Langsung ke konten utama

“MENGABDI DARI HATI UNTUK NEGERI “

CATATAN PERJALANAN PENGABDIAN BERSAMA YOUCAN EMPOWER DI DESA POTA WANGKA, KECAMATAN BOLENG, MANGGARAI BARAT

NUSA TENGGARA TIMUR.




YOUCAN EMPOWER batch 1.
            Pemuda dalam kehidupannya sudah barang tentu disibukkan dengan aktivitas yang beragam. Mulai dari menuntut ilmu, berkarya, bekerja, dan mengabdi. Bahkan kini dengan adanya perkembangan teknologi komunikasi, seorang pemuda dapat dengan mudah mencari dan mengikuti berbagai kegiatan baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
            Kegiatan kepemudaan kini yang banyak mendapat perhatian adalah kegiatan yang bergerak pada pengabdian masyarakat di daerah pelosok. Hal itu disebabkan karena banyak dari pemuda kini mulai berkeinginan untuk membantu (mengabdi) sesama dan jenuh dengan kehidupan perkotaan. Salah satu kegiatan pengabdian masyarakat itu adalah “YOUCAN EMPOWER”. Kegiatan ini diselenggarakan pertama kalinya oleh organisasi kepemudaan yaitu Youth Center to Action for Nation ( YOUCAN ) INDONESIA. Organisasi ini juga baru berdiri tepatnya pada 19 April 2016. Fokus utama organisasi ini memang pada pemberdayaan pemuda untuk berkomitmen dan berkontribusi untuk negeri.
            Atas dasar kepedulian untuk mengabdi di pelosok negeri itulah yang kemudian menginisiasi YOUCAN INDONESIA untuk menyelenggarakan kegiatan YOUCAN EMPOWER ini. YOUCAN EMPOWER kali ini merupakan kegiatan pengabdian yang pertama kali diselenggarakan oleh YOUCAN INDONESIA yang sebelumnya organisasi ini hanya menyelenggarakan kegiatan pertukaran pelajar di luar negeri. Pada awal pendaftarannya kegiatan ini mendapat antusias yang tinggi dari para pemuda Indonesia untuk mendaftarkan diri. Mulai dari proses pendaftaran tercatat sejumlah 5992 orang yang mendaftar hingga hanya terpilih 49 orang yang diterjunkan ke lokasi pengabdian.
          Kegiatan YOUCAN EMPOWER tidak hanya dilaksanakan di satu tempat pengabdian. Terdapat empat lokasi penerjunan pengabdian, yaitu Labuan Bajo, Raja Ampat, Lombok, dan Lebak Muncang. Sebelum diterjunkan di empat lokasi yang berbeda, semua peserta terpilih melakukan pelatihan di D.I. Yogyakarta pada bulan Desember untuk mempersiapkan program-program yang akan dilakukan di lokasi penerjunan. Peserta yang terpilih terdiri dari berbagai disiplin ilmu dan dibagi menjadi tiga bidang pengabdian yang berbeda, yaitu pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Saat pelatihan peserta pengabdian mendiskusikan mengenai gambaran akan program yang dilaksanakan disana. Program yang ditawarkan peserta juga bragam dari kelas inspirasi, pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan pelatihan kewirausahaan, cek kesehatan gratis, dan masih banyak lagi.
       Di sesi pelatihan ini semua peserta menjadi semakin akrab dengan beberapa kegiatan yang telah disusun oleh panitia. Kegiatannya seperti memasak bersama dengan alat seadaanya, outbond, pemaparan materi oleh beberapa tokoh, dan sebagainya. Peserta pada YOUCAN EMPOWER batch 1 ini selain berasal dari berbagai disiplin ilmu, mereka juga berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari dokter, insinyur, dosen, dokter hewan, penulis, mahasiswa, dan lainnya. 

Semua peserta terpilih saat pelatihan di Jogjakarta

KOMPAK DENGAN TIM “KOMODO”.
            Saat proses pendaftaran diatas, calon peserta harus mengisi lokasi penerjunan saat pengabdian. Saya saat itu tertarik untuk memilih di Labuan Bajo karena selain disana memiliki kekayaan alam yang indah, juga terdapat habibat hewan endemik Indonesia yang juga masuk dalam keajaiban dunia, yaitu komodo dan memang saya sudah menuliskan impian saya untuk pergi ke Indonesia timur. Hingga fase pelatihan tim kami terdiri dari tiga belas orang terpilih, yaitu :
  • 1.      Ade Wahyudi ( ITB / Bandung )
  • 2.      Arni Nur Laila ( UM / Banyuwangi )
  • 3.      drh. Fifit Natalia Kamal ( UNAIR / Palembang)
  • 4.      Muhamad Taisar ( ITB / Pulau Buton)
  • 5.      Muhammad Reyhan Florean ( UNESA / Tulunggagung )
  • 6.      Oktafiani Tri Ananda ( UNAND / Padang )
  • 7.      Tanya Tamara ( UNDIP / Semarang )
  • 8.      Yunaz Ali Akbar Karaman ( UNAIR / Malang )
  • 9.      Zhavirra Noor Rivdha ( UB / Malang )
  • 10.  Parlaungan I. Nasution/Ucok ( UNAIR/ Pamekasan)
  • 11.  I Dewa Gede Ari S ( UNAIR / Bali )
  • 12.  Muhammad Ari Purnama A ( IPB / Bogor )
  • 13.  dr. Andre ( UNPAD / Jakarta).


Meskipun dintara kami ada yang se kampus namun sebelumnya kami tidak pernah bertemu satu sama lain. Kami semua baru bertemu pada fase pelatihan di Yogyakarta. Pada awalnya atau saat perkenalan kami masih malu-malu, terkesan serius dan masih membawa idealismenya yang kuat. Namun sering kali kami juga bercanda gurau. Pada sesi hari terakhir pelatihan, kami menyusun program yang akan kami laksanakan di Labuan Bajo. Program yang kami tawarkan merujuk pada tiga bidang yang ada yaitu pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Bidang pendidikan kami akan melakukan kelas insprasi yaitu dengan memotivasi anak-anak SD-SMP disana dengan gambaran berbagai profesi, pohon cita-cita, nonton bareng film sejarah atau edukasi, dan taman baca “KOMODO”. Pada bidang ekonomi kami memiliki program yaitu pelatihan kewirausahaan warga dengan menggunakan potensi alam yang ada di desa. Terakhir adalah bidang kesehatan yaitu dengan cek kesehatan gratis. Dari panitia kami akan diterjunkan pada awalnya di Desa Nggorang, namun beberapa minggu kemudian lokasi kami diganti yaitu di Desa Pota Wangka yang memang masih butuh perhatian khusus.
Kebersamaan kami lalu dilanjut dengan dibentuknya grup di whatsapp. Hal itu dilakukan karena kami tidak mungkin untuk bertatap muka secara langsung lagi karena tempat tinggal kami yang berjauhan dan karena kesibukan kami. Ketua dalam tim Komodo ini adalah mas Aji dari IPB. Pada awalnya ia lah yang memotori agar segera membuat promosi atau kerjasama dengan pihak luar untuk membantu terlaksananya kegiatan kami dan ia juga membuat desain yang menarik untuk program yang akan kami lakukan. Kami setiap malam di hari yang telah dijadwalkan membahas kembali apa saja yang masih belum di siapkan. Masalah teknis sedetail-detailnya hingga menghubungi panitia yang salah satunya berasal dari lokasi penerjunan. Bahkan kami juga sempat belajar bahasa daerah Labuan Bajo. Diskusi itu akhirnya selalu memberikan poin-poin penting yang harus kami lakukan sebelum penerjunan.
Seiring berjalannya waktu, seleksi alam dan rencana Allah memang tidak bisa ditolak. Suatu malam, dr Andre mengumumkan pada kami bahwa ia harus mengundurkan diri dalam penerjunan kali ini, karena saat pelaksanaan kegiatan bertepatan dengan ia masuk awal kuliah spesialis yang diambilnya. Sebagai tim kami menyayangkan hal itu, karena disisi lain dr Andre sudah beberapa kali ikut dalam kegiatan semacam ini, seperti EKSPEDISI NUSANTARA dan lainnya. Karena kami tidak bisa menolak hal itu, jadi kami harus kehilangan satu tenaga. Saat diskusi malam dilain hari, mas Aji juga mengabarkan bahwa ia juga tidak bisa mengikuti kegiatan ini, karena ia sebelumnya sudah diterima magang di perusahaan Yukiguni Maitake di Jepang selama enam bulan lamanya. Bahkan ia sudah mendapat visa untuk magang disana. Kami mendengar hal itu sontak saja terkejut bahagia, karena mas Aji adalah ketua tim kami dan harus tidak bisa melanjutkan kegiatan pengabdian. Terakhir adalah mas Ade dari ITB yang juga mengundurkan diri karena ada kesibukan di kampus. Begitupun mas Ucok yang juga harus izin karena ia baru saja mengikuti kegiatan serupa dari kampusnya.
Personil kami kini tinggal delapan orang. Itu pun setiap bidang kami merasa tidak seimbang, bahkan bidang ekonomi hanya mas Dewa seorang. Namun, kemunduran beberapa anggota tim kami tidak menyurutkan semangat kami untuk mengabdi. Bahkan kami tetap dengan gencar melakukan diskusi dan persiapan seperti pembelian tiket pesawat sampai hadiah yang akan diberikan pada anak-anak disana. Mas Aji meskipun telah mengundurkan diri dan sekarang berada di Jepang, ia masih sering muncul dalam diskusi bahkan membantu memecahkan beberapa masalah di tim kami. Alhasil kami memilih ketua tim baru yaitu mas Reyhan yang juga memiliki pengalaman dalm bidang ini. Ia pernah menjadi peserta MENYAPA NEGERIKU beberapa waktu lalu di daerah Teluk Bintuni, Papua Barat yang diselenggarakan oleh MENRISTEKDIKTI.
Di beberapa minggu sebelum penerjunan, Mas Ando sebagai panitia yang berasal dari Labuan Bajo juga, ikut berdiskusi dan menggambarkan beberapa keadaan fisik di daerah penerjunan. Mas Ando kini tengah berkuliah di Universitas Udayana, Bali dan merupakan putra daerah Flores. Kami semakin yakin dengan program yang kami usulkan setelah mas Ando kemudian menambahi beberapa hal yang dirasa dibutuhkan di laksanakan disana. Mas Ando juga menjelaskan kenapa lokasi penerjunan kami diubah, karena di lokasi awal penerjunan yaitu di Desa Nggorang, masyarakatnya sudah banyak yang dialiri listrik 24 Jam dan lebih dekat dengan pusat kota Labuan Bajo, sedangkan desa Pota Wangka yang kemudian merupakan lokasi penerjunan kami lebih membutuhkan perhatian semacam ini, karena berbagai hal seperti keadaan masyarakatnya, fasilitas disana, dan pendidikannya.


HARI I / BALI-LABUAN BAJO, KAMIS - 23 FEBRUARI 2017
“TERBANG BERSAMA HINGGA PENYAMBUTAN YANG RAMAH”
            Tak terasa hari penerjunanpun di depan mata. Segala persiapan telah kami lakukan, begitupun keperluan akomodasi dan transportasi pribadi kami. Semua tim kami berangkat dari lokasi masing-masing menuju Labuan Bajo yaitu dengan pesawat terbang. Karena menuju Labuan Bajo harus transit di bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali, kami menjadwalkan untuk bertemu sejenak di bandara pada siang hari. Saya dan mas Dewa saat itu sudah stay di Bali, jadi kami berdua langsung menyusul kedatangan teman lain yang sudah lebih dulu transit di bandara. Saya dan mas Dewa berangkat menuju bandara pada pukul 11.00 WITA. Kami membawa sebagian hadiah yang akan dibagikan anak-anak disana, bahkan lumayan banyak ,untung saja kami bagi barang itu untuk dimasukkan ke dalam kardus. Saat kami berdua check in di bandara, kami bertemu dengan mas Ade. Dia adalah peserta pengganti yang ikut dalam pengabdian kali ini. Dia adalah masasiswa aktif teknik sipil Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta semester empat. Akhirnya kami berbincang lama dan mas Ade menjelaskan kenapa ia menjadi peserta pengganti. Setelah itu kami membeli roti untuk sekadar mengganjal perut. Teman-teman yang lebih dulu transit kemudian menguhubungi kami agar cepat menuju ruang tunggu dan untuk membincangkan sedikit program yang telah jadi.
            Di gate lima kemdian kami semua bertemu. Wajah kami tidak berubah meskipun hampir satu bulan setengah kami tidak saling bertemu. Kami kemudian lupa untuk membahas program, kami malah bercanda gurau melepas kelelahan kami sambil menunggu pesawat kami yang delay. Kami terpisah dalam dua pesawat yaitu masakapai NAM AIR dan WINGS AIR hanya saja berselang satu jam keberangkatan. Saat itu pesawat kami mulai take off pukul 14.50 WITA. Pesawat yang digunakan dalam rute ke daerah seperti Labuan Bajo menggunakan pesawat yang berukuran kecil, mungkin menampung enam puluh orang. Diketinggian kami disuguhkan gugusan pulau hijau yang sangat indah. Ditambah dengan warna gradasi laut, semakin memanjakan mata kami. Dari atas saya menyadari bahwa, kita memang hanyalah seonggok daging yang punya nama, kita semua sama, tujuan kita sama, kita memiliki hati yang sama, kita punya bendera yang sama, saya juga menyadari bahwa saya masih di Indonesia.





            Kami sampai di Bandara Komodo satu jam kemudian. Kondisi Bandara Komodo menurut saya sudah bagus jika dilihat dari bangunan yang terbilang baru. Turun dari pesawat saya langsung merasakan hawa panas yang khas dan berbeda dari panasnya kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Langit yang cerah di sore itu akhirnya kami memutuskan untuk langsung menuju kedalam dan menunggu barang di bagasi. Seorang panitia yang lebih dulu menuju lokasi, mas Habibi sudah menunggu kedatangan kami. Ia baru saja menyelesaikan kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan ia adalah anak Minang. Kami akhirnya istirahat sejenak, bahkan mas Dewa langsung saja mencharger handphonenya. Saya lihat di pintu keluar sudah banyak pemuda yang menjajakan jasa nya sebagai rental mobil, taksi, ataupun biro travel. Dengar-dengar banyak yang bilang bahwa harga paket wisata, makanan dan lainnya normalnya di Labuan Bajo cukup mengguras kantong. Namun jika sudah memiliki jaringan atau mengguhubgi jauh-jauh hari, bisa juga untuk dinego harga disana.




            Kloter pertama kami akhirnya menuju rumah saudari mas Ando, yang tergolong dekat dengan Bandara Komodo. Untuk menuju kesana kami sudah dipesankan bemo. Bemo disana tidak berbeda dengan bemo atau angkot yang ada di kota besar. Namun sepanjang perjalanan di dalam bemo itu dimainkan musik hip-hop dengan volume yang hampir menyobek gendang telingga. Butuh waktu lima belas menit kami akhirnya sampai di rumah saudari mas Ando. Karena masih di kota, sinyal dan listrik disini masih terjamin.
            Keluarga mas Ando kemudian menyambut kami dengan gembira. Bahkan kami dibuatkan teh hangat dan disajikan kue “KOMPYANG”. Kue ini pertama saya temui di Labuan Bajo, jika dilihat bentuk fisinya sangat mirip dengan bakpao dengan biji wijen diatasnya. Namun tidak memiliki isi hanya saja kue ini padat dan rasanya khas, apalagi jika dicelupkan dengan teh hangat. Saya hanya makan satu setengah saja sudah terasa kenyang, kue ini saya sarankan untuk dicoba saat ke Labuan Bajo. Setengah jam kemudian kloter kedua tim kami sampai juga. Mereka kemudian istrirahat sejenak dan menikmati enaknya roti KOMPYANG juga. Karena perbedaan waktu yang cukup banyak, disini jam saya sudah menunjukan pukul 18.00 WIB yang berarti 19.00 WITA, namun langit disini masih terang bahkan kami juga mengintip langit oranye sore.


Kue Kompyang

            Dari rumah saudari mas Ando menuju Desa Pota Wongka dibutuhkan sekitar 2 – 3 jam dan berjarak sekitar 50-60 km. Untuk menuju Desa Pota Wongka juga tidak bisa dilalui sembarang kendaraan, karena jalur yang sangat menantang ditambah lagi penerangan jalan sangat minim. Hanya ada satu angkutan yang biasa digunakan warga yaitu “OTOKOL”. Secara umum bentuk kendaraan ini adalah truk. Hanya saja dibagian bak truk dimodifikasi dengan ada tambahan bangku dari kayu yang cukup untuk menampung hingga dua belas orang lebih. Secara dominan warna OTOKOL adalah hijau, namun juga terdapat beberapa ornamen yang sengaja dicat merah muda, kuning, dan merah. Truk yang digunakan hampir semua memiliki plat nomor “B”, yaitu Jakarta. Jadi truk yang digunakan untuk OTOKOL dibeli murah dari Jakarta.

OTOKOL in action



            Untung saja saat perjalanan menuju Desa Pota Wangka saat itu malam hari. Jadi kami tidak dapat melihat betapa extremenya jalan menuju desa itu. Sering kali OTOKOL bergoyang-goyang, masuk lubang kanan kiri melintasi aliran sungai dan sebagainya. Sepanjang perjalanan saat terlepas dari jalan aspal provinsi, jalan sudah banyak yang rusak. Banyak sekali lubang dan tergenang oleh air. Sepanjang perjalanan hanya lampu depan OTOKOL yang menjadi sumber pencahayaan utama. Tidak ada sama sekali pencahayaan di sepanjang jalan. Namun itu tidak membuat kami patah semangat, malah kami disuguhi dengan gugusan bintang yang jarang kami temui di tempat tinggal kami. Kami juga mengalami insiden saat akan sampai di Desa Pota Wangka, ban depan OTOKOL yang kami tumpangi pecah ! Kami langsung saja turun di depan rumah warga yang juga memiliki kios. Menurut sopir pecahnya ban disebabkan oleh paku. Beberapa orang yang ikut dalam OTOKOL kemudian membantu dan mengganti ban depan dengan ban cadangan yang dibawa. Memang saat OTOKOL beroperasi selalu membawa awak yang lebih dari dua orang, fungsinya saat terjadi kejadian semacam ini agar bisa membantu dengan cepat. Kami turun kemudian diberitahu bahwa di tempat kami pecah ban terdapat beberapa sumber daya arkeologis, yaitu fosil kayu. Kemudian ada warga yang mengajak kami melihat lokasi penemuan dan pesebaran fosil itu. Memang saya lihat sepintas itu adalah batu, karena kepadatan dan sangat keras. Namun jika dilihat lebih detail lagi di permukaannya terdapat serat-serat kayu bahkan di kulitnya masih jelas terbentuk seperti kayu. Warga disana banyak yang menggunakan fosil itu sebagai alat rumah tangga dan bangunan. Saya sebenarnya tertarik untuk lebih dalam mengetahui bagaimana atau asal usul fosil tersebut. Teman-teman lain langsung saja memotret untuk mengabadikan momen langka ini.     Selama hampir satu jam kami menunggu untuk penggantian ban OTOKOL. Sembari menunggu beberapa teman juga coba membeli camilan di kios itu. Saya juga terkejut bahwa harga di kios ini tidak berbeda dengan harga di Surabaya. Seperti harga sebungkus mie instan harganya sama yaitu Rp.2.500,-, begitupun harga bahan kebutuhan yang lain.

Fosil kayu

            Hampir selama satu jam kami menunggu akhirnya selesai juga penggantian ban OTOKOL. Lalu kami melanjutkan perjalanan kami, ternyata jalan yang rusak kembali kami lalui dan tidak jauh kami melihat cahaya lampu pelita di dalam rumah. Tak jauh kemudian saya melihat ada tanjakan yang ternyata itu adalah tanjakan terakir menuju rumah kepala desa, Desa Pota Wongka. Kami melihat sebuah tenda dari bambu dan terpal sangat sederhana. Kursi plastik aneka warna juga sudah tertata rapi. Ditambah sound system yang dipasang di pojok depan rumah pak Kades. Setelah sampai kami langsung turun dari OTOKOL dan warga pun manyambut dengan ramahnya dan menyalami kami satu per satu. “Selamat Datang”, “Selamat Malam” saya dengar bergantian dari mulut warga Desa Pota Wangka. Kami langsung digiring menuju ruang tengah rumah pak Kades yang bernama Pak Theodorus Talin. Susana suka cita kami semua rasakan saat itu ditambah dengan hawa super sejuk malam itu.
            Di ruang tengah sudah berkumpul tokoh masyarakat, perangkat desa, hingga Tua Golo atau tetua adat Desa Pota Wongka. Mereka hampir semua menggunakan kopiah / songket dengan motif khas, bahkan ada motif yang berbentuk komodo dan juga menngunakan sarung tenun. Dalam malam itu kami diterima dengan upacara adat. Mas Ando sebagai putra daerah dan satu-satunya dari kami yang bisa bahasa daerah disana mewakili kita. Tua Golo kemudian mengucapkan beberapa kalimat dengan bahasa daerah yang mana intinya adalah menanyakan kedatangan kami. Bersahut-sahutan Mas Ando dan Tua Golo. Bahkan dalam dialog mereka di akhirnya Tua Golo menyerahkan sejumlah uang dan sebotol minuman untuk melengkapi penyambutan kedatangan kami.
Penyambutan oleh warga dengan upacara adat




            Acara adat penyambutan kami di dalam rumah baru saja selesai. Dilanjutkan dengan makan malam bersama dan pengenalan lebih dalam dan diskusi dengan warga terkait program yang akan kami lakukan selama tiga hari kedepan. Di depan halaman rumah pak Theo, sudah disajikan sebaskom nasi , sayur dari daun singkong, urap-urap dari jantung pisang, ikan tengiri bumbu kuning, dan ayam goreng, dan sambal khas disana yang rasanya sangat pedas meski hanya mencicipi di pucuk sendok. Berdasarkan informasi disana, bahwa jika ada tamu yang datang maka upacara adatnya adalah menyembelih ayam. Ibu-ibu dan warga disana mengetahui bahwa anggota tim kami ada yang beragama Islam dan menyuruh kami yaitu mas Reyhan untuk menyembelih ayamnya. Disinilah saya merasakan arti toleransi dan kebhinekaan yang sebenarnya bisa dilaksanakan dengan cara-cara sederhana.
            Sembari makan di malam pertama ini, kami kemudian memperkenalkan diri lebih lanjut di depan rumah pak Theo. Dilanjutkan dengan perwakilan dari masing-masing bidang kami untuk menawarkan program yang selama tiga hari kedepan. Selesai kami memaparkan program yang juga sudah rampung, kami juga ditawari beberapa kegitan oleh pak Theo yaitu untuk mengunjungi beberapa lokasi diantaranya rumah adat “Gendang”, lokasi longsor, dan ikut dalam kerja bakti warga. Akhirnya karena dirasa sudah cukup malam dan beberapa dari kami sudah menampakkan wajah yang kusut, pak Theo memperseilahkan kami beristirahat di rumahnya, awalnya kami akan dibagi ke beberapa rumah warga namun karena pertimbangan suatu hal kami semua menjadi satu di rumah pak Theo yang cukup luas itu.
          
HARI II / POTA WANGKA, JUMAT – 24 FEBRUARI 2017
“PROSESI WA’U WAE DAN HABIBIE-AINUN”
            Kami mengawali hari yang berkah ini dengan mengigil kedinginan. Disini hawa pagi harinya sangat dingin, bahkan jika seperti di tempat tinggal saya di Malang, masih dingin di Pota Wangka. Bahkan beberapa dari kami setelah menunaikan sholat Shubuh kembali lagi menyelimuti tubuhnya dengan sarung. Hawa ini kami rasakan lama hingga kami bergantian untuk mandi. Sebelum beraktivitas kami mengisi tenaga dengan menu yang hampir sama dengan makan malam kemarin, yaitu sayur daun singkong, ikan asin, dan sambal yang mantap !
            Pagi ini kebetulan terdapat upacara adat yang disebut “wa’u wae”. Upacara adat ini dilakukan oleh pasangan pengantin baru untuk membasuh badan setelah selama empat hari mereka tidak dibolehkan untuk mandi dan keluar dari kamar. Hal ini merupakan momen langka bagi kami, setelah itu langsung saja kami menadatangi rumah warga yang melaksanakan upacara itu. Seperti biasa setelah kami duduk kami disuguhi kopi dan teh panas. Dirumah warga itu juga sudah berkumpul beberapa tokoh adat. Beberapa menit kemudian pasangan pengantin yang akan melakukan prosesi upacara adat menuju ruang tamu dengan lengkap menggunakan pakaian daerah. Kemudian kami berjalan menuju aliran sungai yang tidak terlalu jauh dari rumah tadi. Dalam prosesi wa’u wae ini pasangan pengantin lalu mengganti pakaian mereka dan dimandikan oleh Tua Golo. Cara memandikannya pun pertama diguyur oleh air kelapa dengan kelapa di pecah diatas mereka, kemudian kelapa yang terbelah itu dilemparkan begitu saja kedepan pasangan pengantin itu. Posisi jatuhnya kelapa itu diyakini warga yaitu untuk menentukan jenis kelamin anak pengantin itu nantinya. Jika batok kelapa terkelungkup maka anaknya diramalkan akan berjenis kelamin laki-laki begitupun sebaliknya. Hal itu dilakukan berulang-ulang oleh Tua Golo, hingga akhirnya kelapa itu dapat kami makan.





Rumah panggung dari kayu


Tugu Salib di dekat rumah Pak Theo



            Usai melakukan upacara adat wa’u wae, kami kemudian langsung menuju lokasi kerja bakti warga dan menuju rumah Gendang. Setiap rumah yang kami lalui warganya selalu keluar rumah untuk menyapa dan menyalami kami. Saat itu juga ada warga yang sedang menumbuk kopi dengan cara tradisional. Kamipun terhenti dan mencoba bergantian menumbuk kopi itu. Di hampir setiap rumah di halaman depannya digunakan untuk menjemur kemiri. Banyak warga yang menggunakan kemiri untuk bahan masakan. Sampai ditengah perjalanan kami kemudian berpapasan dengan pak Camat, yang bernama pak Bonaventura AB, S.Pd. Dengan pakaian dinas lengkap menggengam tongkat komando, ia diantar menggunakan sepeda motor. Kemudian kami bersalaman dan beliau memang bertujuan untuk menemui kami, karena kemarin malam kendaraan dinas beliau rusak dan sudah terlalu malam. Pak Bona dengan senang hati lalu menceritakan banyak sekali fakta-fakta dan hal menarik tentang Pota Wangka bahkan tentang Manggarai Barat. Beliau menghabiskan masa mudanya untuk merantau dan menuntut ilmu di Makassar, kemudian beberapa tahun lalu beliau kembali ke kampung halamannya dan beliau kemudian dipercaya menjadi Camat, di Kecamatan Boleng ini. Beliau juga kebetulan masih saudara dengan mas Ando.
Bapak Bonaventura AB, S.Pd. Selaku camat di kecamatan Boleng

Rumah Gendang

            Perbincangan kami kemudian dilanjutkan sambil berjalan menuju lahan warga yang sedang akan digarap. Selama berjalan itu saya mencoba merekam ucapan-ucapan beliau, karena beliau banyak menceritakan perihal budaya dan sejarah di Labuan Bajo secara detail. Saya kemudian tertarik saat beliau menceritakan mengenai tarian “caci”. Beliau mengungkapkan bahwa tarian caci merupakan budaya khas Flores dan merupakan salah satu potensi budaya dan pariwisata. Secara filosofis tarian ini sarat makna. Bahkan setiap gerakan dan nyanyiannya merupakan gambaran kehidupan manusia. Walaupun terdapat unsur kekerasan ( main cambuk ) dalam tarian ini namun hal itu malah memiliki arti sportifitas, saling toleransi, saling menghormati, dan merupakan jiwa kepahlawanan. Dialog kami ini kemudian diteruskan saat berada di rumah adat Gendang. Sampai di rumah adat Gendang yang berlokasi di tengah lapangan cukup luas dengan terdapat patung Bunda Maria dan batu kuno sebagai sarana penggamabaran alam roh.  Bentuk rumah Gendang kini sudah mengalami renovasi, atapnya sudah menggunakan seng dan sudah dipaku. Menurut ucapan Pak Bona dulu rumah Gendang dibuat secara tradisional dengan tidak ada kayu untuk menyambungkan tiap kayu dan atapnya dulu berasal dari ijuk yang diikat. Didalam Rumah Gendang sebagai alas sudah terjajar rapi semacam “bantal” dengan kapas alami didalamnya yang dibungkus semacam karung. Di atap-atap Rumah Gendang juga terdapat perlengkapan tarian Caci dan perlengkapan adat lainnya. Disana saya melihat pecut yang digunakan dalam tarian caci adalah berasal dari kulit kerbau. Begitupun tameng dan perlengkapan lainnya. Siang itu kami disuguhi air kelapa yang masih segar lengkap di dalam batok kelapa. Karena perjalanan yang cukup menguras tenaga, kami langsung lahap untuk menghabiskan kelapa segar yang jarang kami jumpai di perkotaan itu. Perjumpaan kami dengan tokoh adat beserta Pak Bona selaku Camat disana diisi dengan cerita Pak Bona tentang cerita daerah Flores tepatnya Manggarai dan Pota Wangka. Jika ditinjau dari sejarahnya Manggarai Barat dulunya merupakan salah satu lokasi tujuan diaspora masyarakat dari beberapa suku. Perjalanan sejarah itu juga saya banyak mendengar berasal dari legenda setempat, seperti arti desa Pota Wangka, “Pota” yang artinya melihat dan “Wangka” yang artinya perahu. Memang secara geografis letak Desa Pota Wangka memiliki ketinggian diantara desa lain, sehingga dulu digunakan untuk mengintai perahu yang datang dari luar pulau.


Nampak dari jauh gereja


Kemiri yang dipanaskan


            Akhirnya perbincangan kami selesai dan kami berpamitan untuk kembali ke rumah Pak Theo untuk melakukan kegiatan kami selanjutnya. Dalam perjalanan pulan itu, anak-anak desa yang sudah pulang dari sekolah membuntuti kami dan mengajak kami bermain sepanjang perjalanan. Keceriaan anak-anak yang jauh dari genggaman gadget itu menambah semangat kami untuk mengabdi. Kamipun sampai di rumah Pak Teho pada sore hari dan langsung menyiapkan program pembinaan ekonomi warga dengan membuat minyak kemiri secara sederhana. Kami berbagi tugas, ada yang memecah kemiri, ada yang menggerus kemiri. Kegiatan itu dengan ceria kami lakukan. Bahkan mungkin ini yang pertama dan terakhir bagi kami untuk membuat minyak kemiri secara tradisional. Setelah biji kemiri yang digerus halus selesai, langkah selanjutnya adalah merebus gerusan itu untuk agar tidak ada uap airnya. Dan pada malamnya mas Reyhan bertugas untuk mngaduk-aduk rebusan kemiri itu untuk ditiriskan hingga keluar minyak kemiri. Warga Pota Wangka, terutama ibu-ibu yang melihat kegiatan kami, memiliki keinginan untuk membuat lebih minyak kemiri itu, meskipun belum teruji namun setidaknya kami memberikan pelatihan guna memanfaatkan hasil alam disana.
            Malam hari sesuai jadwal kami mengadakan nonton bareng video anak dan film sejarah. Berdasarkan informasi bahwa di Desa Pota Wangka terkair kali melakukan kegiatan ini yaitu sejak tiga puluh tahun lalu ! Mendengar hal itu saya pribadi merasa bersyukur karena masih diberikan banyak kesempatan Allah untuk melakukan hal yang sama. Dengan senang hati saya membuka kegiatan itu. Tak heran banyak pemuda, anak-anak, dan warga dari desa sebelah yang juga ikut menyaksikan pada malam itu. Kami menggunakan punggung banner dan proyektor untuk bisokop dadakan itu. Sorotan lampu dari proyektor pada malam itu menjadi satu-satunya penerangan. Lalu kami melihat secara bergantian yaitu video cerita anak seperti Malin Kundang, Lutung Kasarung, Bawang Merah dan Bawang Putih, serta video mengenai sejarah singkat Bangsa Indonesia. Suara teriakan dan tawa anak-anak malam itu membuat malam itu semakin ramai. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WITA dan anak-anak diutus untuk pulang kerumah karena esok hari mereka masih masuk sekolah. Sedangkan pemuda dan warga lainnya masih bertahan duduk di kursi plastik dengan sarung yang mlilit tubuh mereka. Sembari kemudian kami makan malam di rumah pak Theo, kami memainkan film “Habibie dan Ainun” yang sudah rilis di tahun 2012 lalu. Rupanya film ini pertama kali dilihat oleh warga disana pada malam itu. Kami yang melihat dari dalam rumah menyaksikan mereka khidmat dalam menonton film itu. Dengan durasi hampir dua jam, kemudian film itu berakhir. Waktu menunjukan pukul 23.30 WITA sembari kami membereskan proyektor dan laptop, kemudian kami dihampiri beberapa warga yang terkesan dengan film biografi presiden ketiga itu. Bahkan salahs seorang guru mengapresiasi kegiatan kami itu dan berusaha membuka mata warga desa Pota Wangka agar bisa menjadi orang sukses dan berpendidikan seperti Presiden Habibie. Malam itu berakhir dengan suka cita, kemudian kami mempersiapkan kegiatan untuk besok dan mulai beristirahat. 
Nobar film anak



HARI KE III /  POTA WANGKA, SABTU – 25 FEBRUARI 2017
“ TIDAK ADA YANG LEBIH INDAH SELAIN PENDIDIKAN DAN CITA-CITA”
            Dihari ketiga ini kami memfokuskan kegiatan pengabdian kami yaitu pada pendidikan. Di Desa Pota Wangka terdapat satu SD yaitu SDK Wangkung, satu SD Program Khusus (Progsus, khusus siswa kelas enam terbaik di kecamatan Boleng) dan satu SMP yaitu SMPN 2 Boleng. Di hari Sabtu ini semua siswa sudah diberi tahu bahwa akan ada kegiatan yang diisi oleh kami. Kegiatan ini difokuskan di satu tempat yaitu di gedung SMPN 2 Boleng. Jarak yang tidak terlalu jauh dengan rumah Pak Theo membuat sekolah ini mudah dijangkau dan bertempat di tengah lapangan dan dekat dengan Gereja.
            Pertama-tama kami mendapatkan sambutan oleh guru dan kepala sekolah yang semuanya berjumlah enam orang. Kebanyakan dari mereka adlaah putra daerah dan baru saja diangkat menjadi guru disana. Ruang guru yang sangat sederhana dengan dua almari kayu didalamnya. Diatas meja juga bertumpuk prakarya siswa dan beberapa soal-soal try out Ujian Nasional untuk siswa kelas sembilan. Pak Marcelinus Victor sebagai kepala sekolah kemudian menyambut kedatangan kami dengan baik. Dalam sambutannya beliau kemudian mngharapkan kegiatan ini untuk terus dilakukan, bahkan menurut beliau jarang sekali ada kegiatan semacam ini. Beliau juga mengapresiasi kami yang juga berasal dari berbagai daerah di Indonesia, berbagai kampus, dan berbagai disiplin ilmu.
            Kami terbagi menjadi dua kelompok yang akan mengajar siswa SD dan SMP nantinya. Sebelum kami datang, semua siswa sudah bersiap di dalam kelas. Karena jumlah siswa SD dan SMP yang tidak banyak maka cukuplah dua kelas untuk SD dan SMP. Saat memasuki kelas, kami disambut dengan teriakan histeris mereka yang sudah menunggu kami sejak pagi. Siswa SMPN 2 Boleng, di hari itu menggunakan atasan seragam olahraga. Namun ada hal yang membuat saya terhening sejenak. Meskipun mereka memakai atasan seragam olahraga saya melihat bawahan seragam mereka bebas dan tidak menggunakan sepatu. Mereka semua bahkan siswa SD juga menggunakan sandal untuk bersekolah. Didalam kelas terdapat meja dang kursi kayu dan meja guru lengkap dengan satu papan tulis putih. Diatap kelas saya melihat tidak ada tempat lampu beserta lampu dan didinding tidak ada saklar, memang listrik disini masih sangat sulit. Berbeda jauh dengan fasilitas yang ada di kota, namun saya pribadi disini merasakan atsmosfer pendidikan yang lebih dengan keterbatasan yang ada.









            Pada sesi ini kami awalnya mempernalkan diri. Di tim SMP ada saya, mas Dewa, mas Taisar , mbak Vira, mbak Tanya dan mbak Nanda . Sedang lainnya bertugas di tim SD. Pagi itu kami menjadwalkan akan memberikan kelas inspirasi sesuai dengan disiplin ilmu yang kami tempuh. Seperti mbak Nanda yang berlatar belakang kedokteran memberikan informasi mengenai profesi dokter, saya yang berlatar belakang sejarah memberikan gambaran pentingnya sejarawan ataupun guru sejarah, dan mas Dewa yang berlatar belakang ilmu komunikasi menjelaskan bagaimana pentingnya manusia berkomunikasi.  Disela-sela kami mengisi kami juga membagikan hadiah yaitu berupa alat tulis yang kami persiapkan. Begitupun saya juga membagikan buku Cerita Rakyat dan Budaya Tradisi Nusantara yang baru saja saya terbitkan secara gratis kepada siswa yang berani menjawab pertanyaan saya kedepan.  Kami juga melatih kemampuan mereka berbicara di depan, mamng awalnya mereka hampir semua masih malu terlebih dengan orang baru, namun di akhir sesi ini mereka sangat antusias untuk mengacungkan tangan dan menjawab pertanyaan dari kami.
            Selain kelas inspirasi kami juga memberikan pengetahuan pentingnya mencuci tangan dengan cara yang benar. Kami mengajarkan hal itu kepada mereka dengan lagu yang sudah dibuat mas Dewa dan kami praktikan pagi hari sebelum kami berangkat ke sekolah, berikut liriknya
Ingin sehat dan selamat cuci tangan (prok,prok,prok)
Telungkupkan dua tangan bergantian (prok,prok,prok)
Mangait dan mengunci, lalu putar ibu jari
Yang terakir gosok-gosok ujung jari.
Di akhir kegiatan kemudian kami menunjuk salahs satu dari siswa untuk menjadi dokter cilik yang akan membantu teman-temannya bagaimana cuci tangan dengan cara yang benar. Sesuai dengan nama kegiatan kami yaitu “Kelas Inspirasi” terakhir sebelum kami berpisah, siswa SMPN 2 Boleng kemudian menuliskan cita-cita mereka di dalam kertas lipat yang sudah dibuat mas Reyhan menjadi bentuk balon udara. Saya melihat cita-cita mereka tidaklah bisa dipandang remeh. Mereka semua memiliki cita-cita yang tinggi, seperti Dokter, Guru, Perawat, Tentara, dan Pilot serta masih banyak cita-cita mulia lainnya. Kami semua hanya bisa mendoakan dan menyulutkan semangat untuk meraih cita-cita mereka. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, selagi api semangat dan tekad yang masih kuat maka apapun bisa diraih. Selain itu secara pribadi di hari ini saya merasakan pentingnya pendidikan untuk anak-anak. Masa anak-anak memang harus penuh dengan suka cita termasuk bermain dan belajar yang menyenangkan. Meskipun dengan keterbatasan disini, saya mendengar semangat mereka belajar saat tidak ada lampu yaitu dengan menggunakan pelita. Sedangkan kita yang ada di kota masih mengeluh dengan tugas yang seumbruk, malas membaca dan belajar dan alasan lainnya.
            Di siang hari saya membuka “Taman Baca Komodo” dengan membuka perpustakaan gratis dan dengan buku-buku yang kami bawa. Kami melihat antusias siswa dan guru terkait minat baca sangat tinggi. Bahkan akhirnya kami memberikan sebagian buku kami untuk disumbangkan di sekolah itu. Kegiatan kami selanjutnya dilakukan di SD ProgSus. Dinamai Program Khusus karena siswa disini hanya siswa kelas enam dan merupakan siswa terbaik di berbagai sekolah dasar di kecamatan Boleng. Hal itu kami bkuktikan dengan keberanian mereka saat kami menanyakan pertanyaan. Bahkan sempat kami kebingungan karena semua siswa disini aktif dan mudah memahami sesuatu. Kami juga mendengar cita-cita mereka yang beragam. Di sesi terakir saya juga membagikan buku saya kepada siswa yang berani berbicara didepan dan bertekad untuk meraih cita-citanya. Siang hari itu dengan berat hati kami harus meninggalkan siswa-siswa harapan Desa Pota Wangka itu. Kami meninggalkan balon-balon udara yang sudah diisi dengan cita-cita mereka di setiap kelas.
            Pada sore hari setelah kami bersih-bersih diri di rumah Pak Theo, kami mengadakan kegiatan pelatihan pengoperasian komputer. Sasaran dari kegiatan ini yaitu untuk melatih secara teknis para aparatur desa untuk mengoperasikan microroft word, microsoft excel dan sebagainya. Dari pelatihan ini saya melihat sebenarnya aparatur desa sudah mengetahui cara pengoperasian hanya saja kurang terbiasa, kata jawa “iso jalaran soko kulino” artinya bisa karena terbiasa. Kegiatan itu kami lakukan bergantian hingga menjelang malam. Diwaktu yang bersamaan di halaman rumah Pak Theo sudah berkumpul anak-anak SD maupun SMP yang kami undang untuk penyerahan hadiah dan beberapa games menarik. Kami juga membagikan doorprize berupa peralatan sekolah. Kegembiraan yang terpancar dari senyuman bocah Flores menambah haru dan bahagia kami. Rasa lelah mengajar siang tadi, luntur entah kemana.
            Seperti hari sebelumnya, dimalam hari kami mengadakan nonton bareng beberapa video dan film. Kegiatan itu kemudian dipandu oleh Mas Ando dan saat itu kami memutar film Satu Hati Satu Tujuan. Film itu menarik karena berlatar belakang Indonesia timur dan juga mengambarkan arti kebhinekaan itu sendiri. Masyarakat malam itu semua antusias begitupun anak-anak menghabiskan malam Minggunya disana. Kami akhirnya memetik pesan yang ingin disampaikan pada film itu yakni meskipun banyak suku dan etnis di Indonesia namun kita masih memiliki tujuan yang sama, mimpi yang sama, dan tanah yang sama. Dipenutupan malam itu kami berdiskusi sejenak dan memberikan pesan kepada masyarakat perihal kegiatan kami selama dua hari itu. Masyarakat pula bergantian mulai dari perwakilan Toua Golo, perwakilan pemuda, perwakilan guru untuk menyampaikan pesan kepada kami. Dimalam itu kami juga merasa bahwa kami lah yang pantas belajar banyak kepada mereka. Belajar mengerti arti kehidupan, meskipun terdapat beberapa “kekurangan” dalam menjalani hidup mereka masih dapat tersenyum, bekerja, dan berkarya. Belajar arti kesederhanaan, kekeluargaan, dan kebersamaan. Kami juga merasakan harapan-harapan yang akan dibawa anak-anak disini, saya pribadi yakin dengan pendidikanlah bisa membuat diri mereka menjadi manusia yang berguna dan bermanfaat.





Mas Ando(kanan) bersama Tua Golo(kiri)


HARI KE IV /  POTA WANGKA, MINGGU – 26 FEBRUARI 2017
“PAMIT”
            Hari Minggu ini merupakan hari terakir kami di Desa Pota Wangka. Kami juga akn melakukan kegiatan kami yang terakhir yaitu cek kesehatan gratis. Dikarenakan hari ini adalah hari Minggu, semua warga disini beribadah di gereja. Sembari menunggu warga selesai beribadah, kami mempersiapkan kegiatan kami ini yang akan diselenggarakan di ruang kelas SMPN 2 Boleng. Kegiatan ini kami juga terbatas oleh alat dan tenaga, karena di bidang kesehatan hanya Kak Nanda dan Kak Fifit, sedang kami lainnya membantu mempersiapkan dan mendokumentasikan kegiatann itu.
            Pukul 10.00 WITA ibadah di gereja sudah selesai. Saya melihat warga disana yang lelaki memakai songket khas Flores dengan motif-motif yang khas. Setelah itu kami mengumumkan warga khusus yang berusia 45 tahun ke atas. Warga langsung saja berbaris mengantri di depan kelas. Kami kemudian membagi kupon yang memuat nama, usia, dan data kesehatan. Dalam kegiatan ini kami melakukan pemeriksaan kesehatan dasar yaitu tekanan darah, gula darah, kolesterol, dan asam urat. