu juga. Selesai mengisi beberapa data, serta memilih jurusan dan lokasi, keluarlah bagian keterangan jadwal tes, nomor pendaftaran, hasil formulir, dan berapa jumlah biaya yang harus saya bayar untuk tes. Saya mengirim screenshot formulir saya ke grup Line. Saya kemudian tidur.
Paginya, Yunaz memberi kabar bahwa ia akan mengisi formulir. Seketika itu saya baru ingat bahwa seharusnya saya dan Yunaz melakukan pengisian formulir pada hari Jumat. Namun, tidak masalah, sudah telanjur. Pagi itu pula, selesai kuliah, saya melakukan pembayaran lewat ATM di FEB UGM. Setelah saya cek lagi akun pendafataran SIMAK saya, tanda merah di keterangan biaya pendaftaran sudah berubah menjadi hijau yang berarti sudah dibayar. Pengunduhan kartu ujian baru bisa dilakukan pada tanggal 2 Mei sekaligus di dalamnya ada keterangan mengenai lokasi ujian dan nomor ujian.
MENDAFTAR SBMPTN 2016
Seperti yang sudah direncanakan, kami melakukan pendaftaran pada tanggal 29 Juni setelah salat Jumat. Sebelumnya, pada hari Senin, tanggal 25, kami melakukan pembayaran di bank. Saya membayar di BNI UGM, dekat gerbang utama, sebelum kuliah. Saat kuliah, saya ditanyai teman-teman apakah saya sudah mendaftar SBMPTN atau belum. Oh iya, beberapa teman saya di kelas juga berencana untuk ikut tes lagi, seperti teman saya yang bernama Denta yang akan mendaftar Manajemen UGM. Saya bahkan pernah menjumpai ia belajar dengan mengerjakan soal-soal bimbel pada saat kuliah filsafat manusia.
29 Juni, setelah salat Jumat, kami melakukan pendaftaran. Niat kami mendaftar bersama-sama sebenarnya agar mendapat ruang tes yang sama atau setidaknya berdekatan. Ternyata, meskipun mendaftar di hari yang sama dan klik finish pada waktu yang hampir bersamaan, kami mendapat ruang tes yang berbeda, tetapi sama-sama bertempat di UPN Veteran, tempat tes kami tahun lalu. Teman Yunaz yang hendak tes di Jogja, Hasbi, juga mendapat tempat di UPN Veteran.
MEI
2 Mei 2016. Sesuai jadwal, tanggal tersebut adalah waktunya mengunduh kartu ujian SIMAK. Saya segera membuka akun pendaftaran SIMAK kemudian mengunduh pada tautan yang tersedia. Hal pertama yang saya lihat pada kartu ujian itu adalah keterangan lokasinya. Saya mendapatkan tempat di SMPN 4 Jakarta. Saya segera mengabari Yunaz di grup Line dan juga Mas Bagos. Beberapa menit kemudian Yunaz mengirim screenshoot kartu ujiannya. Betapa bahagianya saya ketika tahu tempat ujian kami sama: SMPN 4 Jakarta. Setelah itu, saya membuka Google Maps. Saya mencari letak SMPN 4 Jakarta. Maksud hati ingin mengetahui seperti apa rupa SMPN 4 Jakarta lewat Google gambar dengan kata kunci “SMPN 4 Jakarta”, eh, ternyata yang keluar…sudahlah. Saya memberi tahu Yunaz setelah itu. Beberapa menit kemudian Mas Bagos membalas. Ia bilang SMPN 4 cukup dekat dengan indekosnya. Setelah semua saya beri kabar, saya pergi ke kampus. Ada “pesta rakyat” di rektorat hari itu.
Pada awal bulan Mei, tanggal 8, akan dilaksanakan try out SBMPTN oleh Imakoba (Ikatan Mahasiswa Kota Batu). Panitia menyediakan stan-stan untuk kampus yang ingin mempromosikan kampusnya. Saya berencana pulang untuk mengisi salah satu stan mewakili UGM dengan teman saya, Farah, mahasiswi Pariwisata UGM yang juga berasal dari Batu, teman tes UTUL di Jogja bersama Yunaz, Fizal, dan Toni tahun lalu. Saya berencana pulang tanggal 4. Kebetulan, saya dikabari Yunaz bahwa pada tanggal 3, ia dan teman-teman kelasnya akan ada semacam study tour ke Sangiran, Ratu Boko, dan mereka akan ke Malioboro sebelum pulang. Yunaz berencana untuk pulang bersama saya ke Malang pada tanggal 4. Oleh karena itu, setelah turun di Malioboro, ia langsung ke indekos saya. Pada tanggal 3, saya ada kuliah sampai sore. Yunaz bilang dia akan ke kampus bersama dengan temannya, Adam.
3 Mei, setelah pulang kuliah sekitar pukul 16.45, saya menghubungi Yunaz. Dia dan Adam sudah berjalan ke arah UGM. Saya segera keluar lewat gerbang utama UGM ke arah Mirota Kampus di Jalan C. Simanjuntak. Singkat cerita, akhirnya kami bertemu tepat di depan gang penginapan saya, Yunaz, dan Fizal saat tes UTUL tahun lalu. Saya kaget karena rambut Yunaz semakin gondrong. Saya berkenalan dengan Adam. Adam ini ternyata juga akan ikut tes UTUL di Jogja. Ia berencana mengambil Biologi UGM.
Karena sudah magrib, kami mencari masjid di dekat sana. Kami salat di masjid depan area FMIPA selatan. Masjid tersebut adalah masjid tua, terlihat dari interiornya, terutama pada tiang penyangga masjid dan mimbar. Setelah selesai salat, kami ke Kopma UGM. Adam dan Yunaz membeli beberapa oleh-oleh, salah satunya stiker. Setelah dari sana, kami berencana ke Fisipol UGM. Adam ingin memfoto Fisipol UGM untuk dikirim ke Hasbi sebagai penyemangat belajar. Namun, ketika sampai di depan DSSDI, hujan lebat turun. Kami berteduh di sana. Sambil menunggu hujan agak reda, kami saling bercerita. Setelah 15 menit menunggu, hujan agak reda. Kami melanjutkan perjalanan ke Fisipol UGM.
Kami hanya sebentar di fisipol. Kami segera melanjutkan ke fakultas biologi. Adam ingin mengunjungi calon fakultasnya katanya. Sambil diguyur gerimis, kami lewat rektorat. Kami berjalan agak cepat karena Adam akan ikut rombongan busnya pulang ke Surabaya. Yunaz terlihat santai saja karena ia akan tinggal di Jogja. Saat sampai di depan fakultas biologi, saya teringat Fatizha. Fatizha adalah mahasiswi biologi, teman saya satu SMA dulu bersama Yunaz dan Fizal. Saya menelepon Fatizha lewat Line, tetapi saya berikan ke Yunaz setelah tersambung. Nah, kebiasaan kami yang di Jogja kalau ada teman dari jauh, apalagi pernah satu SMA, adalah menemuinya, berkumpul di suatu tempat. Fatizha bilang ia akan ke fakultas. Singkat cerita, Adam selesai berkeliling calon fakultasnya kemudian ia kembali ke Malioboro, tempat bus rombongannya, dengan menggunakan Go-Jek. Saya dan Yunaz menunggu Fatizha di fakultas. Setelah Fatizha datang, kami bercerita sebentar. Kami bertiga kemudian makan di lesehan depan fakultas. Setelah itu, kami pulang ke indekos masing-masing.
Beberapa cerita di tulisan ini saya singkat dengan awalan kalimat "singkat cerita" karena memang akan panjang sekali kalau diceritakan detailnya sekaligus agar langsung ke topik-topik yang berkaitan langsung dengan perjalanan kami menuju tes.
4 Mei setelah magrib, saya dan Yunaz pulang ke Malang. Kami berangkat dari halte Kosudgama, transit di halte Kridosono, dan terakhir di Terminal Giwangan. Kami naik bus Sugeng Rahayu, duduk di bangku paling depan. Singkat cerita, kami sampai di perbatasan Kediri-Malang sekitar 06.30 tanggal 5. Awalnya Yunaz berencana akan ikut ke rumah saya dulu, tetapi ibunya menyuruh untuk langsung pulang saja. Akhirnya, saya turun duluan dan Yunaz melanjutkan sampai Malang.
6 Mei saya, Yunaz, dan Fizal berencana untuk bertemu pukul 10.00 di Batu. Saya berangkat dari rumah sekitar pukul 08.45. Sesampainya di Batu, saya disuruh Yunaz untuk ke tempat biasa bertemu, di warung mie ayam langganan. Di sana sudah ada Fizal dan Yunaz. Kami membahas perkembangan belajar kami dengan Zenius. Memang, untuk materi, kami sudah mendapatkan banyak penjelasan, tetapi kami merasa kurang latihan soal. Bercermin dari pengalaman tahun lalu, kami berlatih soal pada satu bulan sebelum tes. Oleh karena itu, rencana pada bulan Mei ini adalah memperbanyak latihan soal. Urusan penguasaan materi dilimpahkan sebagai tambahan apabila setelah mengerjakan soal dirasa ada materi yang kurang dipahami. Muncullah ide untuk membeli buku latihan soal di Gramedia. Hari itu juga kami ke Gramedia Malang. Saya dibonceng Yunaz; Fizal sendiri. Kasian. :)
Kami sampai di Malang tepat saat sebelum salat Jumat berlangsung. Kebetulan di Gramedia terletak di sekitar alun-alun dan di sana pula ada masjid besar. Kami salat Jumat di sana. Setelah salat Jumat, kami segera ke Gramedia. Kami melihat ada beberapa buku bagus yang membuat kami ingin membelinya, tetapi tidak karena tujuan kami adalah mencari buku latihan soal. Kami membandingkan beberapa buku. Akhirnya, kami mendapat satu yang menurut kami berisi latihan soal yang lengkap.
Saat antre di kasir, Fizal bertanya, “Kenapa sih kok orang-orang Indonesia lebih cenderung lebih banyak membeli buku yang semacam motivasi-motivasi, trik meraih sukses, tujuh cara bla bla bla daripada semacam buku-buku pemikiran, biografi, pengalaman hidup?”. Saya menjawab, “Mungkin dikarenakan budaya instan, dalam artian ingin tahu cepat mendapatkan sesuatu tanpa melewati dan memahami prosesnya sehingga buku-buku pemikiran kurang laku karena dianggap akan hanya menghabiskan waktu”. Namanya juga kemungkinan; jawaban saya ini bisa benar bisa salah. Terlepas dari itu, pertanyaan Fizal ini menarik juga untuk dicari jawabannya. Memang saya pernah melihat sebuah survei yang menunjukkan bahwa bacaan tentang motivasi menjadi yang paling banyak dipilih masyarakat Indonesia. Coba kenapa.
Setelah membeli buku, kami segera kembali ke Batu. Kami berkumpul kembali di warung biasanya. Kami makan di sana. Sekitar dua puluh menit setelah itu, kami berkunjung ke sekretariat Imakoba di dekat alun-alun. Beberapa anggota Imakoba terlihat sibuk mengurus berbagai keperluan untuk acara hari Minggu. Saya dan Yunaz hanya sekitar tiga puluh menit di sana. Sementara itu, Fizal tetap di sana. Saya diantar oleh Yunaz ke terminal untuk menunggu bus. Buku yang kami beli tadi dibawa Fizal untuk difotokopi dan dibagikan besok harinya.
7 Mei kami kembali berkumpul. Saya sampai duluan di tempat. Saya menunggu di dekat Indomaret, dekat RSI. Fizal kemudian datang dan mengajak saya untuk menunggu di warung bubur ayam Abu Dhoni. Jadilah kami makan di sana. Karena kemarin saat makan mie ayam memakai uang saya, Fizal kali ini yang membayar. Tak lama kemudian datanglah Yunaz. Fizal segera membagi fotokopi buku latihan soal. Di buku tersebut ada lima paket soal. Kami menyusun bagaimana caranya agar kami bisa latihan bersama mengerjakan soal-soal itu. Akhirnya, disepakati bahwa kami akan mengerjakan soal-soal tersebut setiap hari Senin dan Jumat dan setiap satu paket untuk satu hari dimulai tanggal 9. Jadwal pengerjaannya dimulai pukul 15.30 sampai 17.15 dan 19.15 sampai 20.15. Kami harus saling melaporkan berapa persentase perolehan kami setiap selesai mengerjakan satu paket agar menjadi bahan evaluasi. Penghitungan itu dengan proses jumlah jawaban benar dikali empat kemudian dikurangi jumlah jawaban salah, dibagi jumlah soal dikali empat, dikali seratus.
Singkat cerita, saya dan Yunaz mempersiapkan keperluan untuk acara tanggal 8. Tanggal 8 berjalan lancar. Saya harus pulang sebelum waktu berakhir karena malam itu juga saya pulang ke Jogja dan saya belum mempersiapkan barang-barang yang dibawa ke Jogja.
Sesuai rencana, tanggal 9 kami memulai pengerjaan soal bersama-sama itu. Keesokan harinya, teman saya yang juga akan tes lagi, Bedrow, mengisi formulir SBMPTN di kelas lewat telepon genggam. Coba bayangkan. Saya penasaran. Saya kemudian meminjam telepon genggamnya. Selain untuk melihat formulir Bedrow, saya juga meminjamnya untuk bertanya kepada Halo SBMPTN perihal syarat bahwa alumni 2015 dan 2014 harus membawa ijazah legalisasi pada tes nanti. Saya bertanya apakah boleh membawa ijazah aslinya saja karena saya tidak punya ijazah legalisasinya dan hanya membawa ijazah asli ke Jogja. Sampai akhir kuliah masih belum ada jawaban dari Halo SBMPTN. Akhirnya, saya membuka lagi kolom pertanyaan saya dengan kode kolom pertanyaan yang sudah saya simpan. Ada jawaban dari pihak Halo SBMPTN yang intinya mengharuskan membawa ijazah legalisasinya. Itu berarti saya harus pulang lagi ke Malang. Saya mencari teman (barengan).
Oh iya, mumpung teman saya ada yang asli Jakarta, saya bertanya kepada dia mengenai Pasar Senen dan SMPN 4 Jakarta. Teman saya ini bernama Ganita. Ia bilang bahwa rumahnya di dekat Pasar Senen. Nah, saya bertanya mengenai jarak antara Pasar Senen-Sudirman (tempat indekos Mas Bagos). Ia bilang cukup jauh. Saya bertanya lagi, kali ini soal jarak Sudirman-SMPN 4. Saya bertanya apakah bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Dengan logat khas Jakarta-nya, dia bilang, “Anjir… jauh banget itu anjir. Mending lo naik busway (Transjakarta) aja, turun Istiqlal”. Saya hanya mengiyakan saja seolah saya paham.
