Langsung ke konten utama

KONFUSIANISME DALAM MASYARAKAT ZAMAN EDO DI JEPANG

www.japan-guide.com


  
        Asia Timur terdiri dari negara-negara yang telah dikenal memiliki peranan penting dalam sejarah dunia. Hal ini terlihat dari sikap Jepang dan Tiongkok yang memiliki posisi strategis dalam Perang Dingin ataupun Perang Pasifik. Begitu pula negara di kawasan Asia Timur, seperti Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan juga merupakan negara kuat di bidang ekonomi dan teknologi. Seperti yang telah diketahui bahwa kini Tiongkok merupakan salah satu penguasa ekspor dunia. Jepang dan Korea juga kini merupakan negara penghasil teknologi modern. Keberhasilan negera-negara tersebut tentu tidak terlepas dari adanya ajaran atau kepercayaan yang ada sebagai pedoman hidup. Mulai dari kepercayaan kuno yang diwariskan oleh nenek moyang secara turun-temurun maupun kepercayaan yang terus bermunculan seiring perkembangan zaman dan juga adanya kepercayaan dari luar negara, seperti ajaran Konfusianisme, Buddhisme, Taoisme, dan Shinto[1]. Di Jepang sistem kepercayaan yang kebanyakan diketahui masyarakat luas adalah Shinto dan Buddha, namun dikarenakan penyebaran ajaran Konfusianisme dari Tiongkok, Jepang pun mulai menerapkan ajaran tersebut.
         Pada hakikatnya ajaran Konfusianisme tersebut menitik beratkan pada budaya tradisional Tiongkok sebagaimana memahami ilmu dalam berperilaku bijaksana sebagai manusia. Ajaran ini pertama kali diajarkan oleh Master Kong atau yang dikenal dengan Khong Fu Tzu (Konfusius nama latin yang diberikan orang Eropa). Konfusius tinggal di Negara Bagian Lu dan merupakan keturunan seorang pejabat pemerintahan. Ia lahir pada 551 SM dan hidup pada masa Dinasti Zhou sedang mengalami kemerosotan. Pada usia ke 15 tahun, Ia mulai bertekad untuk memberikan keadilan bagi setiap orang dan memutuskan menikah pada usia 19 tahun dengan Chi Kuan. Konfusius meninggal pada tahun 479 SM dan dimakamkan di Chu Fu.
         Pertengahan abad ke 3 SM hingga 3 M ajaran Konfusianisme ini mengalami perkembangan yang pesat di Tiongkok sendiri, bahkan sampai menjadi ideologi dasar kaisar Tiongkok[2]. Sebenarnya masih banyak buah pikir ajaran-ajaran dari pemikir Tiongkok yang dapat berkembang dengan pesat dan tidak hanya berada di negara asalnya namun juga dapat berkembang di berbagai penjuru dunia, seperti Lao-Tzu dengan ajaran Taoismenya.
         Konfusius sendiri lah yang menjadi tokoh utama dalam penyebaran ajaran Konfusianisme. Ajaran itu kemudian ia tulis dalam buku kumpulan kata-kata bijaknya. Setelah Konfusius wafat kemudian muncul banyak orang yang mempelajari dan mendalami ajarannya. Beberapa dari Konfusian ini ada yang menyempurnakan ada pula yang memiliki tafsiran yang berbeda. Konfusianisme memiliki perbedaan dengan filsafat Barat yang mana dalam pemikirannya memisahkan dari yang ideal dengan yang nyata. Konfusianisme hadir untuk menghubungkan keduanya. Konfusianisme hadir bahwa bentuk suatu obyek nyata di dunia ini terkait erat dan diciptakan oleh bentuknya sendiri.
