CATATAN PERJALANAN PENGABDIAN BERSAMA YOUCAN EMPOWER DI DESA POTA WANGKA, KECAMATAN BOLENG, MANGGARAI BARAT
NUSA TENGGARA TIMUR.
YOUCAN
EMPOWER batch 1.
Pemuda
dalam kehidupannya sudah barang tentu disibukkan dengan aktivitas yang beragam.
Mulai dari menuntut ilmu, berkarya, bekerja, dan mengabdi. Bahkan kini dengan
adanya perkembangan teknologi komunikasi, seorang pemuda dapat dengan mudah
mencari dan mengikuti berbagai kegiatan baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Kegiatan
kepemudaan kini yang banyak mendapat perhatian adalah kegiatan yang bergerak
pada pengabdian masyarakat di daerah pelosok. Hal itu disebabkan karena banyak
dari pemuda kini mulai berkeinginan untuk membantu (mengabdi) sesama dan jenuh dengan
kehidupan perkotaan. Salah satu kegiatan pengabdian masyarakat itu adalah “YOUCAN
EMPOWER”. Kegiatan ini diselenggarakan pertama kalinya oleh organisasi
kepemudaan yaitu Youth Center to Action for Nation ( YOUCAN ) INDONESIA. Organisasi
ini juga baru berdiri tepatnya pada 19 April 2016. Fokus utama organisasi ini
memang pada pemberdayaan pemuda untuk berkomitmen dan berkontribusi untuk
negeri.
Atas
dasar kepedulian untuk mengabdi di pelosok negeri itulah yang kemudian
menginisiasi YOUCAN INDONESIA untuk menyelenggarakan kegiatan YOUCAN EMPOWER
ini. YOUCAN EMPOWER kali ini merupakan kegiatan pengabdian yang pertama kali
diselenggarakan oleh YOUCAN INDONESIA yang sebelumnya organisasi ini hanya
menyelenggarakan kegiatan pertukaran pelajar di luar negeri. Pada awal pendaftarannya
kegiatan ini mendapat antusias yang tinggi dari para pemuda Indonesia untuk
mendaftarkan diri. Mulai dari proses pendaftaran tercatat sejumlah 5992 orang
yang mendaftar hingga hanya terpilih 49 orang yang diterjunkan ke lokasi
pengabdian.
Kegiatan
YOUCAN EMPOWER tidak hanya dilaksanakan di satu tempat pengabdian. Terdapat
empat lokasi penerjunan pengabdian, yaitu Labuan Bajo, Raja Ampat, Lombok, dan
Lebak Muncang. Sebelum diterjunkan di empat lokasi yang berbeda, semua peserta
terpilih melakukan pelatihan di D.I. Yogyakarta pada bulan Desember untuk
mempersiapkan program-program yang akan dilakukan di lokasi penerjunan. Peserta
yang terpilih terdiri dari berbagai disiplin ilmu dan dibagi menjadi tiga
bidang pengabdian yang berbeda, yaitu pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Saat
pelatihan peserta pengabdian mendiskusikan mengenai gambaran akan program yang
dilaksanakan disana. Program yang ditawarkan peserta juga bragam dari kelas
inspirasi, pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan pelatihan kewirausahaan, cek
kesehatan gratis, dan masih banyak lagi.
Di sesi pelatihan ini semua peserta menjadi
semakin akrab dengan beberapa kegiatan yang telah disusun oleh panitia.
Kegiatannya seperti memasak bersama dengan alat seadaanya, outbond, pemaparan materi oleh beberapa tokoh, dan sebagainya.
Peserta pada YOUCAN EMPOWER batch 1
ini selain berasal dari berbagai disiplin ilmu, mereka juga berasal dari
berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari dokter, insinyur, dosen, dokter hewan,
penulis, mahasiswa, dan lainnya.
Semua peserta terpilih saat pelatihan di Jogjakarta |
KOMPAK
DENGAN TIM “KOMODO”.
Saat
proses pendaftaran diatas, calon peserta harus mengisi lokasi penerjunan saat
pengabdian. Saya saat itu tertarik untuk memilih di Labuan Bajo karena selain
disana memiliki kekayaan alam yang indah, juga terdapat habibat hewan endemik
Indonesia yang juga masuk dalam keajaiban dunia, yaitu komodo dan memang saya sudah menuliskan impian saya untuk pergi ke Indonesia timur. Hingga fase
pelatihan tim kami terdiri dari tiga belas orang terpilih, yaitu :
- 1. Ade Wahyudi ( ITB / Bandung )
- 2. Arni Nur Laila ( UM / Banyuwangi )
- 3. drh. Fifit Natalia Kamal ( UNAIR / Palembang)
- 4. Muhamad Taisar ( ITB / Pulau Buton)
- 5. Muhammad Reyhan Florean ( UNESA / Tulunggagung )
- 6. Oktafiani Tri Ananda ( UNAND / Padang )
- 7. Tanya Tamara ( UNDIP / Semarang )
- 8. Yunaz Ali Akbar Karaman ( UNAIR / Malang )
- 9. Zhavirra Noor Rivdha ( UB / Malang )
- 10. Parlaungan I. Nasution/Ucok ( UNAIR/ Pamekasan)
- 11. I Dewa Gede Ari S ( UNAIR / Bali )
- 12. Muhammad Ari Purnama A ( IPB / Bogor )
- 13. dr. Andre ( UNPAD / Jakarta).
Meskipun dintara kami ada
yang se kampus namun sebelumnya kami tidak pernah bertemu satu sama lain. Kami
semua baru bertemu pada fase pelatihan di Yogyakarta. Pada awalnya atau saat
perkenalan kami masih malu-malu, terkesan serius dan masih membawa idealismenya
yang kuat. Namun sering kali kami juga bercanda gurau. Pada sesi hari terakhir
pelatihan, kami menyusun program yang akan kami laksanakan di Labuan Bajo.
Program yang kami tawarkan merujuk pada tiga bidang yang ada yaitu pendidikan,
kesehatan, dan ekonomi. Bidang pendidikan kami akan melakukan kelas insprasi
yaitu dengan memotivasi anak-anak SD-SMP disana dengan gambaran berbagai
profesi, pohon cita-cita, nonton bareng film sejarah atau edukasi, dan taman
baca “KOMODO”. Pada bidang ekonomi kami memiliki program yaitu pelatihan
kewirausahaan warga dengan menggunakan potensi alam yang ada di desa. Terakhir adalah
bidang kesehatan yaitu dengan cek kesehatan gratis. Dari panitia kami akan
diterjunkan pada awalnya di Desa Nggorang, namun beberapa minggu kemudian
lokasi kami diganti yaitu di Desa Pota Wangka yang memang masih butuh perhatian
khusus.