Di kesempatan yang lain, sebelum bulan Mei kalau tidak salah, di kelas, Ganita menanyakan lagi perihal pendaftaran SIMAK. Saya bilang bahwa saya jadi SIMAK dan tes di Jakarta. Eh, bukan Ganita yang bertanya; Nadia sebenarnya. Jadi, saat itu ada saya, Ganita, dan Nadia di kelas. Saya sedang iseng main komputer kelas untuk mengunduh beberapa video dari Youtube. Nadia kemudian bertanya seperti itu. Ternyata, ia juga pernah tes SIMAK. Ia diterima di pilihan keduanya, sejarah, tetapi tidak diambil. Ia memilih mengambil filsafat (SBMPTN). Ia punya soal SIMAK. Saya kemudian minta soalnya, tetapi itu ada di rumahnya, di Kebumen. Singkat cerita, nantinya dia memberi saya soal SIMAK 2015 sekitar Mei pertengahan. Saya gunakan soal SIMAK itu untuk belajar. Saya baru menyadari bahwa di SIMAK tidak ada TPA dan sosiologi; IPS terpadu sebagai pengganti sosiologi. Namun, pada Mei akhir, saya malah bersyukur karena tidak ada TPA. Itu artinya saya bisa fokus ke bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika. Pada Mei akhir juga, ada kabar bahwa SIMAK 2016 ada sosiologi yang menggantikan IPS terpadu. Kabar baik.
Berlanjut kembali ke mencari teman. Saya mulai mencari teman untuk menemani saya mengurus ijazah legalisasi di sekolah. Barangkali ada yang belum mengurus legalisasi ijazah. Saya berencana berangkat pada tanggal 14. Setelah cari teman sana-sini, ada satu teman yang dulu sekelas juga belum mengurus ijazah. Saya ajak mengambil bersama. Rencananya hari Selasa, tanggal 17, tetapi masih belum pasti, masih mengambang.
Saya jadi pulang tanggal 14 Mei. Sabtu malam itu saya lewati sendiri sepanjang jalan dari Jogja ke Malang dengan suara romantis dari sepi. Ceh. Saya sampai di Malang hari Minggu pagi. Malam harinya, Yunaz mengirim pesan kepada saya bahwa ada yang belum mengurus ijazah legalisasi. Ia adalah Andre. Andre berencana ikut tes. Kabarnya sih akan memilih UGM. Akhirnya, saya kirim pesan ke Andre. Benar, dia mau mengurus ijazah, tetapi pada hari Senin. Karena teman saya yang satunya akhirnya mengatakan tidak jadi ke sekolah, saya ikut jadwal Andre pada hari Senin pagi.
16 Mei saya dan Andre berkumpul di Indomaret dekat sekolah (SMAN 1 Batu). Sebelum masuk ke sekolah dan mengurus ijazah, saya dan Andre memfotokopi ijazah dan SHU di tempat fotokopi depan sekolah, di samping indekos saya waktu SMA. Setelah itu, kami segera ke sekolah dan menuju bagian TU. Kami juga bertemu guru-guru kami di sana. Segera kami menyampaikan maksud kami dengan menyerahkan fotokopi ijazah. Namun, menurut petugas TU, ijazah legalisasi baru bisa diambil pukul 12.00. Baiklah, kami ke kantin dahulu. Kami duduk di bangku depan koperasi siswa. Kami bercerita. Andre ternyata tidak kuliah. Ia tahun lalu sebenarnya diterima di jurusan hukum di UB, tetapi tidak diambil karena ada suatu masalah. Kami bercerita banyak hal, terutama mengenai rencana tes lagi. Ia bertanya-tanya mengenai UGM. Benar, ia akan memilih UGM, tepatnya di jurusan ilmu komunikasi. Karena saat itu bel istirahat berbunyi dan kantin pasti akan ramai, kami pindah ke halaman tengah atau biasa disebut paving.
Di paving saya bertemu adik-adik kelas saya jurusan Bahasa. Mereka hendak mengambil SKL. Kabar baiknya adalah banyak dari mereka yang lolos SNMPTN. Ada beberapa yang harus SBMPTN. Sedihnya, tak ada yang keluar lebih jauh ke luar Jawa Timur. Namun, ini hanya di Bahasa. Beberapa siswa dari jurusan lain ada yang diterima di UGM dan IPB. Saya senang kalau ada yang kuliah jauh dari tempat asal; itu berarti mereka berani merantau. Hal itu pula yang saya sampaikan ke Andre, pun Fizal. Merantau itu penting bagi anak muda.
Saya dan Andre kemudian teringat bahwa teman-teman lain di angkatan kami sudah mendapat ijazah dan SHU legalisasi. Yunaz bilang ia mengambil di tempat fotokopi di sekolah, dekat kantin. Mungkin saya belum mendapat ijazah legalisasi karena belum ke tempat tersebut. Saya segera mengajak Andre ke sana. Di sana kami bertemu Mas Andi, operator fotokopi. Saya bertanya ke Mas Andi apakah dulu teman-teman mengambil ijazah legalisasi di situ. Ia menjawab bahwa bahkan masih banyak yang belum diambil. Saya dan Andre mencari milik kami masing-masing. Ternyata benar, ada ijazah dan SHU legalisasi milik kami. Masing-masing ada lima lembar. Meski sudah mendapat, kami tetap menunggu ijazah fotokopi yang masih diproses di TU. Biar sekalian banyak.
Andre tidak bisa berlama-lama di sana. Ia ada latihan try out di tempat bimbelnya di Malang. Ia bilang bahwa ia akan mengambil ijazah legalisasinya yang di TU pada esok hari. Saya akhirnya bersama adik-adik kelas Bahasa yang baru lulus. Selain mengurus SKL, mereka ternyata hendak bertakziah ke rumah salah satu teman mereka, Azmi, karena neneknya baru saja meninggal. Saya ikut. Kami berangkat ke rumah Azmi setelah saya mengambil ijazah dan SHU legalisasi di TU. Singkat cerita setelah dari Azmi, saya bersama Azif, adik kelas, pulang bersama ke Pujon. Kami makan bakso sebentar di depan objek wisata Dewi Sri. Baksonya luar biasa enak. Agak mahal, tapi sesuai dengan rasa dan porsinya. Memang, kalau untuk urusan kuliner, Malang juaranya. Kalau soal harga murah, Jogja tempatnya. Setelah itu, saya pulang ke Ngantang naik bus.
Malam harinya saya pulang ke Jogja. Saya menunggu bus jurusan Jombang sejak pukul 19.45 sampai sekitar 22.00 di tempat pemberhentian penumpang, di pertigaan yang bernama Kambal.
NEKAT
Perkuliahan tinggal satu minggu setengah. Di lain sisi, saya merasa masih kurang dalam belajar dan saya ingin fokus belajar materi-materi yang belum saya pelajari. Akhirnya, dengan agak berat, berdasarkan prioritas, saya memilih untuk belajar SBMPTN dan SIMAK dalam satu minggu setengah itu. Kuliah saya lepaskan beserta tugas-tugasnya. Ada beberapa alasan mengapa saya berani meninggalkan perkuliahan dan memilih belajar untuk tes.
1. Perkuliahan waktu itu tinggal presentasi kelompok. Akan ada banyak waktu yang saya buang kalau saya hanya menjadi “penonton” presentasi. Namun, saya tidak mau belajar SBMPTN di kelas karena saya pasti tidak dapat berkonsentrasi.
2. Sudah ada beberapa mata kuliah yang pasti tidak bisa saya ikuti UAS-nya. Ini dikarenakan saya sudah tidak masuk melebihi batas absen yang disediakan (tiga kali). Di awal, saya sudah menceritakan bahwa saya terkena insomnia akut sehingga saya sering bangun lebih siang dan ketinggalan mata kuliah di jam pagi. Itu salah satunya. Kedua, saya sering sakit selama semester II. Sakit yang terakhir adalah sakit radang telinga. Saya sudah ke GMC untuk meminta obat, tetapi lupa meminta surat izin tidak masuk. Jadilah hampir semua mata kuliah sudah pasti tidak bisa saya ikuti di UAS. Kalau sudah begitu, untuk apa ikut perkuliahan? Lebih baik saya belajar untuk tes SBMPTN dan SIMAK yang tinggal hitungan hari itu.
3. Ini yang agak membuat saya kesal. Ternyata UAS tidak jadi dimulai pada tanggal 8, tetapi tanggal 6. Saya baru pulang dari Jakarta pada tanggal 7. Sementara itu, mata kuliah yang biasa saya ikuti UAS-nya semua ada di tanggal 6 dan 7. Jadi, ya sudah, hilang semua. Saya tidak ikut UAS sama sekali. Saya bisa saja membuat surat izin untuk tidak ikut UAS, tetapi kok rasanya aneh kalau alasan saya menunda ujian di surat izin nanti dengan alasan saya akan tes lagi.
Akhirnya, saya, dengan kenekatan itu, memilih untuk belajar, mempersiapkan agar bisa mengerjakan SBMPTN dan SIMAK secara maksimal. Saya belajar materi-materi yang belum saya pelajari di CD Zenius. Saya menggunakan voucher Zenius untuk belajar materi sejarah. Keren! Materi sejarah disampaikan dengan santai tapi detail. Banyak pengetahuan baru yang saya dapatkan. Saya sampai tepuk tangan ketika belajar sejarah, saking kerennya materi itu disampaikan.
Mungkin ada yang bertanya kenapa saya tidak TA (titip absen) saja. Menurut saya, TA hanya untuk pengecut yang tidak bertanggung jawab mengambil konsekuensi. Kalau tidak masuk ya pilihannya hanya dua: mengirim surat izin atau tidak sama sekali, bukan TA. Oh iya, saya sendiri kurang setuju dengan istilah “titip absen” ini. Absen berarti ketidakhadiran. Kalau titip absen ya berarti titip ketidakhadiran. Apakah yang dititipkan itu ketidakhadiran? Tidak. Memang orangnya tidak hadir, tetapi yang dititipkan adalah tanda kehadirannya. Kehadiranlah yang dititipkan. Jadi, yang benar adalah titip presensi. Presensi berarti kehadiran.
Sebenarnya pada awal semester II, saya sangat berniat berkuliah dengan lebih rajin. Eh, ternyata ya ada-ada saja kendalanya.
KEDATANGAN TEMAN-TEMAN DI JOGJA
Yunaz dan Fizal sudah memesan tiket jauh hari untuk berangkat ke Jogja. Mereka akan berangkat pada tanggal 28 Mei. Beberapa hari sebelum hari keberangkatan mereka, Yunaz memberi tahu bahwa mereka akan berangkat bersama Andre. Mereka bertiga berangkat dari Malang pada 07.30 dan sampai di Jogja (Stasiun Tugu) sekitar 15.30. Sementara itu, Hasbi akan datang keesokan harinya dan Adam datang pada tanggal 1 Juni karena ia tes SBMPTN di Surabaya.
28 Mei. Yunaz, Fizal, dan Andre berangkat dari Malang (Stasiun Malang). Saya menyuruh mereka untuk memberi kabar ketika sudah sampai di Solo. Rencananya saya akan menjemput mereka di pintu keluar Stasiun Tugu. Saya tidak menjemput memakai motor. Nantinya kami akan naik bus Trans Jogja bersama-sama.
Mereka memberi kabar sudah sampai di Solo sekitar pukul 14.40. Wah, tanggung karena sebentar lagi salat asar. Setelah salat asar, sekitar 15.05, saya mulai berangkat; saya menuju halte Trans Jogja di depan Kosudgama. Sesampainya di halte, saya bertanya apakah ada halte di sekitar pintu keluar stasiun. Petugas bilang ada halte tapi agak jauh. Akhirnya, saya menyuruh teman-teman untuk menunggu di Malioboro saja, di depan Hotel Inna; di sana lebih dekat dan ada halte. Mungkin karena akhir pekan, penumpang bus Trans Jogja banyak sampai penuh. Saya turun di halte Malioboro I. Ketika saya keluar dari halte dan melihat arah depan halte, Yunaz, Fizal, dan Andre ternyata sudah ada di sana. Mereka membawa banyak tas. Saya menyeberang. Betapa senangnya saya dan mereka bertemu lagi untuk benar-benar berjuang lagi kali ini. Kami di sana sekitar 10 menit.
Selesai berjumpa-sapa layaknya seperti tidak pernah bertemu sekian lama, kami ke halte lagi untuk naik bus ke halte Kosudgama. Seperi biasa, karena jumlah kendaraan Trans Jogja relatif sedikit, kami menunggu lama. Oh ya, saya sempat membuat tulisan berisi pendapat saya mengenai Trans Jogja di blog ini.
Kami menunggu bus kode 2A. Ketika bus itu datang, kami segera naik. Kami hampir mengikuti seluruh rute 2A. Bayangkan, dari Malioboro kemudian ke arah selatan, ke timur, sampai saya lihat sudah mencapai perbatasan Jogja-Bantul, kemudian ke utara. Lebih dari satu jam kami di dalam bus itu. Kami baru sampai di indekos saat sepuluh menit setelah magrib.
Kami masih ada acara malam harinya. Seperti biasa, kalau ada teman dekat datang, pasti disambut teman-teman lain yang ada di daerah itu. Dalam hal ini yang menyambut adalah Imaba Jogja. Setelah isya, kami ke GOR Klebengan. Kami bertemu teman-teman lain dan makan bersama di sana. Singkat cerita, setelah pulang dan sampai indekos, kami cuci muka kemudian tidur.
29 Mei. Saat kami belajar pada siang hari, dua tamu tidak terduga datang. Tebak siapa? Mas Adit dan Indah. Bagi yang belum membaca cerita saya tahun lalu pasti tidak mengenal siapa mereka. Mas Adit inilah yang dulu berjasa menampung kami ketika berada di Jogja untuk tes SBMPTN, kurang lebih selama tujuh hari kami menginap di indekosnya. Nah, kalau Indah ini teman kami satu SMA. Dia sekarang berkuliah di jurusan seni musik ISI Yogyakarta dengan major vokal.
Mas Adit tiba-tiba muncul dari balik pintu. Kami berempat terkejut karena memang hari itu tak ada rencana bertemu. Setelah saya ingat-ingat kenapa Mas Adit bisa tahu alamat indekos saya, dulu, saat awal-awal di Jogja, ternyata saya pernah memberi alamat saya kepada Mas Adit. Ketika keluar ke ruang depan, ternyata sudah ada Indah. Jadilah kami berenam di ruang depan itu bercerita banyak hal.
Kira-kira setelah asar, Yunaz diberi kabar oleh Hasbi. Ia sudah di daerah Kuningan, daerah indekos saya. Saya menelepon ia lewat Line. Kebetulan hari sedang hujan dan saya tidak punya payung. Saya dan Yunaz pinjam mantel motor Mas Adit. Kami berdua menjemput Hasbi sekitar tiga ratus meter dari indekos saya. Ternyata Hasbi tidak seperti perkiraan saya. Saya kira Hasbi berwajah tua karena dia beda dua tahun dari kami, ternyata dia sama saja dan yang paling saya suka adalah ternyata dia ramah, juga enak kalau diajak bicara. Kami segera kembali ke indekos. Kami jadi bertujuh berkumpul di ruang depan.
Kami berkumpul tidak hanya satu atau dua jam, tetapi sampai setelah magrib. Setelah magrib, kami mencari tempat makan. Kami di warung lalapan kenangan saya, Fizal, dan Yunaz di daerah Karangmalang yang bernama warung Prasojo. Singkat cerita, setelah makan, kami kembali ke indekos kemudian Mas Adit dan Indah pulang. Terima kasih untuk Mas Adit dan Indah.