         Dalam kepercayaan masyarakat Jepang dulu dan kini, jika dapat disimpulkan Jepang merupakan negara sekuler. Hal tersebut terlihat dari data-data pemerintah yang mengenai data kependudukan, identitas agama tidak dicantumkan bahkan tidak pernah ditanyakan[3]. Bahkan agama hanya diajarkan dalam ilmu sejarah saja tidak dalam pelajaran-pelajaran di kurikulum sekolah. Di tahun 1963 pernah dilakukan survey mengenai minat agama kepada orang Jepang. Hasilnya menunjukan bahwa 69% orang Jepang mengaku tidak menyukai agama. Prof. Ruth Benedict dalam Ajip Rosidi, mengatakan bahwa sebagai sikap hidup orang Jepang yang tidak mampu mempunyai rasa berdosa, melainkan hanya rasa malu. Rasa Berdosa tersebut timbul apabila seseorang percaya kepada Tuhan atau kekuasaan Yang Maha Tinggi yang menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Melenggar hal itu membuat seorang menjadi berdosa. Sementara itu orang Jepang tidak mengenal konsep kekuasaan Yang Maha Tinggi. Istilah Tuhan atau Dewa menurut orang Jepang bukanhlah hal yang bersifat keTuhanan, karena jumlah kami ( Tuhan / Dewa dalam penyebutan Jepang) dapat saja bertambah dengan manusia yang memiliki prestasi lebih[4].
         Kebudayaan Jepang pada dasarnya memiliki unsur-unsur yang sama dengan kebudayaan pada umumnya. Budaya Jepang kini merupakan hasil dari pertahanan Jepang dalam emepertahankan budaya nenek moyangnya, namun juga terdapat pengaruh kebudayaan dari bangsa lain. Jepang mendapatkan pengaruh yang besar dari negara yang berada di kawasan yang sama yaitu di Asia Timur, seperti Tiongkok dan Korea. Jika melihat dari sejarahnya Jepang menerima budaya dari luar negeri secara berbeda. Hal itu dilakukan Jepang dengan tidak hanya menerima apa adanya dari luar, namun menerima secara terlebih dahulu menyesuaikan dengan budyadan tradisi Jepang serta mengubahnya [5]. Budaya dari Tiongkok sudah masuk ke Jepang mulai pada abad ke V pada kekekaisaran Yamato, budaya tersebut misalnya huruf kanji, ajaran Buddha, dan ajaran Konfusianisme. Dalam perkembangannya konfusianisme di Jepang mulai berkembang saat Restorasi Meiji. Peristiwa itu ditandai dengan runtuhnya pemerintahan feodal Edo yang mengisolasi negara dan dimulainya pemerintahan Meiji yang baru dan memungkinkan pengaruh dari luar untuk masuk ke Jepang[6]. Pada saat pemerintahan Meiji tersebut peran para pengikut konfusianisme dilibatkan dalam berbagai proses penentuan kebijakan.
            Di dalam perkembangan kehidupan masyarakat hingga masa kontemporer ini, tidak dapat dihindarkan bahwa ajaran Konfusianisme masih menjadi landasan hidup dalam tatanan sosial masyarakat maupun struktur politik masyarakat di kawasan Asia Timur, khusunya Jepang. Meskipun demikian pengaruh luar maupun dari tradisi dalam negeri juga dapat berpengaruh dalam posisi Konfusianisme. Akan tetapi, perkembangan dan penerapan Konfusianisme dalam ranah sosial masyarakat di Jepang tentu memiliki perbedaan karena terdapat perkembangan pemikiran lain yang terpengaruh terhadap kebijakan pemerintahan yang berbeda pula. Hal tersebut tercermin dalam sejarah Jepang pada zaman Yamato  ( 230 -710 M ) dibuat undang-undang yang banyak dipenggaruhi oleh ajaran Konfusianisme juga Buddhisme[7].


KONFUSIANISME PADA ZAMAN EDO DAN PENGARUHNYA DALAM MASYARAKAT EDO.