Kebersamaan kami lalu
dilanjut dengan dibentuknya grup di whatsapp.
Hal itu dilakukan karena kami tidak mungkin untuk bertatap muka secara langsung
lagi karena tempat tinggal kami yang berjauhan dan karena kesibukan kami. Ketua
dalam tim Komodo ini adalah mas Aji dari IPB. Pada awalnya ia lah yang memotori
agar segera membuat promosi atau kerjasama dengan pihak luar untuk membantu
terlaksananya kegiatan kami dan ia juga membuat desain yang menarik untuk
program yang akan kami lakukan. Kami setiap malam di hari yang telah
dijadwalkan membahas kembali apa saja yang masih belum di siapkan. Masalah
teknis sedetail-detailnya hingga menghubungi panitia yang salah satunya berasal
dari lokasi penerjunan. Bahkan kami juga sempat belajar bahasa daerah Labuan
Bajo. Diskusi itu akhirnya selalu memberikan poin-poin penting yang harus kami
lakukan sebelum penerjunan.
Seiring berjalannya waktu,
seleksi alam dan rencana Allah memang tidak bisa ditolak. Suatu malam, dr Andre
mengumumkan pada kami bahwa ia harus mengundurkan diri dalam penerjunan kali ini,
karena saat pelaksanaan kegiatan bertepatan dengan ia masuk awal kuliah
spesialis yang diambilnya. Sebagai tim kami menyayangkan hal itu, karena disisi
lain dr Andre sudah beberapa kali ikut dalam kegiatan semacam ini, seperti
EKSPEDISI NUSANTARA dan lainnya. Karena kami tidak bisa menolak hal itu, jadi
kami harus kehilangan satu tenaga. Saat diskusi malam dilain hari, mas Aji juga
mengabarkan bahwa ia juga tidak bisa mengikuti kegiatan ini, karena ia
sebelumnya sudah diterima magang di perusahaan Yukiguni Maitake di Jepang selama enam bulan lamanya. Bahkan ia
sudah mendapat visa untuk magang disana. Kami mendengar hal itu sontak saja
terkejut bahagia, karena mas Aji adalah ketua tim kami dan harus tidak bisa
melanjutkan kegiatan pengabdian. Terakhir adalah mas Ade dari ITB yang juga
mengundurkan diri karena ada kesibukan di kampus. Begitupun mas Ucok yang juga
harus izin karena ia baru saja mengikuti kegiatan serupa dari kampusnya.
Personil kami kini tinggal
delapan orang. Itu pun setiap bidang kami merasa tidak seimbang, bahkan bidang
ekonomi hanya mas Dewa seorang. Namun, kemunduran beberapa anggota tim kami
tidak menyurutkan semangat kami untuk mengabdi. Bahkan kami tetap dengan gencar
melakukan diskusi dan persiapan seperti pembelian tiket pesawat sampai hadiah
yang akan diberikan pada anak-anak disana. Mas Aji meskipun telah mengundurkan
diri dan sekarang berada di Jepang, ia masih sering muncul dalam diskusi bahkan
membantu memecahkan beberapa masalah di tim kami. Alhasil kami memilih ketua
tim baru yaitu mas Reyhan yang juga memiliki pengalaman dalm bidang ini. Ia
pernah menjadi peserta MENYAPA NEGERIKU beberapa waktu lalu di daerah Teluk Bintuni,
Papua Barat yang diselenggarakan oleh MENRISTEKDIKTI.
Di beberapa minggu sebelum
penerjunan, Mas Ando sebagai panitia yang berasal dari Labuan Bajo juga, ikut
berdiskusi dan menggambarkan beberapa keadaan fisik di daerah penerjunan. Mas
Ando kini tengah berkuliah di Universitas Udayana, Bali dan merupakan putra
daerah Flores. Kami semakin yakin dengan program yang kami usulkan setelah mas
Ando kemudian menambahi beberapa hal yang dirasa dibutuhkan di laksanakan
disana. Mas Ando juga menjelaskan kenapa lokasi penerjunan kami diubah, karena
di lokasi awal penerjunan yaitu di Desa Nggorang, masyarakatnya sudah banyak
yang dialiri listrik 24 Jam dan lebih dekat dengan pusat kota Labuan Bajo,
sedangkan desa Pota Wangka yang kemudian merupakan lokasi penerjunan kami lebih
membutuhkan perhatian semacam ini, karena berbagai hal seperti keadaan
masyarakatnya, fasilitas disana, dan pendidikannya.
HARI
I / BALI-LABUAN BAJO, KAMIS - 23 FEBRUARI 2017
“TERBANG
BERSAMA HINGGA PENYAMBUTAN YANG RAMAH”
Tak
terasa hari penerjunanpun di depan mata. Segala persiapan telah kami lakukan,
begitupun keperluan akomodasi dan transportasi pribadi kami. Semua tim kami
berangkat dari lokasi masing-masing menuju Labuan Bajo yaitu dengan pesawat
terbang. Karena menuju Labuan Bajo harus transit di bandara Ngurah Rai,
Denpasar, Bali, kami menjadwalkan untuk bertemu sejenak di bandara pada siang
hari. Saya dan mas Dewa saat itu sudah stay
di Bali, jadi kami berdua langsung menyusul kedatangan teman lain yang sudah
lebih dulu transit di bandara. Saya dan mas Dewa berangkat menuju bandara pada
pukul 11.00 WITA. Kami membawa sebagian hadiah yang akan dibagikan anak-anak
disana, bahkan lumayan banyak ,untung saja kami bagi barang itu untuk dimasukkan
ke dalam kardus. Saat kami berdua check
in di bandara, kami bertemu dengan mas Ade. Dia adalah peserta pengganti
yang ikut dalam pengabdian kali ini. Dia adalah masasiswa aktif teknik sipil
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta semester empat. Akhirnya kami berbincang lama dan
mas Ade menjelaskan kenapa ia menjadi peserta pengganti. Setelah itu kami
membeli roti untuk sekadar mengganjal perut. Teman-teman yang lebih dulu
transit kemudian menguhubungi kami agar cepat menuju ruang tunggu dan untuk
membincangkan sedikit program yang telah jadi.
Di
gate lima kemdian kami semua bertemu.