Saya cerita sedikit tentang kamar saya. Kamar saya bukanlah kamar indekos yang besar. Ukurannya hanya 2,5 X 3 meter atau mungkin lebih kecil dari itu sedikit. Jadi, ketika ada lima orang di sana, kami harus menyesuaikan. Luas lantai kamar ini masih dikurangi dengan luas alas tas kami dan barang-barang saya yang sudah ada dahulu di situ. Belum lagi kalau nanti Adam datang. Belum lagi kalau ada adik kelas dari sekolah saya yang diterima SNMPTN di UGM menginap untuk keperluan daftar ulang. Oleh karena itu, agar bisa sedikit nyaman, dua minggu sebelumnya saya beli dua guling besar dan empuk bergambar klub sepak bola MU dan kartun Hello Kity.Ok fix ini tidak penting. Skip. Namun, dari pengamatan saya, luas lantai untuk tidur tidak memengaruhi kenyamanan seseorang untuk tidur. Buktinya, masih bisa tidur meski berdesak-desakkan. Yang penting kebersamaan. Hehehe. Saya sesekali tidur di kamar teman saya. Sayang sekali saya lupa memfoto kegiatan belajar di kamar. Padahal, penting untuk dokumentasi. :(
30 Mei. Rencana hari itu adalah mengecek lokasi ujian di UPN Veteran. Pagi hari sampai menjelang siang kami belajar. Kami berangkat ke UPN pukul 14.05. Kami naik Trans Jogja dari halte UNY (Jalan Colombo). Perjalanan ini kami jadikan patokan apakah esok hari kami naik Trans Jogja atau yang lain. Ternyata, keseluruhan perjalanan berangkat ke UPN termasuk transit di halte Condongcatur mencapai satu jam lebih. Sudah bisa dipastikan kami tidak naik Trans Jogja esok hari, entah dengan apa.
Sesampainya di UPN, kami masuk lewat pintu utama. Karena lokasi saya, Yunaz, dan Hasbi ada di area teknik dan Fizal di area ekonomi seorang diri, kami cek lokasi Fizal dahulu. Kami bertanya kepada satpam yang ada di sana. Setelah itu, kami melanjutkan cek lokasi. Lokasi Fizal berada di lantai dasar. Tidak sulit untuk menemukannya.
Lanjut ke lokasi saya, Yunaz, dan Hasbi. Jarak lokasi kami bertiga memang tidak terlalu jauh, bahkan lokasi saya dan Hasbi hanya berselisih beberapa ruang, tetapi semua lokasi kami ada di lantai III. Setelah semua lokasi dicek, kami berkumpul sebentar. Jadi, besok kami akan langsung ke ruangan masing-masing. Saat istirahat, kami berencana berkumpul di masjid UPN yang terletak di belakang kemudian kembali lagi ke lokasi ujian masing-masing.
Di dekat ruangan ujian Hasbi ada musala. Kami salat asar sebentar di sana. Di saat akan salat itulah saya bilang ke Yunaz kalau bagaimana tidak usah berkumpul bersama di masjid saat istirahat, tetapi langsung seusai tes berkumpul di lapangan. Akhirnya, kami semua setuju begitu saja karena jarak lokasi saya, Yunaz, dan Hasbi memang cukup jauh dari masjid.
Kami pulang melewati lapangan UPN. Kami berencana berkumpul di dekat bangku yang ada di sana ketika pulang esok harinya. Kami segera pulang.
Oh iya, sayang sekali, Andre tidak satu lokasi ujian bersama kami. Andre mendapat tempat kalau tidak salah di SMA 11 atau SMA 8 Yogyakarta. Andre nantinya diantar menggunakan sepeda motor dengan Farah.
Kembali lagi ke kami yang di UPN. Kami pulang menggunakan bus Trans Jogja. Kami menunggu di halte selama lebih dari empat puluh menit. Serius? Iya. Ketika bus sudah datang, ternyata penuh, kami didahului penumpang lain. Saya iseng memfoto dan menge-twit ke akun Jogja 24 Jam. Saya banyak menerima retweet danmention. Ada yang bercerita bahwa dirinya pernah menunggu selama satu jam, bahkan ada yang tiga jam. Saya percaya bahwa apa yang mereka katakan benar karena memang saya sendiri sering menunggu bus Trans Jogja sangat lama. Eh, tetapi menunggu bus Trans Jogja itu lebih pasti daripada menunggu dia, lho. Namun, kenyataannya, saya masih menunggu dia. Masihkah engkau sedingin angin kepadaku? Hmmm… Skip. Ini tidak penting.
Singkat cerita kami mendapat bus Trans Jogja persis sebelum magrib. Kami turun di halte Sanata Dharma. Kami tidak langsung pulang karena masih akan membeli papan dada di Toko Merah. Setelah dari Toko Merah, kami ke Indomaret, kemudian ke warung warmindo (burjo) dekat sana untuk makan. Setelah itu, kami pulang, mandi, dan tidur.
Oh iya, tepat setelah kami datang di indekos, saya dikirimi pesan oleh adik kelas saya yang diterima di UGM lewat SNMPTN dan hendak daftar ulang (tes ACePT) esok harinya. Jadi, saat pengumuman SNMPTN 2016 pada 9 Mei, anak ini, Fikri, menghubungi saya lewat Line. Ia bingung hendak menginap di mana saat untuk tes ACePT. Saya sarankan saja di indekos saya, tetapi ya begitulah, saya bilang kepada dia bahwa nantinya akan ada teman-teman saya juga. Hari-hari berlalu. Singkat cerita, ia jadi menginap di indekos saya. Setelah dikirimi pesan bahwa ia sudah di dekat indekos, saya menemuinya. Saya segera mengajak dia ke indekos. Ia kemudian menaruh barang-barangnya. Karena kamar saya sudah penuh, saya minta teman indekos saya, Mas Danar, untuk bersedia kamarnya dibuat penampungan tas, tas Fikri saja. Sesudah kami mandi, kami bercerita sebentar di kamar bersama Yunaz, Fizal, Andre, dan Hasbi. Sekitar pukul 22.00 kami tidur. Saya tidur di kamar teman indekos saya.
PERANG PERTAMA: SBMPTN, 31 MEI 2016
Pagi itu saya, Yunaz, Fizal, Hasbi berangkat pukul 07.30. Karena kami tes golongan soshum, tes kami dimulai pukul 09.45. Sementara itu, Andre masih di indekos untuk menunggu Farah. Fikri berangkat lebih dahulu sebelum saya sekaligus ia berpamitan pulang. Kami berempat jadi naik taksi. Alasan utamanya adalah pertimbangan waktu dan energi. Kami naik taksi dari depan Wisma MM UGM. Kebetulan ada satu taksi di sana. Taksi yang kami naiki lumayan nyaman.
Kami turun di pintu samping timur UPN. Saya menemukan suatu hal menarik di sana. Di sana banyak orang menjual papan dada. Fizal dan Yunaz hendak membeli. Namun, ternyata harganya Rp20.000,00. Wow! Mereka tidak jadi membelinya. Sebelumnya, di Toko Merah, hanya saya saja yang membeli papan dada. Harga papan dada di Toko Merah hanya Rp3.000,00. Beda jauh, bukan? Kami segera menuju masjid untuk salat duha. Setelah dari sana, sekitar pukul 09.00, kami ke ruangan masing-masing.
Saat saya sampai di depan ruangan, sudah banyak peserta lain yang menunggu. Ada yang belajar, ada yang bermain telepon genggam, dan ada yang diam saja sambil berdoa. Saya, Yunaz, Fizal, dan Hasbi sepakat untuk tidak belajar saat menjelang ujian, bahkan kami tidak membawa apa pun kecuali barang-barang yang kami perlukan untuk tes. 09.45 pintu dibuka; peserta dipersilakan masuk.
Saya mengamati sesuatu. Banyak peserta yang membawa ijazah legalisasi. Ini berarti mereka adalah alumni tahun lalu, sama seperti saya. Memang tidak menjamin bahwa semua yang membawa ijazah legalisasi adalah alumni tahun lalu, tapi kenyataanya, ijazah biasanya diberikan sekitar dua bulan setelah kelulusan. Oleh karena itu, panitia SBMPTN membolehkan siswa untuk membawa surat tanda lulusasli sementara jika belum mendapatkan ijazah.
Saya mengisi data diri di lembar jawaban yang disediakan. Soal dibagikan, tetapi tidak boleh dibuka sebelum tanda mulai mengerjakan. Sesi pertama adalah TPA (Tes Potensi Akademik) yang memuat verbal, numerikal, figural, matematika dasar, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Bel berbunyi beberapa menit kemudian; peserta sudah boleh mengerjakan. Di awal, saya santai saja mengerjakan. Sampai nomor 20-an, soal mulai sulit. Ada jenis soal baru ternyata. Edan! Figuralnya lumayan susah, walaupun akhirnya bisa saya temukan jawabannya. Selesai figural, saya segera ke bahasa Indonesia. Setelah itu, ke bahasa Inggris. Tidak terasa sudah masuk lima belas menit terakhir. Saya mulai tergopoh. Sepuluh menit terakhir baru saya sampai di matematika. Lebih edan! Akhirnya, dengan sangat terpaksa, saya gambling. Gambling ini adalah istilah yang dibuat oleh Hasbi. Teknisnya adalah mengerjakan semua soal pada bab tertentu dengan cara memilih abjad yang sama dari nomor awal sampai akhir. Malam sebelumnya, tanggal 30 malam, saya sempat “berlatih” gambling dengan Hasbi dan Yunaz. Jadi, kami meguji coba semua jawaban dari lima paket soal dari berbagai buku latihan soal yang kami punya. Singkat cerita, jawaban yang paling banyak muncul dari semuanya adalah jawaban “C”. Gambling ini digunakan ketika benar-benar tidak bisa mengisi semuanya karena soalnya sulit. Akhirnya, saat sampai di bab matematika, saya gambling. Saya memilih C di semua nomor matematika (15 soal). Ini karena memang soalnya yang edan dan saya tidak punya banyak waktu. 10 menit itu terasa pendek. Ya sudah. Yang penting saya sudah berusaha semampu saya. Peserta kemudian dipersilakan keluar setelah bel tanda berakhir pengerjaan berbunyi.
Saya kemudian ke musala dekat ruangan Hasbi untuk salat duhur. Di sana saya bertemu Hasbi. Setelah salat, saya ke depan musala untuk bertemu Hasbi. Ternyata, ini juga sekaligus membuat saya bahagia, tidak saya saja yang merasakan bahwa TPA SBMPTN 2016 cukup sulit. Hasbi yang cerdas matematika dan sering mengajari saya matematika di indekos hanya bisa menjawab sekitar tiga atau lima soal saja. Ia pun mengakui bahwa TPA tahun ini lebih sulit dari TPA tahun lalu. Ia juga bertanya ke teman-temannya yang ada di Surabaya tentang kesulitan di TPA. Teman-temannya di Surabaya, yang juga ikut tes lagi, bilang bahwa TPA tahun ini lebih sulit dari TPA tahun lalu. Itu membuat saya jauh lebih lega. Mengapa? Kalau semua peserta merasakan sulit dalam TPA ini, itu berarti kami semua rata alias sama saja. Harapan itu masih ada. Saat itu saya yakin bahwa saya masih berkemungkinan diterima, tetapi saya tidak tahu akan jatuh di pilihan berapa.
12.45 dimulai sesi kedua. 15 menit waktu pengisian data diri. 13.00 mulai mengerjakan. Kali ini adalah soal tes soshum yang terdiri dari sejarah, ekonomi, geografi, dan sosiologi. Saya merasa soshum lebih mudah dan tidak semenengangkan TPA. Namun, tetap diperlukan ketelitian untuk mengerjakan soal.
Pukul 14.00 tes selesai. Alhamdulillah. Satu perang selesai dilaksanakan. Sesuai rencana, kami berkumpul di lapangan UPN. Saya datang terlebih dahulu bersama Hasbi. Yunaz dari arah timur dan Fizal dari arah barat datang hampir bersamaan. Reaksi pertama bertemu sesuai ujian: tertawa. Kami duduk di sana. Kami bercerita banyak hal. Hal pertama yang kami bicarakan adalah mengenai TPA. Ternyata, tidak saya saja yang gambling untuk matematika. Fizal, seorang yang juga pandai dalam matematika, melakukan gambling. Yunaz hanya menjawab satu soal matematika. Itu saja katanya menjawab dengan sekenanya. Kami juga mengakui bahwa figural tahun ini sulit. Agar tidak tegang, kami berhenti membahas tentang ujian. Yang lalu biarlah berlalu, tinggal berdoa agar diberikan yang terbaik oleh-Nya. Kami masih di situ. Kami bercanda. Sebenarnya, dalam berbagai keadaan, termasuk saat belajar, kalau ada Fizal dan Yunaz, hidup kami penuh dengan bercanda. Di lapangan itu saya tertawa sampai tidak bersuara gara-gara Fizal. Yunaz tidak kalah lucunya. Mulai dari bercanda mengenai TPA sampai bercanda mengenai iklan masa kecil dulu. Yunaz dan Fizal adalah “everywhere-flexibly-comedian” favorit saya. Saya dan Hasbi yang pada dasarnya tak pandai membuat lelucon pun hanya menikmati Fizal dan Yunaz bercanda. “Urip full guyon,” kata Yunaz. Namun, sesekali kami masih mengungkit perihal tes tadi. Singkat cerita, kami salat asar setelah itu di masjid UPN. Setelah itu, kami mencari tempat makan di dekat sana. Ada warung prasmanan murah di dekat pintu selatan UPN. Saya makan porsi kuli. Kami kemudian pulang dan membahas apa saja yang terjadi bersama Andre.
1 Juni 2016. Kami berniat belajar di luar indekos. Karena saya ingat itu adalah minggu tenang, saya menyarankan agar belajar di kampus saja, tepatnya di Psikologi UGM. Di sana ada tempat yang nyaman untuk belajar. Ketika kami hampir sampai di psikologi, banyak mahasiswa datang. Rupanya psikologi belum minggu tenang. Kami kemudian ke masjid kampus. Hanya tiga puluh menit kami di sana. Kami kemudian ke GSP. Kami belajar di sana cukup lama. Saya belajar dengan Yunaz. Hari itu kami sepakat untuk khusus belajar materi bahasa Indonesia; esok harinya untuk bahasa Inggris dan sedikit matematika. Sekitar 45 menit kemudian kami kembali ke indekos.
Sesampainya di indekos, kami istirahat sebentar. Pada waktu istirahat itu, seperti biasa, kami bercanda tentang sesuatu. Bercandaan kami tiba pada pembahasan mengenai suatu hal. Saya lupa bagaimana awalnya hingga kami berbicara mengenai konsep lawan kata. Saat Fizal berkata “hitam-putih”, saya kemudian menjelaskan bahwa lawan dari sesuatu adalah yang bukan dari sesuatu itu, belum tentu apa yang biasanya disebut orang selama ini. Saya belajar ini dari mata kuliah logika. Seperti hitam-putih, sebenarnya lawan dari hitam belum tentu putih. Lawan dari hitam adalah yang bukan hitam atau nonhitam, mungkin merah, hijau, dsb. Begitu pula dengan siang-malam. Lawan dari siang sebenarnya bukanlah malam, tetapi bukan siang atau nonsiang. Kami kemudian mencoba mencari maksud dari lawan kata yang benar-benar lawan kata. Kami akhirnya menyimpulkan bahwa lawan kata hanya berlaku apabila hanya ada dua variabel dalam satu jenis. Misalnya, jenis kelamin. Jenis kelamin hanya ada dua: laki-laki atau perempuan. Maka, laki-laki memiliki lawan kata, yaitu perempuan karena yang nonlaki-laki atau bukan laki-laki hanya perempuan. Begitulah konsep lawan kata yang kami sepakati.
Sore menjelang petang Adam datang. Dengan kedatangan Adam beserta barang-barangnya, kamar terasa seperti penampungan pengungsi bencana alam. Hehehe. Tidak apa-apa. Saya justru senang dengan keadaan seperti itu.
Malam itu Fizal dan Andre belajar dengan Mbak Rere, kakak angkatan kami di SMA yang berkuliah di UGM jurusan matematika, di kampus. Saya, Yunaz, Hasbi, dan Adam belajar di kamar. Saya dan Yunaz menghabiskan materi bahasa Indonesia. Kelebihan belajar bersama seperti ini adalah saling melengkapi dan mengajari. Contohnya, Yunaz unggul dalam sejarah dan geografi. Ketika saya kurang paham dengan materi sejarah dan geografi, saya bertanya ke Yunaz. Begitu pula sebaliknya. Jadi, saling berbagi pengetahuan.
2 Juni 2016. Sama seperti hari biasanya. Kami belajar hampir sepanjang hari. Namun, kami juga tidak lupa beristirahat dan bercanda. Bercandaan itu sesungguhnya sering muncul secara tidak sengaja. Contohnya, ketika di ruangan sedang panas, Yunaz menyalakan kipas angin yang dihadapkan ke tembok. Kami kemudian melihat bersama-sama kipas itu. Yunaz menyanyi, “Sendiri…”. Maksudnya, kipas angin itu seolah sedang cuek. Hehehe. Ada juga ketika yang lain sedang mengerjakan latihan soal, Yunaz bermain Instagram, mencari video bus telolet. Full guyon. Ya, seperti itu, tetapi tetap tahu kapan harus serius. Terkadang kami belajar di luar materi yang diujikan. Contohnya, saya latihan berbicara bahasa Inggris dengan Hasbi. Hasbi lancar dalam berbicara bahasa Inggris. Saya kurang lancar berbicara dalam bahasa Inggris. Nah, jadi kami mencoba bercakap-cakap dalam bahasa Inggris. Saya mendapat untung karena saya bisa latihan dan Hasbi juga untung karena secara tidak langsung ia berlatih memperlancar speaking-nya. Hasbi juga berbagi pesan-pesan agar mudah belajar bahasa Inggris, seperti banyak membaca artikel bahasa Inggris dan latihan bicara sendiri dalam bahasa Inggris. Ah, saya jadi kangen. Saya sangat bersyukur bisa berkenalan dengan mereka semua. Sangat bersyukur.
Di saat sedang belajar, entah awalnya bagaimana, Hasbi bertanya bagaimana saya memutuskan untuk pindah. Saya bercerita awal saya memutuskan pindah kemudian ketika saya bercerita kepada Yunaz. Ketika itu, saya ingat bahwa Yunaz pernah bertanya sebuah pertanyaan: "Kamu tidak takut rugi umur, Ris?". Sekarang pertanyaan itu saya kembalikan ke Yunaz: "Kamu tidak rugi umur, Naz?".
Saya: "Naz, kamu kan dulu pernah bilang soal rugi umur waktu aku cerita ke kamu aku ingin pindah. Sekarang kamu sendiri juga hendak pindah ternyata."
Yunaz: "Iya, aku menyesal pernah bertanya seperti itu. Aku baru sadar ketika ngobrol soal umur dengan kakak angkatan. Lha kita ini lho gak ada yang tau soal umur. Kita bisa gak ada (meninggal) kapan saja. Jadi, rugi umur? Apa itu rugi umur?"
Yunaz ingin menyampaikan bahwa sesungguhnya rugi umur itu tidak ada. Bisa jadi kami diberi umur panjang untuk melakukan banyak hal. Bisa jadi dengan kami berkuliah di tempat baru nanti akan lebih banyak harapan dan jalan untuk meraih apa yang disebut orang-orang sebagai kesuksesan. Kalaupun mati, itu memang sudah waktunya. Jadi, mengapa masih berdebat soal umur, apalagi rugi umur? Toh selama setahun ini kami juga melakukan banyak hal, ya kuliah, hobi, dll. Rugi umur mungkin hanya ada untuk orang-orang yang tidak melakukan apa-apa sama sekali dan pasti tidak ada orang yang seperti itu kecuali orang mati. Oh iya, menyinggung soal kesuksesan, kesuksesan menurut saya pribadi bukanlah apa yang diartikan banyak orang selama ini sebagai mendapatkan uang banyak, pangkat tinggi, atau pekerjaan mapan (biasanya dikhususkan sebagai PNS semata). Bukan itu, bukan hanya itu. Ketika saya berhasil menyelesaikan suatu tugas dengan baik atau mewujudkan salah satu impian saya, itu sudah saya anggap sebagai kesuksesan. Itu pun tidak akan pernah mencapai kesuksesan yang tertinggi karena impian saya banyak dan tidak pernah habis, bukan hanya pekerjaaan mapan, pangkat tinggi, bukan. Kenapa sih, banyak orang tidak memberi label "kesuksesan" pada hal-hal kecil, misalnya sukses membantu seseorang tua menyeberang di jalan raya, sukses menjalankan acara anggota sebagai panitia, kok hanya pada hal-hal yang kesannya besar? Padahal, itu sama-sama sukses. Sukses dalam KBBI berarti berhasil. Jangankan seperti contoh tadi, menamatkan game di PS saja dianggap sukses, kok. Lho kan, gameyang bukan barang nyata saja sering menyebutkan kesuksesan, lebih menghargai:mission completed. Succsess! Congratulations! Jadi, mari kita mengkritisi istilah-istilah yang ada di sekitar kita. Bisa jadi banyak istilah yang membuat kita tidak maju atau menjadikan kita pesimis terhadap hidup, seperti rugi umur dan istilah "kesuksesan" yang disempitkan maknanya.
Malam harinya, saya dan Yunaz mempersiapkan segala keperluan yang akan kami bawa pada esok harinya, 3 Juni. Barang yang kami utamakan adalah berkas-berkas untuk tes kemudian alat komunikasi, pakaian, dan tentu saja uang.
3 Juni 2016. Ini adalah hari saya dan Yunaz berangkat ke Jakarta. Pagi harinya, saya, Yunaz, dan Fizal pergi ke Indomaret untuk berbelanja berbagai keperluan. Setelah dari Indomaret, kami makan bubur ayam di dekat GOR UNY. Porsi bubur ayamnya banyak dan rasanya enak. Saya baru tahu kalau di sana ada yang berjualan bubur ayam. Kami di sana sekitar dua puluh menit.
Seperti biasa, kegiatan kami selanjutnya adalah belajar. Fizal dan Andre belajar di kampus. Saya dan yang lain di indekos.
Menjelang 11.30 kami berangkat salat Jumat ke masjid kampus. Pemberi khotbah pada siang itu adalah Pak Amien Rais. Ini adalah kedua kalinya saya menjumpai beliau sebagai pemberi khotbah Jumat di masjid kampus. Bagi teman-teman saya, ini adalah yang pertama kali.
Selesai salat, kami kembali ke indekos. Di sana sudah ada Fizal dan Andre. Mereka tadi juga salat di masjid kampus, tetapi kami tdak bertemu. Pukul 13.30, sesuai rencana, saya dan Yunaz berangkat ke stasiun. Sebelum berangkat, kami berkumpul. Kami berdiri melingkar. Kami kembali menyampaikan tujuan, berdoa bersama, dan mengingatkan tujuan mengapa kami tes lagi sekaligus harapan yang terbaik. Fizal, Andre, dan Hasbi mengantar kami sampai depan bundaran filsafat; Adam tetap di kamar karena agak sakit. Saya dan Yunaz berangkat ke halte depan Kosudgama. Kami tak sabar menginjakkan kaki di Jakarta untuk yang pertama kali.
Dari halte Kosudgama, kami transit ke halte Kridosono, kemudian ke halteportable Stasiun Lempuyangan. Sebelum masuk pintu pemeriksaan tiket, kami duduk untuk mengeluarkan tiket dan kartu identitas. Saya mencoba untuk mencetak tiket pulang di sana, tetapi tidak bisa. Tertulis “tiket tidak bisa dicetak di sini” di layar mesin pencetak tiket. Ya sudah. Saya akan mencetaknya di Jakarta saja.
Terlihat banyak penumpang yang akan mengantre. Di antara penumpang-penumpang itu ada sekumpulan sesusia kami dan guru-gurunya. Mungkin akan pulang dari study tour. Karena menghindari antrean panjang, kami masuk terlebih dahulu. Melihat rel; ratusan kilometer akan kami tempuh.
Saya dan Yunaz duduk di sebelah ruang operator. Bau roti dari toko roti membuat stasiun layaknya mal. Menunggu satu jam di sana tidak terasa. Kereta yang akan kami naiki, Bengawan, datang. Kami menuju bagian ujung karena kursi kami ada di gerbong pertama. Saya di 4D dan Yunaz di 7E, tetapi Yunaz akhirnya pindah ke tempat duduk sampingnya.
Di depan saya adalah sepasang orang tua yang akan turun di Pasar Senen. Di samping saya ada seorang wanita seusia saya yang akan turun di Jatinegara. Saya melihat pemandangan sore dari jendela. Melewati terowongan panjang di jalur antara Kebumen-Purwokerto. Saya makan bekal saya ketika sampai di Purwokerto: sebuah roti Sari Roti. Ketika sampai di Purwokerto, saya teringat bahwa saya punya janji kepada kakek saya untuk kembali ke tempat kelahiran saya, Banyumas. Sudah delapan tahun lebih belum pulang. Ketika ada uang, tak ada waktu. Ketika ada waktu, tak ada uang. Saya merencanakan pada liburan semester II saya akan menyempatkan ke sana.
Hari mulai benar-benar gelap. Saya sebenarnya kurang suka lampu kereta dinyalakan karena tidak bisa melihat luar dengan jelas. Setiap saya melihat jendela, yang ada hanyalah pantulan orang-orang. Naik kereta pun saya sebenarnya juga kurang suka; saya suka naik bus. Hanya saja saya memilih alat transportasi yang murah dan cepat. Ya… cuma kereta. Namun, naik kereta saat perjalanan ke Jakarta itu tidak semembosankan naik kereta seperti biasanya karena ada tujuan yang benar-benar membuat semangat dan saya pergi bersama teman, sahabat tepatnya.
Di daerah… wah, saya lupa, Yunaz menyuruh saya untuk ke bangkunya; ada tempat kosong katanya. Saya coba main ke sana. Saya duduk di sana sekitar lima belas menit kemudian saya kembali ke tempat duduk saya. Saya disuruh duduk di sana lagi, tapi tidak mau. Setelah itu, saya merasa lapar sekali. Kebetulan ada pramusaji yang lewat dengan menawarkan Pop Mie. Saya beli satu. Lumayan.
Ketika sampai di sekitar daerah sebelum Cirebon, di area persawahan, ada sesuatu yang menarik. Di persawahan itu dipasang lampu-lampu yang ditata secara rapi membentuk pola. Itu adalah sebuah pemandangan yang indah. Baru pertama kali saya menemui persawahan yang dipasangi lampu.
Kereta berhenti agak lama di Cikarang. Ternyata kereta berhenti karena menunggu rel. Relnya dipakai bergantian dengan kereta lain. Mas Bagos menelepon. Ia ternyata sudah di stasiun. Saya melihat jam di telepon genggam. Wah, sudah pukul 23.30. Jadwal kedatangan kereta pada tiket adalah 23.45. Mas Bagos bilang untuk santai saja. Kereta melaju kembali. Namun, masih sering berhenti dengan alasan yang sama. Kereta berhenti paling lama saat akan masuk Jatinegara. Sekitar tiga puluh menit di sana. Para penumpang sudah kacau; banyak dari mereka mengomel. Yunaz mengirim pesan lagi. Ia bilang ia duduk di 7D dan di sana hanya ada dia. Saya segera pindah ke sana. Saya melihat ke arah luar. Masih ada angkot dan bus Transjakarta yang beroperasi. Transjakarta? Wah, tidak terasa, kami masuk Jakarta, di Jakarta Timur tepatnya. Mas Bagos menelepon lagi di Stasiun Gang Sentiong. Saya minta maaf karena kereta tidak sesuai jadwal, tapi ia bilang untuk tetap santai saja.
Sekitar 01.50 akhirnya kami sampai di Stasiun Pasar Senen. Wah, ternyata masuk ruang bawah tanah untuk keluar ke luar. Kami turun bersama rombongan anak-anak study tour yang di Stasiun Lempuyangan tadi saat berangkat. Begitu sampai di pintu keluar, saya mencari-cari Mas Bagos. Mas Bagos melambaikan tangan. Akhirnya, sampai juga di Jakarta.
JAKARTA
4 Juni 2016. Saya sejujurnya kagok, speechless. Baru keluar dari stasiun langsung disuguhi pemandangan gedung tinggi. Masih belum percaya kalau sudah di Jakarta. Mungkin karena ini adalah suatu hal yang baru bagi saya. Ini yang kata banyak orang kota metropolitan itu, yang sering muncul di berbagai media massa.
Sebelum ke indekos, Mas Bagos mengajak kami ke Circle K di dekat ruang kedatangan penumpang. Kami membeli roti. Kami kemudian duduk di sekitar sana dan mengobrol sebentar. Saya kira Mas Bagos membawa sepeda motor, ternyata ia naik taksi. Wah, saya jadi tidak enak karena ia sudah menunggu sejak dua jam lalu. Namun, seperti biasa, ia tetap santai dan tersenyum dengan gigi jarangnya. Hehehe. Omong-omong, Mas Bagos ini pemain bas, gitar juga. Dia yang pertama kali mengajarkan bermain gitar kepada saya. Ia juga seorang desainer visual, lulusan Animasi ITB. Bekerja di Jakarta karena tidak sengaja ikut job fair bersama temannya. Ceritanya panjang. :)
Sekitar pukul dua lebih sekian, Mas Bagos memesan Go-Car. Kami menunggu di luar stasiun. Ia bilang kalau menunggu di dalam akan berbahaya. Biasa, persaingan bisnis. Di depan Pasar Senen ada terminal bus. Saya awalnya ragu kalau itu terminal bus karena kalau terminal di Jatim atau Jogja terminalnya ada semacam bangunan dan tempat berteduh di dalamnya. Hmm… Singkat cerita, kami naik Go-Car.
Di sepanjang perjalanan, Mas Bagos banyak bertanya mengenai persaingan bisnis di kalangan taksi dan taksi daring, juga seputar sistem gajinya. Saya dan Yunaz melihat-lihat sekitar. Maklumlah, baru pertama ke Jakarta. Kalau tidak salah saya melewati bangunan STOVIA. Saya tidak tahu pasti karena saat itu hari masih gelap; saya hanya melihat sepintas tulisannya, tapi memang benar bangunan itu bangunan tua khas peninggalan Belanda. Saya melewati jalan-jalan lebar dan jalan layang. Akhirnya, kami sampai di daerah indekos Mas Bagos, tepatnya di Setia Budi. Kamar Mas Bagos ada di atas. Kami harus melewati tangga kecil untuk ke sana. Selesai menata kasur sebentar, mencuci muka, dan berganti pakaian, kami tidur.
Saya bangun pukul 07.37. Mas Bagos sudah bangun dulu. Yunaz bangun setelah saya. Sekitar pukul 08.00 lebih sekian, kami diajak Mas Bagos untuk mencari makan. Cuaca saat itu tidak terlalu panas. Mas Bagos bilang bahwa hari sebelum kami datang sangat panas. Kami berjalan melewati perumahan Setia Budi. Saya mendengar beberapa orang bicara dengan bahasa Jawa logat timur. Mas Bagos mengambil uang di semacam pusat ATM di dekat SMAN 3 Jakarta. Mas Bagos bilang siswi-siswi di sana itu punya rok panjang tapi ketat-ketat.
Kami melanjutkan mencari tempat makan. Kami sampai di warkop. Kalau di Jogja namanya burjo. Ternyata penjual di warkop itu adalah penjual di burjo saat Mas Bagos berkuliah di Jogja. Mas Bagos pernah kuliah di sana, di sebuah politeknik, sebelum ia berkuliah di ITB. Jadi, si penjual dan Mas bagos sudah akrab. Saya memesan mie tek-tek. Kalau di Jogja istilahnya mie dok-dok. Warkop yang kami kunjungi ini sangat bersih dan tertata rapi, tetapi harganya juga “rapi”. Mie dok-dok di Jogja hanya Rp7.000,00. Sementara itu, mie tek-tek, dengan sajian yang sama, Rp.13.000,00. Setelah makan di sana, kami tidak langsung pulang. Kami berjalan-jalan sebentar ke jalan besar, Jalan Sudirman, sekitar Dukuh Atas. Jalannya bersih; mungkin karena pusat kota. Transjakarta lewat setiap kurang dari lima menit sekali. Mas Bagos menjelaskan banyak hal. Di sana dekat dengan gedung BNI 46, Indofood, dan sebuah merek semen yang saya lupa namanya. Saya dan Yunaz diajak berjalan-jalan ke Stasiun Sudirman. Kami melewati sebuah sungai besar yang cukup bersih (sangat sedikit sampah) bagi ukuran Jakarta yang sering diberitakan banyak yang kumuh di TV. Jakarta tak teralu buruk. Apakah mungkin pemberitaan di televisi -banyak yang- melebih-lebihkan? Mungkin. Kami masuk sampai bagian depan stasiun. Kami melihat peta perjalanan kereta. Setelah itu, kami pulang.
Rencana sore itu adalah cek lokasi. Mas Bagos berencana untuk ikut kami cek lokasi sekaligus memberi pengarahan jalur. Sebelum itu, Mas Bagos mendapat panggilan mendadak untuk ke kantor. Sembari menunggu Mas Bagos, saya dan Yunaz belajar beberapa paket soal. Yunaz kemudian keluar ke halaman tengah. Ia bertemu dengan teman indekos Mas Bagos. Yunaz kembali ke kamar dan saya diajak keluar. Saya berkenalan dengan Mas Erwin dan satu orang lagi yang saya lupa namanya. Mas Erwin berasal dari Malang. Wah, Arema juga ternyata. Nah, yang satu lagi berasal dari Surabaya. Meskipun dari dua daerah yang sering dianggap bermusuhan, tetapi mereka biasa-biasa saja dan bercanda seperti pada umumnya. Sempat keluar seorang lagi; saya juga lupa namanya. Saya dan Yunaz mengobrol dengan kedua orang itu. Mereka bercerita mengenai pekerjaan mereka, masa-masa kuliah, bagaimana mereka bisa ke Jakarta, sampai rencana untuk mudik tahun ini. Kami juga bercerita mengenai kami. Kami menyampaikan tujuan kami datang ke Jakarta, yaitu untuk tes SIMAK. Ketika ditanya tempatnya, kami menjawab bahwa temat kami di SMPN 4 lantas bertanya letaknya kepada Mas Erwin. Mas Erwin bilang itu di depan Istiqlal, sama seperti yang teman saya katakan. Singkat cerita, kami belajar lagi setelah mengobrol. Sekitar pukul 14.15 Mas Bagos datang. Setelah istirahat sebentar, kami bertiga berangkat untuk cek lokasi sekaligus salat asar di masjid dekat indekos Mas Bagos. Saya mulai menyadari sesuatu di sini. Setiap kali kami akan di tes, di dekat tempat kami menginap, selalu dekat dengan masjid. Tahun lalu, ketika menginap di indekos Mas Adit, hanya berjarak kurang dari seratu meter ada masjid. Indekos saya hanya berjarak tiga rumah dari masjid. Kali ini, di indekos Mas Bagos, di depannya agak ke timur, tak sampai lima puluh meter, ada masjid juga. Mungkin kami dimudahkan untuk beribadah oleh dan kepada-Nya.
Setelah salat asar, kami ke halte Dukuh Atas 1. Mas Bagos menggunakan kartu Flazz BCA dengan mengisinya terlebih dahulu di tempat pengisian di halte. Saya membayangkan andai saja halte dan bus Trans Jogja seperti Transjakarta. Bukan bermaksud membandingkan, tetapi hanya berharap suatu saat Trans Jogja bisa lebih atau setidaknya sama dengan sistem Transjakarta: bus datang hampir setiap menit dan halte yang luas. Saya sangat menikmati naik Transjakarta meskipun tidak mendapatkan tempat duduk. Saya melihat-lihat sekitar. Kami melewati gedung BI, Plaza Indonesia, Thamrin (kawasan yang beberapa bulan lalu ramai karena ada pengeboman), Bundaran HI, beberapa gedung kementrian, sampai akhirnya kami turun di halte Monas. Maaf kalau ada kesalahan urutan tempat; saya agak lupa. Kami transit di halte tersebut kemudian naik Transjakarta lagi dan turun di halte Gambir 2. Saya sempat diusir oleh petugas karena naik ke bagian khusus wanita; saya segera pindah. Sebenarnya ada Transjakarta yang lewat di depan SMPN 4, tetapi petugas di halte Monas bilang itu datangnya lama. Kami melewati kantor gubernur. Kami turun di sana (Gambir 2) dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan. Ketika berjalan melewati Stasiun Gambir, saya melihat sekumpulan orang yang tak asing. Setelah melewati mereka, saya baru sadar kalau mereka anggota grup band Killing Me Inside. Ternyata kalau lewat di antara mereka seperti itu malah terasa biasa saja, tidak sepenasaran ketika melihat di televisi atau Youtube. Hehehe. Omong-omong, vokalisnya cantik sekali, lho. :)
Kami berjalan lewat jembatan penyeberangan di dekat halte Gambir 1. Kami lewat gedung Pertamina kemudian belok kanan sampai SMPN 4. Di bagian depan sudah dipasang denah ruangan sesuai nomor. Kalau dilihat dari nomornya, saya dan Yunaz kemungkinan akan duduk di depan. Saya di ruang nomor 13 dan Yunaz di 14. Kami hendak naik ke lantai dua, tetapi tidak bisa karena pintu ke lantai dua dikunci. Kami akhirnya keluar.
Selanjutnya, kami ke Monas untuk berjalan-jalan. Mas Bagos membawa kamera. Lumayan untuk berfoto-foto. Hehehe. Kami ada di bagian timur. Pintu yang kami datangi terkunci sedangkan kami tidak tahu pintu lainnya. Mas Bagos bilang bahwa dia dulu lewat pintu yang terkunci ini. Kami melihat ada orang-orang yang bisa melewati pintu itu dengan menerobos bagian bawahnya. Karena terpaksa, kami ikut-ikut. Untuk yang ini, jangan dicontoh, ya. Hehehe. Ini karena kami sama sekali tidak tahu jalan masuk ke Monas yang lain. Di dekat pintu gerbang itu kami berfoto. Mas Bagos memfoto saya dan Yunaz, tetapi hanya bisa beberapa pengambilan saja karena daya baterai habis. Mas Bagos lupa untuk menge-charge. Ia agak menyesal karena langit dan cahayanya sedang bagus untuk foto. Singkat cerita, kami masuk ke dalam Monas. Keren sekali. Banyak diorama yang menampilkan sejarah Indonesia. Kami hanya di lantai dasar kemudian keluar dan duduk sebentar. Setelah dari sana, kami keluar dari area Monas. Nah, kali ini kami keluar di pintu yang benar. Saya sempat melihat istana negara yang ada di depan area Monas. Kami berjalan ke halte Monas. Kami kembali ke Setia Budi. Sebelum ke indekos, kami makan di warteg dekat warkop yang kami kunjungi tadi pagi. Kenyang dan enak sekali. Setelah itu, kami pulang. Saya dan Yunaz belajar satu paket soal sebelum tidur.
Ini foto favorit saya yang diambil oleh Mas Bagos. Oh iya, Mas Bagos ini juga fotografer, lho. Coba cek website-nya: bagosrock.com |
Dari kiri: Mas Bagos, Yunaz. Sayang sekali terpotong :( |
PERANG KEDUA: SIMAK UI DAN UTUL UGM, 5 JUNI 2016.
Karena kami tidak ingin terlambat, kami berangkat pukul 07.30. Kami sudah sarapan sebelumnya di warteg yang kemarin malam. Kami pamit ke Mas Bagos. Kartu Flazz BCA diberikan ke saya untuk naik Transjakarta. Perjuangan kedua dimulai. Kami juga tidak lupa untuk selalu saling memberi kabar kepada teman-teman kami yang tes di Jogja. Kebetulan di Jalan Sudirman sedang ada CFD (Car Free Day). Karena bisa lewat tengah jalan, kami tidak perlu naik jembatan penyeberangan untu ke halte.
Kami mengikuti arahan seperti kemarin. Ketika melewati gedung kementrian pariwisata, saya teringat kepada Pak Tri. Pak Tri adalah guru saya semasa SMA yang sekarang bekerja di kementrian pariwisata. Saya menghubunginya lewat Facebook. Setelah ke Gambir 2, berjalan melewati gedung Pertamina, kami sampai di SMPN 4. Sudah banyak peserta yang hadir. Kami segera naik ke lantai dua menuju ruang 13 dan 14. Telepon genggam saya matikan. Saya dan Yunaz duduk di depan ruang 13. Kami berusaha untuk tidak tegang dengan cara bercanda. Kami mencoba membayangkan kenapa SIMAK dan UTUL bersamaan dengan membuat percakapan imajinasi. Full guyon. Saya sempat melihat seseorang yang mirip adik kelas saya di SMA.
Pengawas mulai berdatangan menjelang ujian. Mereka didampingi satu asisten yang masih mahasiswa dan memakai jaket almamater, the famous Yellow Jacket. Beberapa menit kemudian kami diperbolehkan masuk ruangan. Benarlah dugaan kemarin; saya duduk di depan ujung kiri. Sesi pertama adalah matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Saya awalnya bingung mengisi bagian data diri. Bentuk lembar jawabannya pun tidak seperti pada umumnya. Saya perlahan mengisi dan memastikan data yang saya isikan benar. Saya mengecek beberapa kali. Bel berbunyi; saya mulai mengerjakan.
Saya mulai mengerjakan dari bab bahasa Indonesia, bahasa Inggris, baru matematika. Ini jauh lebih lancar dari yang saya bayangkan dan tentu saja lebih lancar daripada saat SBMPTN. Alhamdulillah. Saya bisa menjawab banyak soal. Bahkan, untuk matematika, saya kali ini tidak gambling. Awalnya saya hanya bisa satu soal matematika. Saya kemudian melihat-lihat lagi. Ada soal yang bisa dikerjakan dengan bernalar. Saya ingat Sabda di CD Zenius pernah mengatakan bahwa matematika sebenarnya hanya perlu dibayangkan dan diikuti alurnya, bahkan tidak perlu menghafal rumus, hanya perlu paham dasarnya. Dari lima belas soal, saya bisa mengerjakan tiga. Ini lumayan. Rasa optimis saya meningkat. Saya memeriksa ulang hasil kerja saya. Tidak terasa bel berbunyi lagi, tanda sudah harus berhenti mengerjakan soal.
Saya dan Yunaz kembali berkumpul di depan ruang. Kami kemudian mencari musala. Setelah berkeliling dan bertanya kepada orang-orang di sekitar, kami menemukan tempat salatnya. Kami kemudian mencari tempat yang kosong untuk makan. Kami makan jajan ringan, yaitu Hepitoz dan Pilus Garuda. Saya bercerita kepada Yunaz bahwa saya sempat melihat salah satu adik kelas kami. Lima belas menit sebelum sesi kedua, kami kembali ke atas.
Sekitar lima belas menit kemudian, sesi kedua dimulai. Kali ini adalah giliran soal soshum. Saya menjawab cukup banyak. Yang jelas ini lebih baik daripada saat SBMPTN. Selesai. Baru saya sadar ketika sudah keluar ruangan kalau ada satu jawaban di ekonomi yang saya keliru jawab. Ya sudahlah. Tinggal menyerahkan pada Yang Mahakuasa kali ini. Setidaknya saya lebih optimis di SIMAK. Dua perang besar sudah selesai.
Oh iya, mungkin ada yang bertanya mengapa semua tes ini (SBMPTN dan SIMAK) saya sebut sebagai perang. Hal ini dikarenakan tes ini bukan tes biasa, terutama SBMPTN. SBMPTN tahun ini diikuti oleh lebih dari 700.000 ribu orang. Menengok tahun lalu, dengan peserta sekitar 650.000, hanya ada 20% atau kurang dari itu yang lolos. Selain itu, dipastikan tidak ada praktik contek-mencontek dalam tes ini karena soal dibagikan secara acak dan hanya diketahui panitia, begitu pula sistem penilaiannya. Kalau pun ada yang mencontek atau curang, pasti segera dikeluarkan dan didiskualifikasi. Oleh karena itu, orang-orang yang lolos dari SBMPTN (SIMAK juga) bukan orang-orang biasa. Di UI, persaingannya ketat. Daya tampung relatif sangat sedikit dan pendaftarnya sangat banyak. Sebenarnya ada yang lebih sulit lagi, yaitu di ITB karena hanya ada dua jalur masuk (SNMPTN dan SBMPTN) dan persaingannya sangat ketat. Itulah mengapa orang-orang yang di ITB pasti bukan sembarang orang.
Saya dan Yunaz turun ke arah gerbang keluar. Benar ternyata, kami bertemu adik kelas kami. Ega kalau tidak salah namanya. Dia memilih Hukum UI. Dia bilang bahwa dia tes SBMPTN juga di Jakarta. Kami kemudian ke Istiqlal.
Saya menyalakan kembali telepon genggam. Sudah ada pesan balasan dari Pak Tri. Saya segera membalas kembali. Saya membalas sambil berjalan masuk area Istiqlal. Karena lapar, kami mencari makan di sana. Di sana ada tempat makan yang sangat murah kalau ukuran Jakarta, di area luar masjid.
