www.thirteen.org |
Dominasi
kaum laki-laki atas kaum perempuan tercatatat dalam historiografi sejarah.
Terlihat bahwa sejarah hanya menuliskan peran kaum laki-laki. Di dalam
kehidupan, sejak dahulu wanita diposisikan di bawah status laki-laki. Hal
tersebut memiliki dampak yang luas dalam tatanan hidup masyarakat. Pada zaman
jahiliah di kawasan Arab misalnya, kaum wanita tidak berharga di mata
laki-laki, bahkan wanita dianggap sama dengan binatang atau wanita itu berambut
panjang, tetapi berpikir pendek[1].
Masih banyak perkataan lain yang intinya adalah merendahkan derajat wanita.
Begitu pun pada pola kehidupan sosial saat dulu wanita hanya sebagai pelengkap
untuk kepentingan dan kebutuhan para lelaki. Akibatnya, ruang gerak wanita
dibatasi dan hanya di ranah domestik atau lokal saja. Adanya anggapan di atas
kemudian menyebabkan pula berbagai tindakan yang semena-mena terhadap kaum
wanita, seperti kekarasan, penindasan, pelecehan seksual, dan sebagainya[2].
Tekanan yang dihadapi kaum wanita hampir
dirasakan di seluruh kawasan di dunia. Di India, Tiongkok, Arab, dan Perancis,
wanita atau seorang istri yang melahirkan seorang anak perempuan akan dibunuh. Salah
satu faktor hal itu terjadi adalah belum adanya peraturan atau hukum dan juga
belum adanya pemahaman umat-umat saat itu terhadap tafsiran ajaran agama. Sejak
itulah wanita mulai berjuang untuk menuntut kebebasan dan haknya agar setara dengan
kaum lelaki. Dalam perjuangan ini, wanita tidak putus asa. Mereka yang sudah
tiada digantikan oleh pejuang baru[3]. Gerakan
penyadaran terhadap kesetaraan gender mulai digiatkan melalu interpretasi
kembali terhadap pemahaman ajaran agama yang berspektif gender.
Di
wilayah yang berjumlah sebelas negara dan memiliki keragaman budaya dan bahasa
yang besar, kawasan Asia Tenggara memiliki posisi yang relatif menguntungkan
kaum wanita. Dibandingkan dengan wanita di Asia Timur dan Selatan, wanita di
Asia Tenggara memiliki keuntungan oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut
adalah aspek budaya tradisi (menghormati wanita); tidak ada pembebanan pada
faktor kemewahan, utamanya dalam tradisi pernikahan (prosesi mahar); jika telah
menikah akan sering tinggal bersama atau dekat dengan orangtua; wanita memiliki
peran penting dalam pembagian ritual adat; mereka juga berperan penting dalam
pertanian dan mendominasi di dalam pasar lokal[4].
Jauh sebelum itu, pengaruh wanita di
Asia Tenggara pada sekitar abad XV-XVI memiliki perbedaan utama dalam hal
peranan dan memiliki otonomi yang lebih dalam hal sosial-ekonomi, meskipun
batas-batas bidang pekerjaan laki-laki dan wanita masih tampak jelas. Bidang
kaum wanita mencakup penyemaian benih, penuaian, penanaman sayuran, penenunan,
pembuatan pot, berbelanja di pasar, dan melakukan upacara-upacara menyangkut
leluhur, serta sebagai perantara dengan alam roh[5].
Pada
abad XIX, Asia Tenggara memiliki sumber ekonomi dan secara geografis memiliki
posisi yang strategis antara India dan Cina. Kedua hal tersebut menyebabkan
keterlibatan Eropa. Di akhir abad XIX atau sebelumnya, seluruh wilayah di Asia
Tenggara telah dibawah kendali Eropa, kecuali di Thailand. Di beberapa wilayah,
kaum wanita banyak direkrut sebagai buruh atau tenaga kerja yang diupah murah
dan dipekerjakan di perkebunan, seperti teh, gula, tembakau, dan pabrik
pengolahan. Pada awal tahun 1900-an, masih banyak juga wanita yang bekerja
dalam pelayanan domestik, seperti pembantu rumah tangga atau pengasuh anak.
Pekerjaan yang demikian dinilai oleh wanita sebagai pekerjaan yang aman dan
tidak menimbulkan presepsi yang buruk karena dikerjakan di dalam rumah. Selain
itu jam kerja juga tidak terlalu banyak dan berbeda dengan wanita pekerja di
pabrik yang bekerja dari pagi hingga malam hari[6].
Penguasaan
Kolonial di Asia Tenggara juga merubah tatanan kehidupan di dalam masyarakat,
begitu pula posisi dan peran wanita. Seperti dalam tingkatan desa, pemerintahan
kolonial memperkuat posisi kaum laki-laki sebagai kepala keluarga dan terdapat
reformasi di dalam hukum adat yang memberikan otonomi yang cukup kepada wanita.