         Pada tahun 1603 menjadi awal dari pemerintahan periode Edo. Pemerintahan ini dibentuk oleh Tokugawa Ieyasu yang sebelumnya diangkat sebagai Shogun. Pemerintahan ini terpusat di Edo ( Tokyo ), namun Kaisar tetap berada di Kyoto. Tokugawa Ieyasu ini memerintah selama beratus-ratus tahun ( 1603-1866)  dan menyebut pemerintahanya sebagai “pemerintahan periode Edo”[8]. Kemenangan Ieyasu atas pasukan Barat Toyotomi Hideyori pada Pertempuran Sekigahara (1600) memberinya kendali sesungguhnya atas Jepang. Pada zaman ini di Jepang terjadi pengisolasian negara dari luar maupun dalam sehingga perdagangan dan proses pertukaran tertutup dengan ketat. Hal tersebut juga tidak ditambah dengan upaya untuk berkesempatan bertukar budaya dengan negara luar. Di tahun 1633 sebagai shogun ketiga, Tokugaya Iemetsu membuat kebijakan untuk melarang orang Jepang berpergian ke luar Jepang. Berlanjut pada tahun 1639, di Jepang mulai menerapkan politik isolasi dengan tujuan untuk tidak berhubungan dengan dunia luar, namun hanya kebebasan yang sangat ketat kepada pedagang Tiongkok dan Belanda di Nagasaki. Di masa keshogunan Tokugawa inilah ajaran Konfusianisme mulai berkembang dimana ajaran ini menekankan pada pentingnya moral, pendidikan, dan hierarki dalam kelas-kelas sosial[9].
         Pada masa pemerintahan Edo, di Jepang terdapat empat kelas masyarakat yang dinamakan “Shinoukoushou.Shi” adalah bushi atau samurai, “Nou” adalah noumin atau petani ,”Kou” adalah shokunin atau tukang / pengrajin, dan “Shou” atau shounin adalah pedagang. Dengan urutan kelas ini kelasnya semakin rendah. Bushi atau samurai adalah kelas paling atas, meskipun tidak banyak memiliki kekayaan ( uang ) namun samurai sangat dihormati masyarakat. Petani bekerja sebagai pembuat makanan. Tukang / pengrajin bekerja untuk membuat barang-barang. Posisi samurai berada dipaling atas tidak dikarenakan bahwa samurai memiliki kemampuan perang yang baik, namun dikarenakan bahwa samurai memiliki etika yang tinggi dibanding yang lain. Semangat itu yang kemudian dikenal sebagai bushido , yakni etika yang mengajarkan perilah melayani tuannya, mementingkan kehormatan, memperhatikan tata krama, tidak pengecut, jujur, dan tulus.
         Ajaran tradisional Jepang seperti bushido tersebut tidak lepas karena pengaruh kuat pola pikir Konfusianisme. Bagi orang Jepang tradisional, perihal kesetiaan atau loyatias merupakan hal terpenting yang harus tertanam untuk diabdikan kepada majikan / tuannya. Ajaran moral Konfusianisme seperti kesetiaan meupakan ajaran yang penting. Selain itu, bakti juga salah satu ajaran Konfusianisme yang penting dan berjalan berdamping dengan kesetiaan. Bakti di dalam ajaran Konfusianisme berarti perihal mematuhi orang tua, menjaga dengan baik orang tua, dan mau melakukan sepenuh hati untuk orang tua. Memang terdapat waktu saat kesetiaan dan bakti sulit untuk berjalan beriringan karena harus memilih untuk mendahulukan orang tua atau majikan. Hanya di Jepang yang mana ajaran Konfusianisme ini dititik beratkan pada kesetiaan, berbeda dengan negara Konfusianisme lain seperti Tiongkok dan Korea yang lebih menitik beratkan pada bakti[10]. Konfusianisme pada umumnya memiliki ajaran seperti diatas dan melihat pada ajaran prinsip-prinsip seperti xiao (bakti), li (ritual), yi (kebenaran/keadilan), zhong (loyalitas).
         Pada zaman Edo terdapat beberapa jenis pendidikan yang berkembang dan memberi tekanan pada elemen nasionalisme yang dilandasi dengan ajaran Konfusianisme dan Shintoisme[11]. Pendidikan sendiri merupakan aspek yang sangat penting untuk perkembangan perihal pengetahuan dan moral masyarakat yang lebih beradab. Pada zaman ini berkembanganya pendidikan memperlihatkan bahwa masyarakat menganggap bahwa pendidikan adalah hal yang penting. Terlebih terdapat pendidikan sesuai dengan kelas dan peranan masing-masing kelas seperti diatas untuk menjalani perannya di dalam kehidupan sehari-hari. Perhatian utama Tokugawa dalam memberikan pendidikan adalah pada kelas paling atas yaitu samurai. Pada awalnya pengajar adalah dari kalangan pendeta dari kuil-kuil Buddha, namun pada zaman Edo ini mulai tergantikan dengan cendikiawan Konfusianisme sebagai pendidik didalam sekolah mereka yang kebanyakan berada didalam kastil. Sedangkan dalam masyarakat feodal, pendidikan diberikan antara lain ajaran kebajikan dan dengan melatih keterampilan yang akan diperlukan dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan sesuai dengan peran dan kelas mereka.