Azan asar berbunyi; saya dan Yunaz masuk ke masjid. Hampir di setiap sudut ada petugasnya yang bekerja dalam masing-masing tugas. Kami menitipkan sepatu di lantai dasar dan tas di lantai dua. Kami masuk ruang utama. Wow! Ini ruang masjid terluas yang pernah saya lihat. Saya pernah masuk ke Masjid Agung Jawa Tengah di Semarang; saya kira itu paling luas. Saya merasa kecil dan memanglah saya kecil. Di dalam ruang itu pun ada petugas yang bertugas mengatur barisan salat. Singkat cerita, kami selesai salat. Kami kemudian menuju Monas. Kami melewati toko es krim terkenal, yaitu Ragusa.
Ketika duduk di Monas, Pak Tri menelepon. Saya bilang bahwa saya ada di Monas yang dekat Gambir. Pak Tri sedang menuju ke kami. Saya dan Yunaz menunggu di sebuah bangku. Yunaz belum pernah bertemu Pak Tri sehingga ia penasaran. Saya ceritakan saja bahwa Pak Tri penampilannya seperti anak muda. Lima belas menit kemudian Pak Tri datang dengan menggunakan sepeda motor. Wah, sudah sangat lama kami tidak bertemu. Beberapa bulan lalu ketika Pak Tri datang ke Jogja, saya sedang ada acara di kampus. Kini kami bertemu. Kami mencari tempat yang enak untuk duduk bersama. Pak Tri menyarankan agar kami mencari tepat duduk di Indomaret Point Stasiun Gambir. Kami akan bertemu kembali di sana. Setelah Pak Tri beranjak ke Indomaret Point, sembari saya dan Yunaz berjalan, Yunaz berkata bahwa penampilan seperti anak muda. Dalam perjalanan, Yunaz juga menyampaikan bahwa kami harus kembali ke Jakarta. Fix, kami harus bisa kembali.
Saya dan Yunaz sampai lebih dahulu di tempat. Kami duduk di bangku yang kosong yang mengelilingi sebuah meja. Yunaz masuk ke dalam untuk membeli minuman. Ketika Yunaz di dalam, Pak Tri datang. Pak Tri mengajak saya ke dalam untuk membeli sesuatu, tetapi saya masih di luar karena saya pikir hanya bercanda. Baru ketika Yunaz keluar, dia bilang Pak Tri menyuruh saya ke dalam. Pak Tri melambaikan tangan. Saya masuk dan disuruh membeli makanan beserta minuman. Akhirnya, kami duduk di tempat tadi. Kami bercerita banyak hal. Pak Tri membagikan pengalamannya selama bekerja di kementrian parwisata. Ia bercerita mengenai pekerjaannya yang saya kira cukup menyenangkan karena berkunjung ke berbagai daerah di Indonesia, dari ujung timur sampai ujung barat, dari paling utara sampai paling selatan. Ia bercerita mengenai orang-orang Papua dan budayanya. Pak Tri juga bercerita bahwa kementrian pariwisata sedang giat-giatanya mempromosikan pariwisata di Indonesia. Pantas saja saya akhir-akhir itu sering melihat iklan promosi pariwisata. Banyak hal yang disampaikan Pak Tri. Kami pun begitu. Kami menyampaikan tujuan kami ke Jakarta. Kami bertiga membahas pentingnya merantau. Pun membahas kehidupan di Jakarta. Kami bersyukur bertemu Pak Tri. Hal yang menarik, setelah bercerita banyak hal, ternyata orang tua Yunaz adalah teman dekat Pak Tri. Ibu Yunaz adalah seorang guru dan Pak Tri memang dulu adalah seorang guru terkenal di Batu. Kebetulan ibu Yunaz menelepon saat itu. Segera ia menyambungkan ke Pak Tri. Ini namanya sambung dulur, menyambung persaudaraan, dari yang tidak kenal menjadi saudara, silaturahmi tidak terduga. Oh ya, saya menghubungi Mas Bagos, memberi kabar bahwa kami sedang bersama guru kami.
Pak Tri mengajak kami ke Kota Tua. Sebelum itu, saya mencetak tiket untuk pulang di Stasiun Gambir. Sepeda motor Pak Tri dititipkan di daerah stasiun. Kami berjalan melewati Gereja Imanuel. Pak Tri mengatakan bahwa gereja tersebut memiliki sebuah piano besar di dalamnya. Kami juga melewati gedung kementrian kominfo kalau tidak salah. Gedungnya bercorak khas Belanda. Eh, kominfo atau perhubungan, ya? Saya lupa, pokoknya di antara dua itu. Kami bertiga naik Transjakarta dari halte Gambir 1. Kami transit di halte Harmoni. Kami melewati daerah Glodok dan satu daerah lagi saya lupa namanya. Pak Tri menyebutnya “daerah merah”. Belakangan saya tahu kalau daerah sekitar sana adalah daerah “manusia malam”. Ya… tahulah apa yang saya maksud.
Kami turun di halte Stasiun Jakarta Kota. Halte tersebut terletak di tengah jalan. Untuk menyeberang, kami lewat bawah tanah. Keren! Saya mengira penyeberangan bawah tanah ini adalah peninggalan Belanda karena bangunan-bangunan di sekitar sana bergaya khas Belanda. Ternyata, kalau dilihat secara fakta, Belanda tidak sepenuhnya meninggalkan penderitaan bagi Indonesia. Setidaknya ada yang bisa dimanfaatkan pada zaman ini.
Setelah melihat sisi rapi Jakarta di pusat kota, di Kota Tua ini saya melihat sisi Jakarta yang kebalikannya. Sampah berserakan di sekitar gedung Museum BI dan Mandiri. Kendaraan umum ngetem. Memasuki daerah Kota Tua pun begitu. Melewati semacam pasar malam di sana. Di depan Museum Fatahilah, kami disuguhi pemandangan perempuan-perempuan yang berduaan bersama sesama jenisnya. Kami melihatnya di beberapa tempat. Pasangan laki-laki dan perempuan bergandeng tangan seperti tidak ada siapa-siapa. Saya dan Yunaz agak terkejut karena hal yang biasanya disembunyikan, di sana diperlihatkan secara terang-terangan. Ya saya dan Yunaz hanya mengamati sambil membatin saja. Kami kemudian diajak Pak Tri untuk berkeliling. Niatnya mencari soto betawi, tetapi tidak ketemu. Kami melewati tempat khusus menjual makanan. Ada pengamen kreatif. Ia bermain beberapa alat musik dalam satu waktu. Keren! Saya juga melihat preman yang “minta jatah” ke pedagang-pedagang yang ada di sana. Saya tak bisa berkata apa-apa; semua yang saya lihat di televisi, yang saya baca di media sosial mengenai sisi remang Jakarta, hampir semua saya lihat di sana, di Kota Tua. Ini pengalaman yang sangat menarik.
Karena tak mendapatkan soto betawi yang diinginkan, kami brdua diajak ke sebuah restoran. Restoran itu terletak di sebelah kawasan penjual makanan. Di restoran itu ada grup musik yang sedang bermain. Mereka memainkan lagu keroncong. Pak Tri memanggil pramusaji. Seperti biasa, prinsip anak indekos saya terapkan: jika tempat makan mewah, pilih makanan yang paling murah; jika tempat makan standar kaum burjois (kaum yang suka makan di burjo); pilih makanan yang paling banyak porsinya dan tentu saja yang paling murah. Hehehe. Namun, semurah-murahnya restoran, harga makanannya tetaplah relatif mahal bagi saya dan Yunaz. Akhirnya, kami ikut-ikutan Pak Tri saja. Singkat cerita, kami selesai dari sana kemudian ke halte Jakarta Kota lewat jalan bawah tanah lagi. Saya lupa bagaimana Pak Tri tahu kalau sisa uang di kartu Flazz saya tinggal sedikit; ia mengisinya. Kami pulang satu bus, tetapi Pak Tri turun di halte Harmoni sedangkan saya dan Yunaz lanjut sampai Dukuh Atas 1. Kebetulan esok hari adalah hari pertama puasa. Wah, kami mengawali puasa di Jakarta. Sebelum ke indekos, kami salat tarawih sendiri di masjid dekat indekos Mas Bagos. Kami kemudian pulang.
Dari kiri: Yunaz, saya, Pak Tri |
halte Jakarta Kota |
6 Juni 2016. Rencana hari itu adalah jalan-jalan ke UI sekaligus ke rumah Mbak Syifa. Sehari sebelumnya, saya sudah menghubungi Mbak Syifa bahwa saya jadi berkunjung ke rumahnya setelah dari UI. Kami akan bertemu di UI terlebih dahulu. Saya juga menghubungi teman saya yang di sana. Teman saya bilang,”okedeeh”.
Kami berangkat pukul 07.30 dari Stasiun Sudirman. Kami ini melawan arus. Jadi, kalau pagi hari, orang-orang dari luar Jakarta banyak yang masuk ke Jakarta. Sementara itu, orang yang keluar Jakarta jauh lebih sedikit. Saya dan Yunaz berjalan menuju stasiun dengan arah yang salah di jalan. Kami berjalan di sebelah kanan. Dua orang menembus lautan ratusan orang.
Ini adalah pertama kali kami naik KRL. Sistem tiket di sini adalah sistem jaminan. Jadi, kami membayar Rp14.000,00 per orang kalau tidak salah. Kami mendapatkan tiket. Nanti, di Stasiun UI, tujuan kami, akan dikembalikan Rp10.000,00 jika kami mengembalikan tiket tersebut.
Kami lewat jalur 2. Tak perlu menunggu cukup lama, kereta kami datang. Awalnya, kami tidak mendapat tempat. Barulah di stasiun ketiga atau keempat, kami bisa duduk. Di sana kami melihat orang-orang yang berumah di tepi rel. Tidak terasa saya tertidur. Saya dibangunkan Yunaz ketika sampai di Stasiun Universitas Pancasila. Kami kemudian berdiri, bersiap untuk turun. Akhirnya, kami sampai di Stasiun UI. Kami menukarkan tiket dan mendapat uang jaminan kami. Saya menghubungi Mbak Syifa dan teman saya. Mbak Syifa masih di rumah, tetapi sebentar lagi akan berangkat. Sementar itu, teman saya, sampai saya menulis tulisan di bagian ini (25 Juni), ia belum membalas. Ya sudah, tidak masalah.
Saya dan Yunaz memulai perjalanan di UI dengan melewati tugu makara. Setelah itu, kami memutar. Kami sebenarnya tidak tahu akan ke mana kami berjalan. Pokoknya jalan-jalan.
Benarlah kata Mas Bagos. Mas Bagos bilang di UI dingin karena banyak pohon. Memang ini hampir mirip hutan. Oleh karena itu, berjalan-jalan di sana tidak terasa panas.
Kami melewati Fisip UI. Kami berjalan sampai menemui tanda panah yang menunjukkan FIB. Kami ikuti arah tanda panah itu. Sampailah kami di FIB. Kampus sepi, hanya ada beberapa orang. Mungkin sedang hari tenang.
Pintu utama masuk FIB memang terlihat tidak terlalu luas, biasa saja malahan. Namun, ketika masuk ke dalam, baru terasa luasnya. Luas FIB UI ini setara dengan area fakultas filsafat, psikologi, ilmu budaya, dan ekonomi di UGM. Saya tak melebih-lebihkan; memang luas. Kampusnya banyak pohon dan payung. Ada ruang kuliah terbuka yang menghadap ke danau. Kami duduk sebentar di sekitar tempat simulasi ekskavasi arkeologi. Kami melanjutkan perjalanan.
Kami melewati jembatan Teksas. Niat kami ke rektorat. Ternyata, setelah melihat peta UI di internet, kami salah arah. Kami balik arah dan lewat FIB lagi. Saat kami menuju ke rektorat, kami mendengar percakapan dari dua orang. Mereka bicara dengan gaya bicara Jakarta-an.
X: “Eh, temen gua keterima di sastra Inggris Unair (orang ini mengucap “Unair”, bukan “Uner” seperti biasanya).
Y: “Eh, masa?”
Yunaz dengan suara pelan berkata, “Eh, kampus gua,” dengan logat medoknya.
Kami sempat mampir di semacam koperasi mahasiswa di dekat kantin yang berbentuk payung. Tempat itu menjual berbagai barang, seperti makanan, oleh-oleh berupa stiker, dan buku. Kami membeli stiker di sana. Yunaz membeli stiker Arkeologi FIB UI; saya membeli stiker Indonesia FIB UI. Lanjut.
Kami lewat depan Perpustakaan UI. Hanya lewat.
Yunaz: “Pantaslah (UI) disebut world class university.”
Kami melanjutkan ke rektorat. Kami mencari tempat untuk duduk. Kami duduk di sana selama kira-kira dua puluh menit. Lanjut. Kami kembali ke FIB.
Di dekat panggung teater daun sirih kami duduk. Mbak Syifa bilang sudah ada di FIB. Saya bilang bahwa saya dan Yunaz ada di tempat tersebut. Lima menit kemudian Mbak Syifa datang. Ini pertama kali saya ketemu Mbak Syifa. Biasanya hanya lewat Line dan Facebook. Singkat cerita, kami ikut masuk ke ruang kelas di gedung enam kalau tidak salah. Kami ikut menyaksikan kelompok Mbak Syifa berlatih teater untuk ujian akhir. Kami juga berkenalan dengan teman-temannya.
Latihan selesai. Kami diajak ke rumah Mbak Syifa. Berjalan ke depan Stasiun UI. Kami naik bikun (bis kuning) sampai di suatu tempat angkot ngetem. Lanjut dengan angkot. Kami melewati tulisan besar “Universitas Indonesia”, gerbang utama, dan Universitas Pancasila. Kami turun di dekat sebuah pertigaaan. Di sana kami naik angkot lagi. Di situlah saya pertama kali menyaksikan tukang angkot mengumpat dengan umpatan khas gaya Jakarta. Kalau di Malang atau Surabaya terkenal denganjancuk-nya. Nah, si sopir angkot ini tadi memaki “anjing, monyet” kepada sebuah mobil yang mepet ke angkotnya. Lalu lintas di sana agak kacau. Oh iya, sekadar meluruskan, “jancuk” ini sebenarnya kata netral. Ia bisa berubah konotasi tergantung penggunaannya. Misalnya, kalau saya melihat sesuatu yang sangat bagus, kemudian saya bilang “jancuk apik”, itu berarti saya mengungkapkan kekaguman saya kepada sesuatu yang bagus dan konotasinya positif. Jadi, kata tersebut tidak selalu negatif. Hanya saja kata-kata ini memang lebih terdengar seperti mengumpat; akhirnya dianggap kata negatif.
Kami turun dari angkot di sebuah tempat. Berjalan sedikit sampai masuk daerah Rumah Sakit TNI Cilandak. Maaf kalau salah nama. Hehehe. Sudah mulai hujan. Kami agak berlari. Tidak jauh dari sana, kami sampai di rumah Mbak Syifa.
Saya dan Yunaz disambut oleh kucing lucu yang besar. Ada juga adik Mbak Syifa, namanya Dafa. Kami langsung disuruh bermain PS bersama. Saya tanya ke Dafa mengenai sekolahnya. Dia bilang masih libur awal puasa.
Saya: “Dafa kelas berapa, sih?”