Wajah kami tidak berubah meskipun hampir satu bulan setengah kami tidak saling
bertemu. Kami kemudian lupa untuk membahas program, kami malah bercanda gurau
melepas kelelahan kami sambil menunggu pesawat kami yang delay. Kami terpisah
dalam dua pesawat yaitu masakapai NAM AIR dan WINGS AIR hanya saja berselang
satu jam keberangkatan. Saat itu pesawat kami mulai take off pukul 14.50 WITA.
Pesawat yang digunakan dalam rute ke daerah seperti Labuan Bajo menggunakan
pesawat yang berukuran kecil, mungkin menampung enam puluh orang. Diketinggian
kami disuguhkan gugusan pulau hijau yang sangat indah. Ditambah dengan warna
gradasi laut, semakin memanjakan mata kami. Dari atas saya menyadari bahwa,
kita memang hanyalah seonggok daging yang punya nama, kita semua sama, tujuan
kita sama, kita memiliki hati yang sama, kita punya bendera yang sama, saya
juga menyadari bahwa saya masih di Indonesia.
Kami
sampai di Bandara Komodo satu jam kemudian. Kondisi Bandara Komodo menurut saya
sudah bagus jika dilihat dari bangunan yang terbilang baru. Turun dari pesawat
saya langsung merasakan hawa panas yang khas dan berbeda dari panasnya
kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Langit yang cerah di sore itu
akhirnya kami memutuskan untuk langsung menuju kedalam dan menunggu barang di
bagasi. Seorang panitia yang lebih dulu menuju lokasi, mas Habibi sudah menunggu
kedatangan kami. Ia baru saja menyelesaikan kuliah di Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta dan ia adalah anak Minang. Kami akhirnya istirahat sejenak, bahkan
mas Dewa langsung saja mencharger handphonenya. Saya lihat di pintu keluar
sudah banyak pemuda yang menjajakan jasa nya sebagai rental mobil, taksi,
ataupun biro travel. Dengar-dengar banyak yang bilang bahwa harga paket wisata,
makanan dan lainnya normalnya di Labuan Bajo cukup mengguras kantong. Namun
jika sudah memiliki jaringan atau mengguhubgi jauh-jauh hari, bisa juga untuk
dinego harga disana.
Kloter
pertama kami akhirnya menuju rumah saudari mas Ando, yang tergolong dekat
dengan Bandara Komodo. Untuk menuju kesana kami sudah dipesankan bemo. Bemo
disana tidak berbeda dengan bemo atau angkot yang ada di kota besar. Namun
sepanjang perjalanan di dalam bemo itu dimainkan musik hip-hop dengan volume yang
hampir menyobek gendang telingga. Butuh waktu lima belas menit kami akhirnya
sampai di rumah saudari mas Ando. Karena masih di kota, sinyal dan listrik
disini masih terjamin.
Keluarga
mas Ando kemudian menyambut kami dengan gembira. Bahkan kami dibuatkan teh hangat
dan disajikan kue “KOMPYANG”. Kue ini pertama saya temui di Labuan Bajo, jika dilihat bentuk
fisinya sangat mirip dengan bakpao dengan biji wijen diatasnya. Namun tidak
memiliki isi hanya saja kue ini padat dan rasanya khas, apalagi jika dicelupkan
dengan teh hangat. Saya hanya makan satu setengah saja sudah terasa kenyang,
kue ini saya sarankan untuk dicoba saat ke Labuan Bajo. Setengah jam kemudian
kloter kedua tim kami sampai juga. Mereka kemudian istrirahat sejenak dan
menikmati enaknya roti KOMPYANG juga. Karena perbedaan waktu yang cukup banyak,
disini jam saya sudah menunjukan pukul 18.00 WIB yang berarti 19.00 WITA, namun
langit disini masih terang bahkan kami juga mengintip langit oranye sore.
Kue Kompyang |
Dari
rumah saudari mas Ando menuju Desa Pota Wongka dibutuhkan sekitar 2 – 3 jam dan
berjarak sekitar 50-60 km. Untuk menuju Desa Pota Wongka juga tidak bisa
dilalui sembarang kendaraan, karena jalur yang sangat menantang ditambah lagi
penerangan jalan sangat minim. Hanya ada satu angkutan yang biasa digunakan
warga yaitu “OTOKOL”. Secara umum bentuk kendaraan ini adalah truk. Hanya saja
dibagian bak truk dimodifikasi dengan ada tambahan bangku dari kayu yang cukup
untuk menampung hingga dua belas orang lebih. Secara dominan warna OTOKOL
adalah hijau, namun juga terdapat beberapa ornamen yang sengaja dicat merah
muda, kuning, dan merah. Truk yang digunakan hampir semua memiliki plat nomor
“B”, yaitu Jakarta. Jadi truk yang digunakan untuk OTOKOL dibeli murah dari
Jakarta.
OTOKOL in action |
Untung
saja saat perjalanan menuju Desa Pota Wangka saat itu malam hari. Jadi kami
tidak dapat melihat betapa extremenya
jalan menuju desa itu. Sering kali OTOKOL bergoyang-goyang, masuk lubang kanan
kiri melintasi aliran sungai dan sebagainya. Sepanjang perjalanan saat terlepas
dari jalan aspal provinsi, jalan sudah banyak yang rusak. Banyak sekali lubang
dan tergenang oleh air. Sepanjang perjalanan hanya lampu depan OTOKOL yang
menjadi sumber pencahayaan utama. Tidak ada sama sekali pencahayaan di
sepanjang jalan. Namun itu tidak membuat kami patah semangat, malah kami
disuguhi dengan gugusan bintang yang jarang kami temui di tempat tinggal kami. Kami
juga mengalami insiden saat akan sampai di Desa Pota Wangka, ban depan OTOKOL
yang kami tumpangi pecah ! Kami langsung saja turun di depan rumah warga yang
juga memiliki kios. Menurut sopir pecahnya ban disebabkan oleh paku. Beberapa
orang yang ikut dalam OTOKOL kemudian membantu dan mengganti ban depan dengan
ban cadangan yang dibawa. Memang saat OTOKOL beroperasi selalu membawa awak
yang lebih dari dua orang, fungsinya saat terjadi kejadian semacam ini agar
bisa membantu dengan cepat. Kami turun kemudian diberitahu bahwa di tempat kami
pecah ban terdapat beberapa sumber daya arkeologis, yaitu fosil kayu. Kemudian
ada warga yang mengajak kami melihat lokasi penemuan dan pesebaran fosil itu. Memang
saya lihat sepintas itu adalah batu, karena kepadatan dan sangat keras. Namun
jika dilihat lebih detail lagi di permukaannya terdapat serat-serat kayu bahkan
di kulitnya masih jelas terbentuk seperti kayu. Warga disana banyak yang
menggunakan fosil itu sebagai alat rumah tangga dan bangunan. Saya sebenarnya
tertarik untuk lebih dalam mengetahui bagaimana atau asal usul fosil tersebut.
Teman-teman lain langsung saja memotret untuk mengabadikan momen langka ini. Selama hampir satu jam kami menunggu untuk
penggantian ban OTOKOL. Sembari menunggu beberapa teman juga coba membeli
camilan di kios itu. Saya juga terkejut bahwa harga di kios ini tidak berbeda
dengan harga di Surabaya. Seperti harga sebungkus mie instan harganya sama
yaitu Rp.2.500,-, begitupun harga bahan kebutuhan yang lain.
Fosil kayu |
Hampir
selama satu jam kami menunggu akhirnya selesai juga penggantian ban OTOKOL. Lalu
kami melanjutkan perjalanan kami, ternyata jalan yang rusak kembali kami lalui
dan tidak jauh kami melihat cahaya lampu pelita di dalam rumah. Tak jauh
kemudian saya melihat ada tanjakan yang ternyata itu adalah tanjakan terakir
menuju rumah kepala desa, Desa Pota Wongka. Kami melihat sebuah tenda dari
bambu dan terpal sangat sederhana. Kursi plastik aneka warna juga sudah tertata
rapi. Ditambah sound system yang
dipasang di pojok depan rumah pak Kades. Setelah sampai kami langsung turun
dari OTOKOL dan warga pun manyambut dengan ramahnya dan menyalami kami satu per
satu. “Selamat Datang”, “Selamat Malam” saya dengar bergantian dari mulut warga
Desa Pota Wangka. Kami langsung digiring menuju ruang tengah rumah pak Kades
yang bernama Pak Theodorus Talin. Susana suka cita kami semua rasakan saat itu
ditambah dengan hawa super sejuk malam itu.
Di
ruang tengah sudah berkumpul tokoh masyarakat, perangkat desa, hingga Tua Golo
atau tetua adat Desa Pota Wongka. Mereka hampir semua menggunakan kopiah /
songket dengan motif khas, bahkan ada motif yang berbentuk komodo dan juga
menngunakan sarung tenun. Dalam malam itu kami diterima dengan upacara adat.
Mas Ando sebagai putra daerah dan satu-satunya dari kami yang bisa bahasa
daerah disana mewakili kita. Tua Golo kemudian mengucapkan beberapa kalimat
dengan bahasa daerah yang mana intinya adalah menanyakan kedatangan kami.
Bersahut-sahutan Mas Ando dan Tua Golo. Bahkan dalam dialog mereka di akhirnya
Tua Golo menyerahkan sejumlah uang dan sebotol minuman untuk melengkapi
penyambutan kedatangan kami.
Penyambutan oleh warga dengan upacara adat |
Acara
adat penyambutan kami di dalam rumah baru saja selesai. Dilanjutkan dengan
makan malam bersama dan pengenalan lebih dalam dan diskusi dengan warga terkait
program yang akan kami lakukan selama tiga hari kedepan. Di depan halaman rumah
pak Theo, sudah disajikan sebaskom nasi , sayur dari daun singkong, urap-urap
dari jantung pisang, ikan tengiri bumbu kuning, dan ayam goreng, dan sambal
khas disana yang rasanya sangat pedas meski hanya mencicipi di pucuk sendok. Berdasarkan
informasi disana, bahwa jika ada tamu yang datang maka upacara adatnya adalah
menyembelih ayam. Ibu-ibu dan warga disana mengetahui bahwa anggota tim kami
ada yang beragama Islam dan menyuruh kami yaitu mas Reyhan untuk menyembelih
ayamnya. Disinilah saya merasakan arti toleransi dan kebhinekaan yang
sebenarnya bisa dilaksanakan dengan cara-cara sederhana.
Sembari
makan di malam pertama ini, kami kemudian memperkenalkan diri lebih lanjut di
depan rumah pak Theo. Dilanjutkan dengan perwakilan dari masing-masing bidang
kami untuk menawarkan program yang selama tiga hari kedepan. Selesai kami
memaparkan program yang juga sudah rampung, kami juga ditawari beberapa kegitan
oleh pak Theo yaitu untuk mengunjungi beberapa lokasi diantaranya rumah adat
“Gendang”, lokasi longsor, dan ikut dalam kerja bakti warga. Akhirnya karena
dirasa sudah cukup malam dan beberapa dari kami sudah menampakkan wajah yang
kusut, pak Theo memperseilahkan kami beristirahat di rumahnya, awalnya kami
akan dibagi ke beberapa rumah warga namun karena pertimbangan suatu hal kami
semua menjadi satu di rumah pak Theo yang cukup luas itu.
HARI
II / POTA WANGKA, JUMAT – 24 FEBRUARI 2017
“PROSESI
WA’U WAE DAN HABIBIE-AINUN”
Kami
mengawali hari yang berkah ini dengan mengigil kedinginan. Disini hawa pagi
harinya sangat dingin, bahkan jika seperti di tempat tinggal saya di Malang,
masih dingin di Pota Wangka. Bahkan beberapa dari kami setelah menunaikan
sholat Shubuh kembali lagi menyelimuti tubuhnya dengan sarung. Hawa ini kami
rasakan lama hingga kami bergantian untuk mandi. Sebelum beraktivitas kami
mengisi tenaga dengan menu yang hampir sama dengan makan malam kemarin, yaitu
sayur daun singkong, ikan asin, dan sambal yang mantap !
Pagi
ini kebetulan terdapat upacara adat yang disebut “wa’u wae”. Upacara adat ini
dilakukan oleh pasangan pengantin baru untuk membasuh badan setelah selama
empat hari mereka tidak dibolehkan untuk mandi dan keluar dari kamar. Hal ini
merupakan momen langka bagi kami, setelah itu langsung saja kami menadatangi
rumah warga yang melaksanakan upacara itu. Seperti biasa setelah kami duduk
kami disuguhi kopi dan teh panas. Dirumah warga itu juga sudah berkumpul
beberapa tokoh adat. Beberapa menit kemudian pasangan pengantin yang akan
melakukan prosesi upacara adat menuju ruang tamu dengan lengkap menggunakan
pakaian daerah. Kemudian kami berjalan menuju aliran sungai yang tidak terlalu
jauh dari rumah tadi. Dalam prosesi wa’u wae ini pasangan pengantin lalu
mengganti pakaian mereka dan dimandikan oleh Tua Golo. Cara memandikannya pun
pertama diguyur oleh air kelapa dengan kelapa di pecah diatas mereka, kemudian
kelapa yang terbelah itu dilemparkan begitu saja kedepan pasangan pengantin
itu. Posisi jatuhnya kelapa itu diyakini warga yaitu untuk menentukan jenis
kelamin anak pengantin itu nantinya. Jika batok kelapa terkelungkup maka
anaknya diramalkan akan berjenis kelamin laki-laki begitupun sebaliknya. Hal
itu dilakukan berulang-ulang oleh Tua Golo, hingga akhirnya kelapa itu dapat
kami makan.
Rumah panggung dari kayu |
Tugu Salib di dekat rumah Pak Theo |
Usai
melakukan upacara adat wa’u wae, kami kemudian langsung menuju lokasi kerja
bakti warga dan menuju rumah Gendang. Setiap rumah yang kami lalui warganya
selalu keluar rumah untuk menyapa dan menyalami kami. Saat itu juga ada warga
yang sedang menumbuk kopi dengan cara tradisional. Kamipun terhenti dan mencoba
bergantian menumbuk kopi itu. Di hampir setiap rumah di halaman depannya
digunakan untuk menjemur kemiri. Banyak warga yang menggunakan kemiri untuk
bahan masakan. Sampai ditengah perjalanan kami kemudian berpapasan dengan pak
Camat, yang bernama pak Bonaventura AB, S.Pd. Dengan pakaian dinas lengkap
menggengam tongkat komando, ia diantar menggunakan sepeda motor. Kemudian kami
bersalaman dan beliau memang bertujuan untuk menemui kami, karena kemarin malam
kendaraan dinas beliau rusak dan sudah terlalu malam. Pak Bona dengan senang
hati lalu menceritakan banyak sekali fakta-fakta dan hal menarik tentang Pota
Wangka bahkan tentang Manggarai Barat. Beliau menghabiskan masa mudanya untuk
merantau dan menuntut ilmu di Makassar, kemudian beberapa tahun lalu beliau
kembali ke kampung halamannya dan beliau kemudian dipercaya menjadi Camat, di
Kecamatan Boleng ini. Beliau juga kebetulan masih saudara dengan mas Ando.
Bapak Bonaventura AB, S.Pd. Selaku camat di kecamatan Boleng |
Rumah Gendang |
Perbincangan
kami kemudian dilanjutkan sambil berjalan menuju lahan warga yang sedang akan
digarap. Selama berjalan itu saya mencoba merekam ucapan-ucapan beliau, karena
beliau banyak menceritakan perihal budaya dan sejarah di Labuan Bajo secara
detail. Saya kemudian tertarik saat beliau menceritakan mengenai tarian “caci”.
Beliau mengungkapkan bahwa tarian caci merupakan budaya khas Flores dan
merupakan salah satu potensi budaya dan pariwisata. Secara filosofis tarian ini
sarat makna. Bahkan setiap gerakan dan nyanyiannya merupakan gambaran kehidupan
manusia. Walaupun terdapat unsur kekerasan ( main cambuk ) dalam tarian ini
namun hal itu malah memiliki arti sportifitas, saling toleransi, saling
menghormati, dan merupakan jiwa kepahlawanan. Dialog kami ini kemudian
diteruskan saat berada di rumah adat Gendang. Sampai di rumah adat Gendang yang
berlokasi di tengah lapangan cukup luas dengan terdapat patung Bunda Maria dan
batu kuno sebagai sarana penggamabaran alam roh. Bentuk rumah Gendang kini sudah mengalami renovasi,
atapnya sudah menggunakan seng dan sudah dipaku. Menurut ucapan Pak Bona dulu
rumah Gendang dibuat secara tradisional dengan tidak ada kayu untuk
menyambungkan tiap kayu dan atapnya dulu berasal dari ijuk yang diikat. Didalam
Rumah Gendang sebagai alas sudah terjajar rapi semacam “bantal” dengan kapas
alami didalamnya yang dibungkus semacam karung. Di atap-atap Rumah Gendang juga
terdapat perlengkapan tarian Caci dan perlengkapan adat lainnya. Disana saya
melihat pecut yang digunakan dalam tarian caci adalah berasal dari kulit
kerbau. Begitupun tameng dan perlengkapan lainnya. Siang itu kami disuguhi air
kelapa yang masih segar lengkap di dalam batok kelapa. Karena perjalanan yang
cukup menguras tenaga, kami langsung lahap untuk menghabiskan kelapa segar yang
jarang kami jumpai di perkotaan itu. Perjumpaan kami dengan tokoh adat beserta
Pak Bona selaku Camat disana diisi dengan cerita Pak Bona tentang cerita daerah
Flores tepatnya Manggarai dan Pota Wangka. Jika ditinjau dari sejarahnya
Manggarai Barat dulunya merupakan salah satu lokasi tujuan diaspora masyarakat
dari beberapa suku. Perjalanan sejarah itu juga saya banyak mendengar berasal
dari legenda setempat, seperti arti desa Pota Wangka, “Pota” yang artinya
melihat dan “Wangka” yang artinya perahu. Memang secara geografis letak Desa Pota
Wangka memiliki ketinggian diantara desa lain, sehingga dulu digunakan untuk
mengintai perahu yang datang dari luar pulau.
Nampak dari jauh gereja |
Kemiri yang dipanaskan |
Akhirnya
perbincangan kami selesai dan kami berpamitan untuk kembali ke rumah Pak Theo
untuk melakukan kegiatan kami selanjutnya. Dalam perjalanan pulan itu,
anak-anak desa yang sudah pulang dari sekolah membuntuti kami dan mengajak kami
bermain sepanjang perjalanan. Keceriaan anak-anak yang jauh dari genggaman gadget itu menambah semangat kami untuk
mengabdi. Kamipun sampai di rumah Pak Teho pada sore hari dan langsung
menyiapkan program pembinaan ekonomi warga dengan membuat minyak kemiri secara
sederhana. Kami berbagi tugas, ada yang memecah kemiri, ada yang menggerus
kemiri. Kegiatan itu dengan ceria kami lakukan. Bahkan mungkin ini yang pertama
dan terakhir bagi kami untuk membuat minyak kemiri secara tradisional. Setelah
biji kemiri yang digerus halus selesai, langkah selanjutnya adalah merebus
gerusan itu untuk agar tidak ada uap airnya. Dan pada malamnya mas Reyhan
bertugas untuk mngaduk-aduk rebusan kemiri itu untuk ditiriskan hingga keluar
minyak kemiri. Warga Pota Wangka, terutama ibu-ibu yang melihat kegiatan kami,
memiliki keinginan untuk membuat lebih minyak kemiri itu, meskipun belum teruji
namun setidaknya kami memberikan pelatihan guna memanfaatkan hasil alam disana.
Malam
hari sesuai jadwal kami mengadakan nonton bareng video anak dan film sejarah. Berdasarkan
informasi bahwa di Desa Pota Wangka terkair kali melakukan kegiatan ini yaitu
sejak tiga puluh tahun lalu ! Mendengar hal itu saya pribadi merasa bersyukur
karena masih diberikan banyak kesempatan Allah untuk melakukan hal yang sama.
Dengan senang hati saya membuka kegiatan itu. Tak heran banyak pemuda,
anak-anak, dan warga dari desa sebelah yang juga ikut menyaksikan pada malam
itu. Kami menggunakan punggung banner dan proyektor untuk bisokop dadakan itu.
Sorotan lampu dari proyektor pada malam itu menjadi satu-satunya penerangan. Lalu
kami melihat secara bergantian yaitu video cerita anak seperti Malin Kundang,
Lutung Kasarung, Bawang Merah dan Bawang Putih, serta video mengenai sejarah
singkat Bangsa Indonesia. Suara teriakan dan tawa anak-anak malam itu membuat
malam itu semakin ramai. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WITA
dan anak-anak diutus untuk pulang kerumah karena esok hari mereka masih masuk
sekolah. Sedangkan pemuda dan warga lainnya masih bertahan duduk di kursi
plastik dengan sarung yang mlilit tubuh mereka. Sembari kemudian kami makan
malam di rumah pak Theo, kami memainkan film “Habibie dan Ainun” yang sudah
rilis di tahun 2012 lalu. Rupanya film ini pertama kali dilihat oleh warga
disana pada malam itu. Kami yang melihat dari dalam rumah menyaksikan mereka
khidmat dalam menonton film itu. Dengan durasi hampir dua jam, kemudian film itu
berakhir. Waktu menunjukan pukul 23.30 WITA sembari kami membereskan proyektor
dan laptop, kemudian kami dihampiri beberapa warga yang terkesan dengan film
biografi presiden ketiga itu. Bahkan salahs seorang guru mengapresiasi kegiatan
kami itu dan berusaha membuka mata warga desa Pota Wangka agar bisa menjadi
orang sukses dan berpendidikan seperti Presiden Habibie. Malam itu berakhir
dengan suka cita, kemudian kami mempersiapkan kegiatan untuk besok dan mulai
beristirahat.
Nobar film anak |
HARI
KE III / POTA WANGKA, SABTU – 25
FEBRUARI 2017
“
TIDAK ADA YANG LEBIH INDAH SELAIN PENDIDIKAN DAN CITA-CITA”
Dihari
ketiga ini kami memfokuskan kegiatan pengabdian kami yaitu pada pendidikan. Di
Desa Pota Wangka terdapat satu SD yaitu SDK Wangkung, satu SD Program Khusus
(Progsus, khusus siswa kelas enam terbaik di kecamatan Boleng) dan satu SMP
yaitu SMPN 2 Boleng. Di hari Sabtu ini semua siswa sudah diberi tahu bahwa akan
ada kegiatan yang diisi oleh kami. Kegiatan ini difokuskan di satu tempat yaitu
di gedung SMPN 2 Boleng. Jarak yang tidak terlalu jauh dengan rumah Pak Theo
membuat sekolah ini mudah dijangkau dan bertempat di tengah lapangan dan dekat
dengan Gereja.
Pertama-tama
kami mendapatkan sambutan oleh guru dan kepala sekolah yang semuanya berjumlah
enam orang. Kebanyakan dari mereka adlaah putra daerah dan baru saja diangkat
menjadi guru disana. Ruang guru yang sangat sederhana dengan dua almari kayu
didalamnya. Diatas meja juga bertumpuk prakarya siswa dan beberapa soal-soal try out Ujian Nasional untuk siswa kelas
sembilan. Pak Marcelinus Victor sebagai kepala sekolah kemudian menyambut
kedatangan kami dengan baik. Dalam sambutannya beliau kemudian mngharapkan
kegiatan ini untuk terus dilakukan, bahkan menurut beliau jarang sekali ada
kegiatan semacam ini. Beliau juga mengapresiasi kami yang juga berasal dari
berbagai daerah di Indonesia, berbagai kampus, dan berbagai disiplin ilmu.
Kami
terbagi menjadi dua kelompok yang akan mengajar siswa SD dan SMP nantinya.
Sebelum kami datang, semua siswa sudah bersiap di dalam kelas. Karena jumlah
siswa SD dan SMP yang tidak banyak maka cukuplah dua kelas untuk SD dan SMP.
Saat memasuki kelas, kami disambut dengan teriakan histeris mereka yang sudah
menunggu kami sejak pagi. Siswa SMPN 2 Boleng, di hari itu menggunakan atasan
seragam olahraga. Namun ada hal yang membuat saya terhening sejenak. Meskipun
mereka memakai atasan seragam olahraga saya melihat bawahan seragam mereka
bebas dan tidak menggunakan sepatu. Mereka semua bahkan siswa SD juga
menggunakan sandal untuk bersekolah. Didalam kelas terdapat meja dang kursi
kayu dan meja guru lengkap dengan satu papan tulis putih. Diatap kelas saya
melihat tidak ada tempat lampu beserta lampu dan didinding tidak ada saklar,
memang listrik disini masih sangat sulit. Berbeda jauh dengan fasilitas yang
ada di kota, namun saya pribadi disini merasakan atsmosfer pendidikan yang
lebih dengan keterbatasan yang ada.
Pada
sesi ini kami awalnya mempernalkan diri. Di tim SMP ada saya, mas Dewa, mas
Taisar , mbak Vira, mbak Tanya dan mbak Nanda . Sedang lainnya bertugas di tim
SD. Pagi itu kami menjadwalkan akan memberikan kelas inspirasi sesuai dengan
disiplin ilmu yang kami tempuh. Seperti mbak Nanda yang berlatar belakang
kedokteran memberikan informasi mengenai profesi dokter, saya yang berlatar belakang
sejarah memberikan gambaran pentingnya sejarawan ataupun guru sejarah, dan mas
Dewa yang berlatar belakang ilmu komunikasi menjelaskan bagaimana pentingnya
manusia berkomunikasi. Disela-sela kami
mengisi kami juga membagikan hadiah yaitu berupa alat tulis yang kami
persiapkan. Begitupun saya juga membagikan buku Cerita Rakyat dan Budaya Tradisi Nusantara yang baru saja saya
terbitkan secara gratis kepada siswa yang berani menjawab pertanyaan saya
kedepan. Kami juga melatih kemampuan
mereka berbicara di depan, mamng awalnya mereka hampir semua masih malu
terlebih dengan orang baru, namun di akhir sesi ini mereka sangat antusias
untuk mengacungkan tangan dan menjawab pertanyaan dari kami.
Selain
kelas inspirasi kami juga memberikan pengetahuan pentingnya mencuci tangan
dengan cara yang benar. Kami mengajarkan hal itu kepada mereka dengan lagu yang
sudah dibuat mas Dewa dan kami praktikan pagi hari sebelum kami berangkat ke
sekolah, berikut liriknya
Ingin
sehat dan selamat cuci tangan (prok,prok,prok)
Telungkupkan
dua tangan bergantian (prok,prok,prok)
Mangait
dan mengunci, lalu putar ibu jari
Yang
terakir gosok-gosok ujung jari.
Di akhir kegiatan kemudian kami menunjuk
salahs satu dari siswa untuk menjadi dokter cilik yang akan membantu
teman-temannya bagaimana cuci tangan dengan cara yang benar. Sesuai dengan nama
kegiatan kami yaitu “Kelas Inspirasi” terakhir sebelum kami berpisah, siswa
SMPN 2 Boleng kemudian menuliskan cita-cita mereka di dalam kertas lipat yang
sudah dibuat mas Reyhan menjadi bentuk balon udara. Saya melihat cita-cita
mereka tidaklah bisa dipandang remeh. Mereka semua memiliki cita-cita yang
tinggi, seperti Dokter, Guru, Perawat, Tentara, dan Pilot serta masih banyak
cita-cita mulia lainnya. Kami semua hanya bisa mendoakan dan menyulutkan
semangat untuk meraih cita-cita mereka. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia
ini, selagi api semangat dan tekad yang masih kuat maka apapun bisa diraih.
Selain itu secara pribadi di hari ini saya merasakan pentingnya pendidikan
untuk anak-anak. Masa anak-anak memang harus penuh dengan suka cita termasuk
bermain dan belajar yang menyenangkan. Meskipun dengan keterbatasan disini,
saya mendengar semangat mereka belajar saat tidak ada lampu yaitu dengan
menggunakan pelita. Sedangkan kita yang ada di kota masih mengeluh dengan tugas
yang seumbruk, malas membaca dan belajar dan alasan lainnya.
Di
siang hari saya membuka “Taman Baca Komodo” dengan membuka perpustakaan gratis
dan dengan buku-buku yang kami bawa. Kami melihat antusias siswa dan guru terkait
minat baca sangat tinggi. Bahkan akhirnya kami memberikan sebagian buku kami
untuk disumbangkan di sekolah itu. Kegiatan kami selanjutnya dilakukan di SD
ProgSus. Dinamai Program Khusus karena siswa disini hanya siswa kelas enam dan
merupakan siswa terbaik di berbagai sekolah dasar di kecamatan Boleng. Hal itu
kami bkuktikan dengan keberanian mereka saat kami menanyakan pertanyaan. Bahkan
sempat kami kebingungan karena semua siswa disini aktif dan mudah memahami
sesuatu. Kami juga mendengar cita-cita mereka yang beragam. Di sesi terakir
saya juga membagikan buku saya kepada siswa yang berani berbicara didepan dan
bertekad untuk meraih cita-citanya. Siang hari itu dengan berat hati kami harus
meninggalkan siswa-siswa harapan Desa Pota Wangka itu. Kami meninggalkan
balon-balon udara yang sudah diisi dengan cita-cita mereka di setiap kelas.
Pada
sore hari setelah kami bersih-bersih diri di rumah Pak Theo, kami mengadakan
kegiatan pelatihan pengoperasian komputer. Sasaran dari kegiatan ini yaitu
untuk melatih secara teknis para aparatur desa untuk mengoperasikan microroft word, microsoft excel dan
sebagainya. Dari pelatihan ini saya melihat sebenarnya aparatur desa sudah
mengetahui cara pengoperasian hanya saja kurang terbiasa, kata jawa “iso jalaran soko kulino” artinya bisa
karena terbiasa. Kegiatan itu kami lakukan bergantian hingga menjelang malam.
Diwaktu yang bersamaan di halaman rumah Pak Theo sudah berkumpul anak-anak SD
maupun SMP yang kami undang untuk penyerahan hadiah dan beberapa games menarik.
Kami juga membagikan doorprize berupa
peralatan sekolah. Kegembiraan yang terpancar dari senyuman bocah Flores
menambah haru dan bahagia kami. Rasa lelah mengajar siang tadi, luntur entah
kemana.
Seperti hari sebelumnya, dimalam hari kami
mengadakan nonton bareng beberapa
video dan film. Kegiatan itu kemudian dipandu oleh Mas Ando dan saat itu kami
memutar film Satu Hati Satu Tujuan.
Film itu menarik karena berlatar belakang Indonesia timur dan juga mengambarkan
arti kebhinekaan itu sendiri. Masyarakat malam itu semua antusias begitupun
anak-anak menghabiskan malam Minggunya disana. Kami akhirnya memetik pesan yang
ingin disampaikan pada film itu yakni meskipun banyak suku dan etnis di
Indonesia namun kita masih memiliki tujuan yang sama, mimpi yang sama, dan
tanah yang sama. Dipenutupan malam itu kami berdiskusi sejenak dan memberikan
pesan kepada masyarakat perihal kegiatan kami selama dua hari itu. Masyarakat
pula bergantian mulai dari perwakilan Toua Golo, perwakilan pemuda, perwakilan
guru untuk menyampaikan pesan kepada kami. Dimalam itu kami juga merasa bahwa
kami lah yang pantas belajar banyak kepada mereka. Belajar mengerti arti
kehidupan, meskipun terdapat beberapa “kekurangan” dalam menjalani hidup mereka
masih dapat tersenyum, bekerja, dan berkarya. Belajar arti kesederhanaan,
kekeluargaan, dan kebersamaan. Kami juga merasakan harapan-harapan yang akan
dibawa anak-anak disini, saya pribadi yakin dengan pendidikanlah bisa membuat
diri mereka menjadi manusia yang berguna dan bermanfaat.
Mas Ando(kanan) bersama Tua Golo(kiri) |
HARI
KE IV / POTA WANGKA, MINGGU – 26
FEBRUARI 2017
“PAMIT”
Hari
Minggu ini merupakan hari terakir kami di Desa Pota Wangka. Kami juga akn
melakukan kegiatan kami yang terakhir yaitu cek kesehatan gratis. Dikarenakan
hari ini adalah hari Minggu, semua warga disini beribadah di gereja. Sembari
menunggu warga selesai beribadah, kami mempersiapkan kegiatan kami ini yang
akan diselenggarakan di ruang kelas SMPN 2 Boleng. Kegiatan ini kami juga
terbatas oleh alat dan tenaga, karena di bidang kesehatan hanya Kak Nanda dan
Kak Fifit, sedang kami lainnya membantu mempersiapkan dan mendokumentasikan
kegiatann itu.
Pukul
10.00 WITA ibadah di gereja sudah selesai. Saya melihat warga disana yang
lelaki memakai songket khas Flores dengan motif-motif yang khas. Setelah itu
kami mengumumkan warga khusus yang berusia 45 tahun ke atas. Warga langsung
saja berbaris mengantri di depan kelas. Kami kemudian membagi kupon yang memuat
nama, usia, dan data kesehatan. Dalam kegiatan ini kami melakukan pemeriksaan
kesehatan dasar yaitu tekanan darah, gula darah, kolesterol, dan asam urat. Saya
melihat antusisme warga yang cukup tinggi, bahkan menurut info dari Pak Theo,
kegiatan semacam ini jarang sekali dilakukan dan juga peran dokter desa disini
masih belum maksimal. Hal itu mungkin juga dikarenakan keterbatasan tenaga.
Secara
bergantian warga bersabar menunggu giliran pemeriksaan. Saya juga melihat kak
Nanda yang melakukan pemeriksaan sendiri sedikit kualahan. Kak Arni kemudian
membantu untuk menulis hasil pemeriksaan itu di tiap-tiap kupon warga.
Berdasarkan hasil pemeriksaan kak Nanda, warga disana jika dilihat dari
kebiasaan hidup dan pola makannya, banyak juga yang kadar asam uratnya tinggi.
Hal itu karena warga disana sering mengkonsumsi kacang-kacangan. Tekanan darah
warga disana juga cukup tinggi, hal itu juga dikarenakan karena tingginya
konsumsi kopi. Memang itu juga saya alami, selama beberapa hari disana setiap
pagi dan malam serta setiap kami berkunjung ke rumah warga kami disuguhi kopi.
Berjam-jam kegiatan ini berlangsung, warga yang masih setia mengante dengan
bersabar menunggu giliran mereka. Jumlah total warga yang melakukan pemeriksaan
kesehatan ini berjumlah 47-an orang.
Akhirnya
kegiatan kami ini selesai pada sekitar pukul 15.00 WITA. Bersamaan dengan warga
pulang ke rumah, kami pun bergegas kembali ke rumah Pak Theo dan langsung saja
kami repacking barang-barang kami. Didepan
rumah Pak Theo sudah banyak warga yang menunggu kami dalam upacara perpisahan.
Begitu juga OTOKOL yang sudah stand by
untuk mengantarkan kami ke kota.
Perwakilan
Tua Golo menggiring kami ke dalam rumah Pak Theo. Kami kemudian melakukan
upacara adat untuk pelepasan sekaligus perpisahan. Upacara itu teknisnya sama
persis dengan saat upacara penyambutan kami. Dengan bahasa daerah kami diwakili
mas Ando yang isinya permohonan maaf dan ucapan terimakasih telah menerima kami
dengan baik. Akhirnya ada pertemuan maka selalu akan ada perpisahan. Dengan
berat hati kami harus berpisah dan mengakhiri kegiatan pengabdian kami ini.
Rasa haru menyelimuti sore itu. Saat kami keluar rumah sudah berbaris warga
yang melepas perpisahan kami ini. Kami menyalami satu persatu warga yang ada di
sore itu, tak terkecuali anak-anak kecil. Saya pribadi menyadari bahwa sore ini
adalah hal paling berat selama kegiatan disini. Terakhir kami akhrinya foto
bersama di bawah tugu salib di depan rumah Pak Theo. Kami lantas naik OTOKOL
dan lambaian tangan warga Pota Wangka mengiringi deru mesin truk itu membawa
kami ke kota. Anak-anak yang bermain di lapangan bola berteriak dan melambaikan
tangannya saat kami melintasi mereka. Sebaran padang rumput hijau itu kini
hanya dapat kami lihat dari gallery
handphone kami. Jalan yang mengombak-ombak kami hadapi di malam perpisahan
ini. Yaa, hanya terimakasih, terimaksih dan terimakasih yang dapat kami
sampaikan. Kami sampai di kota pada pukul 20.30 WITA di rumah saudari mas Ando
kami bersantap malam dan melakukan evaluasi kegiatan kami. Tidak banyak yang
dievaluasi karena kami telah banyak belajar arti kehidupan yang pasti
Mau
tidak mau kami harus meninggalkan tempat itu. Harus kembali dekat dengan gadget dan disibukkan dengan hiruk-pikuk
perkotaan. Tidak lagi kebungungan karena sinyal dan listrik. Mendengar lagi
suara bising kendaraan 2 tak. Memahami kembali arti kebhinekaan yang selama
empat hari itu kami rayakan. Mendengar kembali pidato-pidato pemimpin bangsa
yang katanya masih peduli dengan rakyat. Yah memori Pota Wangka kini menjadi core memory di dalam pikiran dan benak
kami. Tak akan terlupakan selama hidup kami. Juga, jika masih diberi umur
panjang dan kesempatan kami memiliki misi yang sama di berbagai daerah lagi.
Dikarenakan juga belajar di ruang kelas tidak lah cukup !, bahkan kurang. Kita
hanya mempelajari diktat, buku dan materi-materi sedangkan jauh disana masih
banyak orang yang hidup dengan keterbatasan. Saya pribadi menjadi lebih
memahami arti kesederhanaan, yang mana itu menjadi kata motivasi saya dalam
bahasa Jawa “Urip kang prasojo lan
migunani liyan” yang artinya Hidup apa adanya dan berguna bagi orang lain. Karena
mengabdi itu dari hati, tidak ada eksistensi yang dicari, apa lagi kesombongan
diri. Semoga masih banyak pemuda-pemuda Indonesia yang mau peduli dan mengabdi,
tidak hanya sibuk dengan urusan duniawi. Juga pemerintah yang memiliki jasa,
harus bisa memenuhi hak-hak warganya, tidak hanya disibukkan dengan Jakarta,
namun juga harus melirik Pota Wangka dan lainnya.
Foto by : Mas Reyhan ( matur nuwun mas)
Komentar
Posting Komentar