         Pusat pendidikan untuk rakyat biasa disebut  kyoyujo yang memang dikembangkan untuk masyarakat kelas kecil[12]. Kurikulum yang diajarkan pun dimulai dengan kaligrafi dimana murid mencoba mempraktekkan dengan mencontoh pengajar. Sebutan sekolah untuk rakyat biasa pada zaman Edo disebut sebagai terakoya. Di sekolah itulah rakyat biasa menggantungkan pendidikan formalnya untuk belajar membaca dan menulis. Terakoya mulai ada menjelang periode pertengahan zaman Edo dan mendapat fasilitas yang didirikan di kuil Buddha. Sekolah ini kemudian mulai meningkat dan pada akhir zaman Edo sekolah ini menjadi umum dan berada di kota-kota besar seperti di Edo dan Osaka. Sebelumnya sekolah ini bisa ditemukan di pesisir pantai terpencil dan di daerah pegunungan. Penggunaan sempoa dan kaligrafi pada zaman Edo mendapat posisi yang penting dalam perekonomian pedagang, terlebih pada masa akhir zaman Edo kemampuan menghitung dengan sempoa tersebar luas. Perempuan utamanya dalam usia anak-anak pada zaman ini tidak menerima pendidikan tingkat tinggi yang dibuat untuk anak laki-laki. Anak perempuan hanya diajarkan di dalam berbagi urusan rumah tangga dan ajaran beretika di dalam rumah. Sebagian anak perempuan dari samurai mendapat ilmu kesenian dan literatur klasik hanya sebagai tambahan dari pelajaran kaligrafi dan membaca, tapi secara umum seperti diatas pendidikan untuk perempuan pada zaman Edo hanya diperuntukan untuk menjadi Ibu dan Istri yang tidak melanggar etika dan berperilaku baik.
         Pemerintah saat itu kemudian memberikan dukungan terkait studi akademis mengenai karya Tiongkok klasik, khusunya pada Konfusianisme. Selanjutnya banyak tokoh Konfusian yang dizinkan untuk mendirikan sekolah yang mempelajari kebudayaan Tiongkok atau yang disebut dengan kangakujuku. Dalam perkembangannya sekolah ini tumbuh dengan pesat sepanjang zaman Edo.
         Selanjutnya pada zaman Edo perkembangan ajaran Konfusianisme memiliki banyak perspektif atau alkran baru dari Konfusianisme. Seperti Neo-Konfusianisme / Konfusianisme baru, aliran Chu Hsi / shushigaku, kogaku, kokugaku / pengetahuan Nasional. Kokugaku merupakan aliran yang hanya sedikit mendapat pengaruh Konfusianisme, sebagian besar tidak memakai ajaran lama dan murni mempelajari budaya Jepang. Beberapa cendekiawan Neo-Konfusianisme yang cukup terkenal zaman itu antara lain Fujiwara Seika, Hayazi Razan, Yamazaki Ansai. Hayazi Razan lahir pada tahun 1583 di Kyoto, ia memulai mempelajari mengenai Cina pada usia belasan tahun dan kemudian pergi ke Fujiwara Seika seorang Konfusian tidak resmi Tokugawa Ieyasu. Dia kemudian direkomdasikan untuk melayani Tokugawa Ieyasu sebgai guru pribadi shogun atau bisa dibilang sebgai penasihat resminya. Selanjutnya Hayazi Razan melanjutkan perjuangan Neo-Konfusianisme dan menemukan persamaan alami ajaran Shinto dengan Neo-Konfusianisme yaitu aliran Chu Hsi. Perjuangan Konfusianisnya kemudian dilanjutkan dengan keturunannya. Razan banyak mengajarkan tentang Konfusianisme ( Neo-Konfusianisme ) aliran Chu Hsi. Dia juga kemudian banyak menyebarkan tentang etika bagi samurai.