Dafa: “Kelas 1, Mas,” sambil bermain PS bersama saya.
Saya kira dia sudah kelas 1 SMA. Ternyata, dia masih kelas 1 SMP atau kelas 7. Wow! Tinggi badannya sekitar 180 sentimeter. Kami terus bermain PS. Saya bergantian dengan Yunaz. Apalah daya saya yang sangat jarang main PS. Melawan Yunaz saja kalah. Saya hanya berhasil satu kali. Itu pun melawan Mbak Syifa. Ah, kecil. Hehehe. Kami main permainan sepak bola.
Saya dan Yunaz sempat bertanya soal biaya hidup di Depok kepada Mbak Syifa. Pertama, soal indekos. Biaya indekos di Depok berkisar Rp400.000,00 sampai Rp700.000,00 per bulan. Menurutnya, yang paling banyak adalah sekitar Rp500.000,00.Kedua, biaya makan. Untuk makanan, intinya tidak semahal di Jakarta.
Tiga puluh menit kemudian ibu Mbak Syifa datang. Saya segera berkenalan. Kami sebenarnya berencana pulang setelah asar, tetapi oleh ibu Mbak Syifa disuruh pulang setelah magrib saja, diajak berbuka puasa di sana. Wah, saya harus mengabari Mas Bagos dulu.
Setelah salat asar, barulah saya bertemu dengan teman ayah saya, Pak Warsono namanya.
Pak Warsono: “Harrits, ya?”
Saya : “Iya, Om,” sambil melihat ke atas karena Pak Warsono tinggi sekali.
Jadi, dalam satu keluarga itu tidak ada yang pendek. Minimal di atas saya sedikit. Saya dan Yunaz seperti orang kerdil di sana. Hehehe. Namun, apalah arti tinggi badan, toh sama-sama manusia. Ya, kan? Tapi memang keren sih kalau tinggi. Hmm… Omong-omong, saya pakai gaya tulisan yang santai saja, ya. Biar saya nulisnya juga enak. Lagi pula ini bukan skripsi. Hehehe.
Pak Warsono ikut duduk bersama saya, Yunaz, dan Dafa. Ia bercerita bahwa ia dulu pernah gondrong dan kurus. Lebih kurus dan gondrong dari Yunaz. Ya awalnya saya tidak percaya karena dia kan tentara. Tetapi memang benar. Ia juga bercerita mengenai masa sekolahnya sewaktu bersama bapak saya. Pak Warsono ini juga menyukai seni dulu. Ia bisa menari bahkan. Sulit dibayangkan dengan bentuk tubuh Pak Warsono yang tinggi nan kekar itu. Orangnya santai, tapi ia bercerita bahwa jika ia menemukan hal yang menyimpang pasti ditegur, dimarahi kadang. Prinsip ini ada benarnya. Sebut saja tegas dan disiplin.
Tidak terasa kami mengobrol, sambil bermain PS juga tentunya, sampai azan magrib datang. Rupanya Mbak Syifa dan ibunya sudah mempersiapkan makanan sejak asar tadi. Tidak tanggung-tanggung, berbagai masakan enak dihidangkan beserta es buah. Alhamdulillah. Puasa hari pertama lancar dan menyenangkan. Pak Warsono kemudian bertanya jadwal pulang saya dan Yunaz. Saya bilang, “Besok, Om”. Pak Warsono menyayangkan. Katanya hendak diajak jalan-jalan dulu ke Ancol. Hehehe. Ya… bagaimana lagi, tiket sudah dipesan. Ketika memesan tiket pada bulan Maret, saya pun tak menyangka akan bertepatan dengan awal puasa.
Singkat cerita, akhirnya saya dan Yunaz pulang setelah salat magrib naik Go-Car. Hayo tebak, sopirnya dari mana? Ternyata, berasal dari Jogja. Yah… jauh-jauh ke Jakarta, ujung-ujungnya ketemu dengan orang Jogja lagi, Malang, Surabaya juga. Hehehe. Ia bercerita bahwa ia dulu kuliah di jurusan Elins UGM, tetapi hanya satu tahun. Ia mendaftar lagi ke Teknik Elektro UNY. Ia bilang bahwa ia sebenarnya ingin tinggal di Jogja saja, tetapi pekerjaanlah yang menuntutnya ke Jakarta.
Kami turun di dekat halte Dukuh Atas 1. Dari situ kami berjalan. Kali ini kami tarawih di indekos. Mas Bagos tidak ada di sana ketika kami datang. Ketika datang, ia menaruh barang sebentar dan sedikit bercakap-cakap. Ia kemudian tidur di kamar temannya. Saya tak bisa membayangkan kalau tak ada Mas Bagos. Saya dan Yunaz mungkin hanya akan jadi gelandangan Jakarta atau istilah agak kerennya “musafir”.
Malam itu adalah malam terakhir kami di Jakarta. Esok harinya kami harus pulang. Rencana selanjutnya adalah kami pulang ke Jogja. Kami sampai di Jogja sekitar pukul 19.30 (menurut jadwal di kereta). Rencananya, kami ke indekos saya sebentar kemudian lanjut ke Terminal Giwangan untuk ke Surabaya. Dari ujung ke ujung.
7 Juni 2016. Kami berangkat (terlalu) pagi sekitar pukul 07.30. Jadwal kereta pukul 11.30. Tidak terasa harus meninggalkan Jakarta. Tapi kami yakin akan kembali lagi. Saya dan Yunaz berpamitan dengan Mas Bagos dan beberapa teman indekosnya. Kami di antar ke jalan depan untuk naik taksi. Terima kasih banyak, Mas Bagos. Mata saya agak berkaca-kaca ketika menulis bagian ini.
Kami naik taksi ke Stasiun Pasar Senen. Pengemudinya berasal dari Tegal ternyata. Jadi, selama naik taksi di Jakarta, kami tak pernah menemui pengemudi yang asli Jakarta. Semua pendatang. Daya tarik Jakarta bagi pendatang sangat besar. Pengemudi-pengemudi taksi inilah buktinya, sekaligus Mas Bagos, teman-temannya, Pak Tri, bahkan Pak Warsono. Mungkin Jakarta adalah salah satu kota wajib bagi perantau. Di saat-saat terakhir akan meninggalkan Jakarta inilah saya merasa bahwa perjalanan saya dan Yunaz ke Jakarta tidak hanya untuk tes, tetapi kami mendapatkan lebih dari itu. Pengalaman ini tidak bisa terbeli oleh apa pun. Itu sebabnya saya menulis ini semua agar pengalaman itu masih dapat saya dan teman-teman saya kenang meskipun ada beberapa bagian yang terpaksa saya singkat. This is great history, at least for me and my friends, best friends exactly.
Saya dan Yunaz sampai di Pasar Senen. Kami menunggu di sana satu jam setengah. Kami melihat ada rombongan tentara berseragam. Jarang-jarang mereka naik kereta, atau mungkin saya saja yang kurang tahu. Di sana sudah disediakan tempat untuk antre masuk ruangan. Ya namanya juga orang-orang; masih ada yang menyerobot. Kami ke jalur dua.
Sepuluh menit kemudian kereta kami datang. Yunaz bilang, “Wah, semoga nanti duduk di depan cewek cantik”. Yunaz salah. Di depan kami duduk seorang bapak dan anaknya. Saya duduk di 1B; Yunaz di 1A. Kereta tak berhenti lama. Sampai jumpa lagi, Jakarta. Saya berpamitan ke Mbak Syifa dan Pak Tri lewat Line dan SMS.
Di tengah perjalanan, bapak tersebut memulai percakapan. Kami saling bercerita. Ia ternyata pernah berkuliah di Malang (UB). Ia kini bekerja di Balikpapan. Ia dan anaknya hendak ke Cirebon. Singkat cerita, di Cirebon, bapak dan anaknya itu turun. Yunaz ternyata tidak salah. Seorang cewek cantik duduk di depan Yunaz. Wah, doa Yunaz dikabulkan Tuhan. Hehehe. Di sebelahnya juga seorang wanita. Saya dengar dari pembicaraan mereka bahwa mereka hendak ke Purwokerto. Mereka mahasiswi Unsoed.
Sesampainya di Purwokerto, penumpang berganti. Kali ini yang duduk di depan Yunaz adalah seorang ibu dan yang duduk di depan saya adalah seorang bapak, tetapi mereka bukan suami-istri. Kami sering dikira orang-orang yang habis mendaki. Mungkin karena gaya pakaian kami, terutama Yunaz yang berpakaian layaknya hendak mendaki dan membawa tas gunung. Memasuki Kebumen, saya mulai merasa agak sakit karena keadaan perut tidak terisi dan terpapar angin dari AC. Oleh karena itu, sewaktu ada pramusaji yang menawarkan Pop Mie, kebetulan saat berbuka puasa, saya segera membelinya. Begitu pula Yunaz.
19.46 kami sampai di Stasiun Lempuyangan. Saya tak kuat lagi. Sakit. Ingin segera rebah. Rencana berubah. Kami akan ke Surabaya esok paginya saja. Ketika kami keluar stasiun, kami bingung memilih kendaraan apa untuk ke indekos. Saya mencoba memesan Go-Car atau Go-Jek. Eh, aplikasi saya agak error. Kami mencoba naik taksi, tetapi tidak jadi karena harganya terlalu mahal. Akhirnya, kami memilih naik becak ke halte Kridosono. Sebenarnya cukup dekat, tetapi memang badan saya ketika itu tidak bisa dipaksakan untuk berjalan. Tukang becak itu bilang ongkosnya Rp20.000,00 atau Rp25.000,00, tetapi ditawar Yunaz hingga sepakat Rp15.000,00. Sebenarnya tidak tega juga. Kasihan. Sehari mungkin ia mendapat hanya beberapa penumpang. Ia pun sudah agak tua, sekitar 40-50 tahun. Malam hari pula. Ya tapi bagaimana lagi. Keadaan keuangan-kami memaksa kami untuk menawar.
Kami sampai di halte Kridosono dan menunggu bus jalur 2A. Tidak lama setelah itu, bus datang. Kami segera naik. Kami turun di halte Kosudgama. Kami kemudian berjalan sampai ke indekos. Lega rasanya bisa sampai di indekos. Ketika membuka kamar, saya merasa sepi. Masih ada bayang-bayang Fizal, Hasbi, Andre, dan Adam. Oh iya, mereka sudah pulang tanggal 6. Saya dan Yunaz hanya cuci muka kemudian tidur.
8 Juni 2016. Saya dan Yunaz berangkat ke Terminal Giwangan sekitar pukul 08.00. Kami naik bus Mira. Kami berangkat dari Terminal Giwangan pukul 10.13. Ongkos hari itu lebih murah daripada biasanya. Jogja-Surabaya biasanya Rp60.000,00, tetapi hari itu Rp56.000,00. Lumayan, Rp4.000,00 itu untung.
Saya dan Yunaz merasa perjalanan ini sangat lama. Apalagi ketika di daerah Ngawi, Madiun, dan Nganjuk. Rasa-rasanya seperti hanya berputar-putar di sana. Di Ngawi pula saya mulai merasa sakit perut, ingin ke kamar kecil rasanya. Namun, tidak ada kamar kecil di sana dan bus tetap melaju. Itu berarti saya harus menahan dari Ngawi sampai Surabaya nanti.
Sekitar pukul 18.45 kami sampai di Surabaya. Woh, Surabaya lebih panas daripada Jakarta. Baru turun dari bus beberapa menit, saya sudah berkeringat. Saat naik bus apalagi. Keadaan sakit perut dan hawa panas adalah kombinasi yang “sempurna”. Dari Terminal Purabaya –yang sebenarnya masih masuk Sidoarjo, kami turun di Terminal Joyoboyo. Saya sudah tak tahan. Saya mencari kamar kecil di sana. Akhirnya ada kamar kecil… lega rasanya. Hehehe. Kami kemudian naik taksi ke indekos Yunaz.
Saya sampai tanggal 11 di Surabaya. Selama di sana saya sempat ikut kuliah bersama Yunaz dan diajak jalan-jalan ke kampus A, B, dan C serta beberapa daerah di Surabya. Di sana saya juga bertemu Hasbi dan Adam.
Saya dan Yunaz pulang ke Malang tanggal 11. Hari itu adalah hari terakhir kami bertemu. Kami akan bertemu lagi pada tanggal 29 Juni dan 1 Juli. Selama menunggu pengumuman, Fizal menghabiskan waktu dengan kegiatan kuliah; Yunaz sedang UAS; saya membaca buku History of Education dari Levi Seeley dan The World until Yesterday dari Jared Diamond, serta menulis cerita ini sampai di bagian ini. Sampai jumpa kembali, sahabat-sahabat.
Eits, ada yang ketinggalan. Maksud judul "Dari Depok Kecil ke Depok Besar: Sahabat-sahabat dan Sastra Indonesia Universitas Indonesia" ini adalah tempat tinggal saya di Jogja (Kecamatan Depok) ke Kota Depok. Sekian. hehehe
PENGUMUMAN
SBMPTN
29 Juni 2016. Pengumuman SBMPTN sebenarnya dimulai sejak tanggal 28 Juni pada pukul 14.00 WIB, tetapi saya, Fizal, Yunaz, dan Andre sepakat akan membuka hasil pengumuman pada tanggal 29 karena Yunaz pada tanggal 28 masih UAS di Surabaya. Selain itu, kata ibu saya, saya disuruh membuka satu hari setelah tanggal pengumuman saja.
Pada tanggal 28, telepon-genggam-saya saya alihkan ke mode pesawat, semua sinyal saya matikan termasuk jaringan internet. Barulah pada tanggal 29, saat sahur, saya kembali menyalakan telepon genggam saya sebentar, hanya lima menit, untuk melihat pesan yang masuk di Line. Saya kemudian mematikan kembali sampai jam 10.32 ketika di Batu.
Kami berencana untuk berkumpul di Indomaret dekat SMAN 1 Batu pada pukul 10.30. Saya berangkat dari Pasuruan, rumah nenek saya. Agar bisa sampai tepat waktu, saya memperkirakan perjalanan dengan asumsi empat jam perjalanan berdasarkan lama waktu yang biasanya saya tempu dalam jarak yang sama. Saya berangkat pukul 06.30. Perkiraan saya hanya meleset dua menit. Saya sampai di Indomaret pukul 10.32. Ketika berjalan dari terminal ke Indomaret, saya bertemu dengan Pak Sulton. Pak Sulton adalah wali kelas saya saat SMA. Akhirnya, saya sampai di Indomaret.
Yunaz dan Fizal datang kemudian. Saya deg-degan. Biasanya saya bisa larut sekali dalam bercandaan Yunaz dan Fizal, tetapi tidak terlalu untuk saat itu. Di dalam pikiran saya, yang ada hanya perihal pengumuman SBMPTN dengan berbagai kemungkinan yang bisa saya pikirkan. Saya sempat bertanya bagaimana Fizal ketika mengikuti tes UTUL. Ia bilang ada kendala. Pengawas mengira bel pertama adalah bel mngerjakan. Oleh karena itu, mereka (peserta di ruangan Fizal tes UTUL) selesai terlebih dahulu dengan waktu yang lebih sedikit sekaligus tergopoh.
Yunaz dan Fizal sebenarnya mengajak saat itu juga untuk membuka pengumuman. Saya tidak mau; saya bilang, “Nanti saja setelah duhur”. Sudah banyak teman-teman yang bertanya mengenai pengumuman SBMPTN saya di Line, termasuk Mbak Syifa. Namun, tidak ada yang saya jawab karena saya belum tahu. Andre kemudian datang. Oh iya, ketika Yunaz dan Nafizal datang, Yunaz berkata bahwa hasil Hasbi dan Adam negatif. Teman-teman kami dari angkatan 2016 pun lebih banyak yang negatif. Saya mulai agak kacau, tetapi masih tetap berjuang untuk optimis. Rencana semula membuka pengumuman di indekos Nafizal batal. Yunaz, Nafizal, dan Andre akan mengikuti acara buka bersama di daerah Pujon, dekat Batu, bersama organisasi pecinta alam yang mereka dirikan: Kumanjelagutan. Oleh karena itu, tempat membuka pengumuman dipindah. Kami memutuskan untuk membuka di Masjid Sultan Agung setelah salat duhur.
Waktu salat tiba; kami menuju ke masjid. Saat berjalan ke masjid, kami melihat kardus bertuliskan “UI” di tepi jalan. Apakah sebuah pertanda? Mungkin. Usai salat, kami berkumpul di pelataran masjid. Rasanya campur aduk, antara optimis dan kemungkinan-kemungkinan buruk. Kami berdoa bersama. Saya mengeluarkan laptop dan menyiapkan internet dengan cara tethering-an jaringan internet telepon genggam saya. Kami mengundi siapa dulu yang melihat pengumuman melalui sebuah aplikasi permainan roulette di telepon genggam Yunaz. Ternyata, saya mendapat kesempatan pertama.
Setelah memasukkan nomor ujian dan tanggal lahir, serta kode tulisan yang tertera, dengan berdoa, saya mengeklik tombol “klik” di bawah kode. Yunaz, Fizal, dan Andre mendekat. Hasilnya adalah…
JANGAN PUTUS ASA DAN TETAP SEMANGAT
Saya merasa antara terkejut, harus menerima, dan… sebuah rasa yang tidak bisa diungkapkan. Teman-teman mendekap saya. Antara tanda tanya dan tanda seru: “mengapa” dan “inilah kenyataan”. Namun, saya mencoba memahami. Memang soal SBMPTN yang saya kerjakan sangat sulit. Saya juga sudah menduga pada awalnya. Namun… ya sudahlah.
Yang kedua adalah Yunaz. Klik.
JANGAN PUTUS ASA DAN TETAP SEMANGAT
Yunaz pun belum mendapatkan kesempatan untuk lolos. Kaget campur sedih rasanya.
Yang ketiga adalah Andre. Klik.
JANGAN PUTUS ASA DAN TETAP SEMANGAT
Andre –entah bagaimana sebenarnya perasaannya- tetap mencoba tabah.
Yang terakhir adalah Fizal. Kalau Fizal tidak lolos ya sudahlah. Memang sulit. Kami sudah berusaha semampu kami. Fizal mengisi data dan klik.
MUHAMMAD NAFIZAL MARDIANSAH
MANAJEMEN, UNIVERSITAS GADJAH MADA
Suasana duka berubah menjadi sedikit suka ketika Fizal dinyatakan lolos. Fizal tidak dapat berkata apa-apa. Saya, Yunaz, dan Andre memeluk Fizal. Wow! Diterima di Manajemen UGM setelah penantian satu tahun! Sungguh, saya tidak dapat menggambarkan keadaan ini dengan kata-kata yang benar-benar tepat. Yang jelas saya sangat senang di antara kami ada yang lolos meski hanya Fizal. Fizal pun seolah tak percaya. Rasa agak pesimisnya dan gambling yang dilakukannya seolah membuat Fizal tak percaya bahwa ia lolos. Ia lolos! Manajemen UGM. Di antara ribuan peserta yang memilih Manajemen UGM hanya ada sedikit saja yang diterima dan kini satu orang di antaranya adalah sahabat kami sendiri. Keren! Fizal membuktikan. Selamat, kawan!
Saya, Yunaz, Andre, Hasbi, dan Adam kini hanya menunggu pengumuman tes mandiri saja. Satu-satunya kesempatan. Kesempatan terakhir. Pilihannya hanya memulai kehidupan baru atau kembali memakan bangku kami yang lama dan saya sebenarnya tidak mau yang terakhir terjadi.
Saya akhirnya pulang ke Pasuruan dengan naik bus diantar teman-teman sampai ke jalan raya samping masjid. Dalam perjalanan pulang, saya akhirnya merasa benar-benar pasrah kepada Tuhan. Terserah apa yang akan diputuskan-Nya. Saya telah berusaha semaksimal mungkin: menghabiskan banyak waktu kuliah dengan belajar untuk tes, berusaha membawa diri saya ke Depok agar semakin bersemangat. Sekarang terserah apa kata Tuhan. Yunaz benar. Apa yang ditulisnya ketika di SMPN 4 itu benar: man proposes, God disposes.
Ibu saya menelepon di tengah perjalanan, tetapi tidak jelas. Telepon-genggam-saya saya matikan setelah itu. Sesampainya di rumah nenek (ada ibu saya, budhe, dan nenek), ibu saya kembali bertanya. Budhe saya juga bertanya. Saya tidak bersemangat untuk menjawab. Saya sempat berpikir untuk berhenti menjadi seorang idealis. Saya tidak akan lagi menulis. Namun, saya ingat bahwa saya jauh lebih mudah dalam mengerjakan soal SIMAK. Masih ada harapan. Ini antara hidup atau mati. Saya menunggu tanggal 1 Juli.
SIMAK UI DAN UTUL UGM
1 Juli 2016. Ini adalah hari yang paling membekas. Cerita sad ending bercampur pada saat yang sama dengan happy ending.
Pengumuman SIMAK UI 2016 dimajukan menjadi 30 Juni pukul 14.00 WIB. Meski begitu, saya dan teman-teman lain tetap sepakat bahwa kami akan membuka pada tanggal 1 Juli. Yang mengejutkan adalah jadwal pengumuman UTUL UGM. Pengumumannya pukul 20.00 WIB! Dulu, tahun lalu, pengumuman memang ditunda, tetapi hanya sampai pukul 17.00. Ini memengaruhi rencana kami dalam acara membuka pengumuman bersama. Rencana semula, kami akan membuka bersama-sama seusai salat Jumat, tetapi karena pengumuman UTUL pukul 20.00, yang bisa dibuka bersama-sama setelah salat Jumat hanyalah SIMAK UI.
Acara membuka pengumuman bersama direncanakan akan diadakan di indekos Nafizal. Pada pukul 10.30, semua berkumpul terlebih dahulu. Baru setelah salat Jumat membuka pengumumannya.
06.10 saya berangkat dari Pasuruan menuju Malang. Saya sengaja berangkat pagi karena alasan yang sepele: membeli paket internet dan pulsa sebelum ke indekos Nafizal. Jadi, bisa sampai di indekos Fizal tepat waktu. Malam sebelumnya, paketan dan pulsa saya habis. Di perjalanan menuju Malang itu, di dalam hati saya, rasa optimis dan pesimis saling bertempur, saling mencoba mengalahkan satu yang lain. Kemungkinan baik dan buruk pengumuman selalu terbayang. Bagaimana tidak? Pengumuman SIMAK adalah harapan terakhir untuk saya dan Yunaz. Sementara itu, Andre, Hasbi, dan Adam menunggu UTUL. Nafizal sudah aman karena diterima di SBMPTN.
Saya sampai di Malang pukul 09.45. Saya membeli pulsa di depan SMP Sriwedari. Ketika selesai mengisi pulsa, saya segera menghubungi Yunaz dan Fizal. Beberapa menit kemudian Yunaz datang. Setelah itu, kami ke indekos Fizal. Di sana sudah ada Fizal yang membereskan barang-barang karena tempat itu akan ditinggalnya. Kami duduk di ruang tengah. Maksud hati ingin menghibur diri, justru semakin deg-degan menunggu pengumuman. Oh iya, meski pengumuman UTUL baru dibuka 20.00, Andre tetap datang ke indekos Fizal. Ada sebuah kabar baik juga. Adam diterima di IPB lewat ujian mandiri.
Setelah salat Jumat, kami bertiga kembali ke indekos Fizal. Di sana sudah ada Andre dan Alfanani. Alfanani ini teman kami satu SMA. Sekarang dia di Manajemen Universitas Negeri Malang. Kami masuk ke ruang tengah. Yunaz membaca Al-Quran. Mungkin agar tenang. Lima belas menit kemudian, kami memberanikan diri membuka pengumuman. Saya dan Yunaz menentukan siapa yang akan membuka terlebih dahulu dengan permainan batu kertas gunting. Yang menang membuka dahulu. Yunaz menang.
Terlihat wajah Yunaz antara tidak sabar membuka pengumuman dan deg-degan terhadap hasilnya. Suasana menjadi agak tegang. Yunaz membaca doa sebelum membuka. Ia mengeluarkan kartu ujian SIMAK-nya. Perlahan ia memasukkan nomor ujian. Klik.
YUNAZ ALI AKBAR KARAMAN
Maaf, Anda tidak lolos dalam seleksi kali ini.
Semua diam. Kami menepuk punggung Yunaz. Seperti kami semua tak percaya bahwa Yunaz harus berhenti atau tetap di Sejarah Unair.
Sesuai urutan, selanjutnya adalah saya. Pikiran dan hati campur aduk rasanya. Saya membuka fail kartu ujian kemudian memasukkan nomor ujian. Bismillah. Saya sebelumnya disuruh ibu saya untuk membaca al-fatihah. Saya membacanya sebelum menekan tombol klik. Klik.
Selamat…
Cukup. Saya hanya melihat bagian itu saja. Saya segera memeluk Yunaz yang berada di samping saya. Saya menangis. Yang membuat saya menangis adalah karena Yunaz tidak lolos bersama saya. Sahabat yang berjuang bersama sejak awal, sering ke Jogja hanya untuk bermain, selalu memberi kabar apapun, dan ikut tes SIMAK di Jakarta bersama saya itu belum mendapatkan izin dari Yang Mahakuasa untuk lolos dan tidak menemani saya lagi ke Depok; saya harus sendirian. Padahal, saya ingat bahwa Yunaz saat SIMAK bercerita bahwa ia bisa mengerjakan banyak. Pilihannya bukan jurusan yang sering difavoritkan, seperti kedokteran dan akuntansi, hanya arkeologi, Arkeologi UI. Namun, saya tak dapat berkata-kata. Saya terus memeluk Yunaz sambil menangis. Rasa bahagia saya lolos diiringi rasa sedih saya bahwa kenyataannya Yunaz tidak lolos. Sahabat. Ketika Yunaz berbicara, semakin menangislah saya. Saya tak peduli bagaimana keadaan di sekitar. Setelah agak tenang. Saya memeluk yang lain: Andre, Alfanani, dan Fizal. Saya, Fizal, dan Yunaz berpelukan bertiga. Saya sangat ingin kami semua lolos, tetapi apalah daya. Hanya kata “terima kasih” yang mampu saya ucapkan. Saya tidak bisa mengatakan yang lainnya karena air mata itu sudah berbicara lebih dalam. Saya mengambil kembali kertas ujian Yunaz. Saya memasukkan nomornya. Namun, tetap saja, tidak berubah. Siang menjelang sore itu adalah suasana paling haru yang saya alami. Yunaz bisa saja terlihat tidak apa-apa, tetapi saya memastikan di dalam hatinya ia lebih menangis dari saya. Saya memeluk Yunaz kembali. “Kenapa tidak bisa lolos bersama?” adalah pertanyaan yang ada di hati saya. Saya melihat pengumuman lagi. Saya bahagia, tetapi sedih pula. Semua masih diam.
Lima belas menit setelah suasana mengharukan, kami mencoba untuk kembali memulai bercanda. Saya menelepon ibu, bapak, Mbak Syifa, Mas Bagos, dan membalas semua pertanyaan dari teman-teman saya di Line. Yunaz dan yang lain mencoba mengecek nomor lainnya dengan mengganti angka belakang nomor ujian saya dan Yunaz. Lebih banyak yang tidak lolos ternyata. Saya sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari yang lolos.
Andre dan Alfanani kemudian pulang. Mereka hendak ada acara di Batu. Tinggallah saya, Yunaz, dan Fizal berbicara dan bercanda tentang hal apa saja. Namun, tetap tidak menutupi suasana haru yang ada. Kami bercerita perjalanan kami sejak awal sampai saat itu. Kami membahas cita-cita besar kami. Mata Yunaz masih agak berkaca-kaca. Kami di sana sampai setengah lima sore. Itu pun sebenarnya kami tidak ingin pulang terlebih dahulu. Kami akhirnya kembali ke tempat masing-masing. Fizal pergi terlebih dahulu. Yunaz menunggu saya untuk mendapatkan angkot di depan gang indekos Fizal. Akhirnya, saya pulang ke Pasuruan.
Saya menunggu pengumuman UTUL dari Andre, Hasbi, dan Adam. Sampai pukul 21.00 masih belum ada jawaban. Akhirnya, sekitar pukul 22.15, Andre memberi kabar bahwa ia tidak lolos, begitu pula Hasbi. Adam lolos ke Biologi UGM. Ia akhirnya mengambil yang di UGM; IPB tidak diambilnya. Sementara itu, hasil UTUL Fizal, Fizal dinyatakan tidak diterima. Ternyata dia mendaftar tiga jurusan, yaitu akuntansi, manajemen, dan ilmu ekonomi.
Selesai. Inilah cerita kami berjuang untuk mendapatkan cita-cita. Saya berterima kasih banyak kepada semua yang telah membantu kami. Tidak dapat saya sebutkan satu per satu karena banyak sekali, termasuk sopir Transjakarta, masinis kereta api, dan semuanya yang tidak bisa saya sebutkan. Mereka secara tidak langsung ikut membantu perjalanan kami. Terima kasih kepada teman saya yang di UI. Meskipun belum membalas pesan saya, tetapi karena ialah saya akhirnya berani mengambil keputusan untuk tes lagi dan membuat cerita yang sangat bersejarah bagi saya ini. Terima kasih kepada sahabat-sahabat saya yang telah berjuang bersama: Yunaz, Fizal, Andre, Hasbi, dan Adam. Kepada Yunaz dan Fizal yang berjuang sejak awal cerita, terima kasih banyak. Kata-kata tidaklah cukup untuk mengungkapkan ini semua. Yang jelas saya belajar banyak dari semua cerita ini. Bukan hanya soal lolos atau tidaknya, tetapi lebih dari itu. Persahabatan itu nyata. Saya juga belajar mengendalikan rasa optimis dan pesimis. Belajar bersyukur. Belajar banyak hal yang tidak saya pelajari di bangku kuliah. Cerita ini adalah pengingat. Semoga berhasil di jalan masing-masing. Saya akan menutup tulisan ini dengan kata-kata sebagai berikut.
Kesalahan seorang pesimis adalah tidak mau mencoba
Kesalahan seorang optimis adalah mudah menyepelekan
Jadikan keduanya pelajaran
Insya Allah semua impian didapatkan
Yunaz, saya, Fizal |
Komentar
Posting Komentar