Diberbagai wilayah hukum-hukum keluarga juga diperkuat dengan hukum
patrilineal. Hal tersebut juga semakin mendorong untuk lebih memilih anak
laki-laki dari pada anak perempuan. Meskipun demikian, wanita masih banyak
berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, bahkan juga menjadi seorang tokoh
pergerakan untuk memberontak pemerintah kolonial. Begitupun peningkatan angka
melek huruf (terutama di Filipina) dan adanya penyebaran paham feminisme
sehingga mendorong wanita untuk menghadapi permasalahan ketidaksetaraan gender
dengan kaum lelaki.
Di
akhir abad ke-XIX gerakan nasionalis dan pemberontakan kepada penjajah
berkembang di seluruh Asia Tenggara. Dalam hal ini tokoh laki-laki memiliki
fokus yang lebih utamanya dalam politik dan kemerdekaan. Meskipun demikian, keterlibatan
aktif wanita dalam gerakan anti-kolonial dan juga sebagai tokoh pejuang akan
tetapi sering dipandang hanya sebagai pembantu bukan mitra[7].
Sikap seperti itu juga masih terlihat dalam gerakan kemerdekaan setelah
kekalahan Jepang di Perang Asia Pasifik yang menduduki sebagian besar Asia
Tenggara diantara tahun 1942 dan 1945.
Pada
akhir Perang Dunia ke II kolonialisme Eropa di Asia Tenggara mulai runtuh.
Disebabkan hal tersebut negara-negara yang menyatakan kemerdekaannya kemudian
berkomitmen ke depan untuk kesetaraan gender. Dalam perkembangannya wanita Asia
tenggara yang berperan secara langsunng dan memiliki jabatan politik meningkat,
terutama dalam pemerintah daerah, namun hanya di Filipina yang memiliki
representasi perempuan yang berperan di pemerintah nasional yang meningkat.
Saat wanita berhasil menduduki jabatan dan memasuki arena politik maka mereka
akan menemukan budaya dominasi dan pengaruh laki-laki. Beberapa individu wanita
telah mencapai jabatan politik tertinggi pada abad ke XX di kawasan Asia
Tenggara mengalami kemajuan. Hal itu juga dikarenakan terdapat wanita yang
berpengaruh dan kemudian menjadi tokoh penting di negara yang dipimpinnya. Seperti Aung San Suu Kyi (lahir
1945) seorang aktivis politik di Myanmar dan menjadi pemenang Nobel Perdamaian
di tahun 1991, Corazon Aquino sebagai seorang tokoh politik dan pemimpin wanita
dari Filipina saat krisis politik melawan tokoh oposisi Ferdinand Marcos[8].
Begitupun pergerakan kaum wanita Indonesia yang tidak ketinggalan dalam
memenuhi kewajibannya untuk ikut memperkuat kemerdekaan tanah airnya. Beberapa
tokoh wanita Indonesia yang ikut andil peran dalam memperjuangkan kemerdekaan
sering didengar dan sering ditulis dalam buku-buku sejarah seperti R.A.
Kartini, Tjut Nja Din, Dewi Sartika, dan lain sebagainya. Jika diilihat lebih
dalam lagi para pemimpin wanita tersebut kebanyakan besar adalah terlahir dari
keluarga elite politik atau memiliki peran besar sebelumnya. Kesempatan untuk
berperan dan tampil didepan publik juga akan lebih banyak dimiliki oleh kalangan
menengah atas karena akses pendidikan yang lebih tinggi dan lebih terbuka jika
dibandingkan dengan wanita dari kalangan bawah.
Peranan
atau partisipasi wanita di Asia Tenggara utamanya dalam hal berpolitik tidak
jauh berbeda dari yang terjadi di Asia Selatan. Diantaranya yaitu masih adanya
pemikiran stereotip gender, mitos yang berkaitan dengan sosial budaya, bahkan
ajaran agama. Misalnya, umat Buddha yang masih percaya jika kelahiran seorang
wanita menunjukan bahwa ada hutang/jasa yang harus dibayar dalam kehidupan masa
lampau. Walaupun negera-negara Asia Tenggara telah membuat kemajuan untuk
mempromosikan kesetaraan gender, namun terutama di Vietnam dengan budaya
warisan Konfusius yang masih kuat[9].
WANITA “MILITER” DALAM PERANG
VIETNAM.
Peran
wanita seperti dipaparkan diatas hanya sedikit dituliskan dalam sejarah
begitupun perannya kebanyakan dalam kegiatan perekonomian dan kaum pekerja
(buruh). Pada abad ke XX barulah peran wanita mulai tampak kepublik yaitu
dengan menjadi jabatan tertinggi di dalam kancah politik. Pada tahun 1950-an
saat di beberapa negara di Asia tenggara telah menyatakan kemerdekaanya, di
Vietnam terjadi perang dan berlangsung cukup lama yang dikenal dengan Perang
Vietnam atau Prang Indocina kedua. Perang Vietnam terjadi setelah terjadi
kesepakatan dalam Persetujuan Jenewa pada tanggal 21 Juli 1954, yang hasilnya
membagi Vietnam menjadi dua bagian. Vietnam bagian utara menamakan diri sebagai
Republik Demokrasi Vietnam dengan ideologi komunis, sedangkan Vietnam Selatan
menamakan diri dengan Republik Vietnam yang berideologi nasionalis. Setelah
perjanjian tersebut kemudian diadakan pemilihan raya / pemilihan umum yang bertujuan
untuk menyatukan kembali kedua wilayah tersebut. Pihak Vietnam Selatan
berkeberatan dengan alasan bahwa pemilihan umum secara bebas tidak mungkin
dilaksanakan selama Vietnam Utara dibawah kekuasaan komunis[10].
Persetujuan
Jenewa kemudian melahirkan dua pihak Vietnam yang saling bertentangan.
Pertentangan tersebut akhirnya memeuncak pada perang saudara. Masing-masing
belah pihak dengan ideologi yang berbeda kemudian dibantu oleh negara yang
berideologi sama. Vietnam Utara yang berideologi komunis mendapatkan bantuan
militer baik tenaga maupu peralatan oleh Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina
dan Vietnam Selatan mendapatkan bantuan dari Amerika Serikat.
Kedua kubu tersebut diatas kemudian
melahirkan adanya Gerakan Front Pembebasan Nasional Vietnam Selatan ( FPNVS )[11].
Gerakan tersebut bertujuan untuk melawan rezim yang dikuasai oleh Amerika
Serikat untuk menerapkan tujuan dari ideologi bebasnya. Perselisihan tersebut
mendesak Amerika Serikat untuk berhadapan dengan pasukan dari Vietnam Utara
yang dipimpin oleh Ho Chi Minh dan pasukan Viet Kong di Vietnam Selatan. Pada
akhir perang ini diselenggarakan perjanjian di Paris pada thun 1973 yang berisi
bahwa Amerika menyerah tanpa syarat kepada Vietnam dan Ho Chi Minh berhasil
menguasai Vietnam.
Didalam perang ini tentu terdapat peran
wanita dari pihak Vietnam utamanya. Peran wanita Amerika juga terlihat, bahkan
hampir ribuan wanita yang turut andil ikut dalam perang ini dan kebanyakan
berprofesi sebagai perawat dan jurnalis perang. Dalam hal ini wanita Vietnam mengambil
peran besar dan aktif terlibat langsung dalam perang. Hal tersebut sejatinya
melanggar ajaran Konfusius yang masih melekat di kehidupan masyarakat Vietnam.
Dimana wanita Vietnam sejatinya harus menjaga kesucian dan menguasai keahlian
tertentu seperti memasak serta menjahit. Namun dogma-dogma tersebut harus
berbenturan dengan kondisi nyata di Vietnam saat itu yang mengharuskan mereka
mengangkat senjata dan berperang. Dari tahun 1920 sebenarnya beberpa organisasi
wanita di Vietnam terbentuk. Pembahasan mengenai wanita juga banyak dibahas
dalam media dan literatur yang saat itu Vietnam masih dikuasai oleh Perancis. Peran
Partai Komunis Vietnam juga membuka pintu untuk Wanita Vietnam berperan dan
bergabung di dalam partai. Selama bergabung, bersama-sama Wanita Vietnam berpartisipasi
dalam perjuangan untuk membebaskan negara mereka, menjanjikan mereka kembali hak-hak
politik, sosial, dan ekonomi yang sama dan status di bawah rezim baru[12].
Pada
masa perjuangan untuk membebaskan negaranya, wanita Vietnam di utara dan
selatan berdiri dan mengangkat senjata untuk kemerdekaan mereka. Meskipun
seperti dijelaskan diatas bahwa persepsi yang tertanam dalam diri wanita adalah
untuk tetap bertanggung jawab membesarkan anak-anaknya dan mengurusi rumah
tangga. Selain itu juga wanita harus berperan dan bertanggung jawab dalam
produksi pertanian (makanan) agar para prajurit dapat makan.
Banyak wanita Vietnam saat itu masih
belum mengerti apa yang dilakukan Amerika terhadap negaranya. Disana mereka
hanya mengerti bahwa negaranaya telah diserbu dan mereka dibutuhkan untuk
membantu dan melindungi Vietnam. Di Vietnam Selatan banyak wanita yang
bergabung dengan pasukan pejuang Viet Kong, sedangakan wanita di bagian utara
ikut dalam Viet Minh. Ho Chi Minh sebagai penguasa saat itu mengetahui bahwa
jumlah wanita di Vietnam saat itu berjumlah banyak bahkan hampir setengah
jumlah warga Vietnam. Dia berpikir bahwa jika wanita tidak merdeka maka semua
warga pun tidak akan merdeka dan berjuang.
Di Vietnam Selatan terdapat tokoh
wanita, Nguyen Thi Ut Tich yang berjuang secara gerilya. Pada awalnya dia hanya
sebagai prajurit baru kemudian dia dibesarkan dengan latar belakang prajurit.
Saat suaminya meninggal dia melanjutkan perjuangannya hingga dia terbunuh pada
tahun 1965. Nguyen Thi memiliki keahlian untuk merencanakan dan mengeksekusi
penyergapan. Hasil strateginya juga berhasil membunuh musuh. Berkat
keahliannya, dia juga berhasil menyita pos-pos musuh dan menjalin hubungan
dengan komandan prajurit dan melucuti senjata musuh. Bahkan dia juga mendapat
gelar “Srikandi” dari Tentara Pembebasan Vietnam. Sepeninggal Nguyen Thi,
kemudian banyak gadis muda dari Viet Kong yang berusaha untuk menirunya.
Wanita yang berperan lain seperti Nguyen
Thi Dinh dan Ca Le Du juga berhasil menjadi pemimpin perjuangan mereka. Hal
tersebut juga mendapat dukungan di Vietnam Utara banyak wanita yang bersedia
mengajukan diri untuk bekerja di ladang mereka ataupun di industri untuk upaya
perang. Selain menjalankan profesi sebagai pekerja, wanita Vietnam juga dilatih
menggunakan senjata. Selain itu juga dilatih oleh milisi pejuang untuk
mempertahankan jalan dan jembatan. Wanita dari Vietnam Utara ini juga membantu
pasukan lain dengan membawakan makanan dan amunisi. Wanita pada perang Vietnam
mampu memeberi semangat juang dalam memerangi ancaman terhadap negara mereka.
Ketika perang berakhir wanita Vietnampun akhirnya bertransformasi kembali ke
peran utama mereka yakni sebagai seorang istri, ibu dan penghibur[13].
DAFTAR PUSTAKA
Ani, Hajjah Idrus.
1980. Wanita Dulu Sekarang dan Esok.
Medan : PT Percetakan dan Penerbitan Waspada.
Iljas,
Bachtiar.1967.Perang Vietnam dan Netralisasi Asia Tenggara.Yogyakarta.
Musdah, Siti Mulia dan
Anik Farida. 2005. Perempuan dan Politik.
Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Reid, Anthony. 2011. Asia Tenggara Dalam Kurun Waktu
Niaga1450-1680 Jilid I Tanah di Bawah Angin. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Omet Rasidi. 2014. http://repository.upi.edu/14556/4/S_SEJ_1006027_Chapter1.pdf. Bandung : UPI (diakses pada Sabtu, 31 Desember
2016).
_____________. http://asiasociety.org/education/women-southeast-asia. (diakses
pada Jumat, 30 Desember 2016).
_____________. http://e-journal.uajy.ac.id/7285/2/HK110638.pdf . (diakses pada Sabtu, 31
Desember 2016).
_____________. http://www.womeninworldhistory.com/essay-02.html . ( diakses pada Minggu , 1
Januari 2016).
_____________.
http://www.vietnow.com/military-women-of-the-vietnam-war/ . ( diakses pada Minggu , 1
Januari 2016).
[1] Hajjah Ani Idrus. Wanita Dulu Sekarang dan Esok. 1980. Hlm
1.
[2] Siti Musdah Mulia dan Anik
Farida. Perempuan dan Politik. 2005.
Hlm vii
[5] Anthony Reid. Asia Tenggara Dalam Kurun Waktu Niaga
1450-1680, Jilid 1 : Tanah di Bawah Angin. 2011. Hlm 187
[6] Adinda
Fatin. http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20160796-RB04A89pd-Peran%20dan.pdf. 2009. Hlm 1. (diakses pada Sabtu,
31 Desember 2016).
[8] Ready Susanto. Ensiklopedi Tokoh-Tokoh Wanita, Dari
Mistikus Hingga Politikus. 2008. Hlm 34,50.
[11]
Omet Rasidi. http://repository.upi.edu/14556/4/S_SEJ_1006027_Chapter1.pdf. 2014. Hlm 2. (diakses pada
Sabtu, 31 Desember 2016).
[12] http://blogs.bl.uk/asian-and-african/2015/10/women-and-the-vietnam-war.html . (diakses pada Minggu, 1
Januari 2016 )
[13] http://www.vietnow.com/military-women-of-the-vietnam-war/ . ( diakses pada Minggu , 1
Januari 2016).
Komentar
Posting Komentar