         Sepanjang zaman Edo ajaran Konfusianisem dipelajari awalnya hanya oleh kalangan atas, khusunya samurai atau bushi. Karena perihal tersebut yang menjadi faktor mengapa keshogunan Tokugawa dapat bertahan hingga berabad-abad. Konfusianisme pada zaman itu juga menekankan pada hubungan yang harmonis antara atasan dan bawahan dengan keliama kebijakan / gojo. Seperti ajaran seorang penguasa yang tidak seharusnya memerintah dengan seenaknua tetapi awalnya harus mengedepankan kebaikan moralnya agar rakyat yang dipimpinnya juga baik secara moral. Namun, terdapat kerugian pula yang diakibatkan oleh faktor ekonomi, masyarakat kelas bawah diperintahkan untuk membayar pajak yang tinggi pada pemerintah. Konfusianisme di zaman Edo juga sedikit menyeleweng dari ajaran Konfusius yang mengajarkan pentingnya sseorang menduduki jabatan tertentu atas prestasi dan jasanya, namun yang terjadi adalah pemeberian jabatan dan jabatan turun-temurun. Ajaran Konfusianisme pada zaman Edo yang masih terasa adalah kebudayaan sempai-kohai yang mengajarkan dari lima hubungan dasar manusia, yaitu antara antasan dan bawahan, suami dan istri, ayah dan anak, kakak dan adik, serta sesama teman. Perasaan kesetiaan orang Jepang pada keluarga atau perusahaan tempat bekerja, dan kesetiaan pada negara adalah salah satu warisan Konfusianisme.





DAFTAR PUSTAKA
__________ , 2008, Tersedia https://plato.stanford.edu/entries/japanese-confucian/ diakses pada Kamis, 5 Januari 2017.
Chamberlain, Basis Hall. Things Japanese : Being Notes on Various Subjects Connected with Japan. Cambridge University Press.
Febriani, Arni. 2013. Reformasi Shito Pada Masa Tokugawa ( 1603-1868).Universitas Pendidikan Indonesia. Tersedia http://repository.upi.edu/3211/4/S_SEJ_0800135_Chapter1.pdf diakses pada Rabu, 4 Januari 2017.
Hutabarat, Melda. 2007. Tokugawa dan Konfusianisme. Universitas Sumatera Utara. Tersedia http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/13475/1/08E01523.pdf , diakses pada Selasa, 3 Januari 2017.
Irsan, Abdul. 2007. Budaya dan Perilaku Jepang di Asia. Jakarta Selatan : Grafindo Khazanah ilmu.
Mauilidiyah, Najiyah Rizqi. 2014.  Konfusianisme di Asia Timur dan Pengaruhnya terhadap Krisis di Asia Timur Tahun 1997 . Universitas Airlangga. Tersedia, http://najiyah-rizqi-maulidiyah-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-93481-MASYARAKAT%20BUDAYA%20POLITIK%20ASIA%20TIMUR-Konfusianisme%20di%20Asia%20Timur%20dan%20Pengaruhnya%20terhadap%20Krisis%20%20di%20Asia%20Timur%20Tahun%201997.html diakses pada Selasa, 3 Januari 2017.
Rosidi, Ajip. 1981. Mengenal Jepang. Jakarta : PT DUNIA PUSTAKA JAYA.
Shindo, Yusuke. 2015. Mengenal Jepang. Jakarta : Kompas.


[1] Melda Hutabarat. Tokugawa dan Konfusianisme. 2007. Hlm 6 . Tersedia http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/13475/1/08E01523.pdf , diakses pada Selasa, 3 Januari 2017.
[2] Najiyah Rizqi Mauilidiyah. Konfusianisme di Asia Timur dan Pengaruhnya terhadap Krisis di Asia Timur Tahun 1997 . 2014. Tersedia, http://najiyah-rizqi-maulidiyah-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-93481-MASYARAKAT%20BUDAYA%20POLITIK%20ASIA%20TIMUR-Konfusianisme%20di%20Asia%20Timur%20dan%20Pengaruhnya%20terhadap%20Krisis%20%20di%20Asia%20Timur%20Tahun%201997.html  diakses pada Selasa, 3 Januari 2017.
[3] Arni Febriani. Reformasi Shito Pada Masa Tokugawa ( 1603-1868). 2013. Hlm 1. Tersedia http://repository.upi.edu/3211/4/S_SEJ_0800135_Chapter1.pdf diakses pada Rabu, 4 Januari 2017.
[4] Ajip Rosidi. Mengenal Jepang. 1981. Hlm 80-82.
[5] Yusuke Shindo. Mengenal Jepang. 2015. Hlm 3.
[6] Ibid. Hlm 12.
[7] Melda Hutabarat. Tokugawa dan Konfusianisme. 2007. Hlm 8 . Tersedia http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/13475/1/08E01523.pdf , diakses pada Selasa, 3 Januari 2017
[8] Abdul Irsan. Budaya dan Perilaku Politik Jepang di Asia.  2007. Hlm 18.
[9] Ibid.
[10] Yusuke Shindo. Mengenal Jepang. 2015. Hlm 131-139.
[11] Abdul Irsan. Budaya dan Perilaku Politik Jepang di Asia. 2007. Hlm 19.
[12] Melda Hutabarat. Tokugawa dan Konfusianisme. 2007. Hlm 71 . Tersedia http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/13475/1/08E01523.pdf  , diakses pada Selasa, 3 Januari 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKEMBANGAN FOLKLORE DI INDONESIA

www.folkloretravel.com Kebudayaan yang kini berkembang di masyarakat merupakan hasil pewarisan dari kebudayaan luhur terdahulu. Melalui banyak metode/cara tradisi masyarakat dapat tersalurkan dan terwarisi oleh generasi selanjutnya. Kebudayaan sendiri merupakan keseluruhan system, gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka menghidupi kehidupannya serta dijadikan sarana untuk belajar. Wujud dari kebudayaan itu antara lain ide/gagasan/norma/aturan/nilai yang kesemua itu menghasilkan wujud benda/fisik budaya. Kebudayaan hanya dapat berkembang di dalam masyarakat. Hal itu jelas bahwa tanpa adanya subyek yakni masyarakat tentu budaya tidak akan pernah ada dan berkembang. Di saat kebudayaan ini berkembang tentu menjumpai adanya budaya baru dari luar budaya induknya. Hal tersebut dapat menjadi salah satu kekuatan untuk mengakulturasi atau terjadinya proses percampuran budaya atau malah menjadi salah satu faktor untuk degradasi budaya (penurunan budaya). Folklore me

JEJAK KULINER NUSANTARA JAWA TIMUR

makanansehat.biz                    Indonesia sebagai bangsa yang besar memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Perjalanan sejarah Indonesia sudah barang tentu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh bangsa-bangsa luar. Pengaruh itu meliputi keragaman dari banyak hal seperti halnya sistem pemerintahan, sistem sosial kemasyarakatan, sistem perekonomian, teknologi dan sebagainya. Namun juga terdapat suatu hal yang maenarik yaitu dengan adanya pengaruh dari pihak luar budaya tradisional bangsa Indonesia tidak tergantikan. Seperti halnya adat istiadat, norma, bahkan pada keragaman jenis makanan. Makanan sebagai suatu hasil dari kebudayaan manusia pertama-tama memiliki peran sebagai alat pemenuhan kebutuhan primer. Tidak hanya itu peran makanan dalam kehidupan manusia bahkan sampai pada ranah untuk kegunaan religuisitas. Hal itu tercermin dari kebudayaan Jawa yang banyak melakukan ritual-ritual adat dan makananpun menjadi hal yang tidak bisa dilepaskan [1] . Keberadaan makanan tra

KOMIK STRIP TENTANG KERUSAKAN LINGKUNGAN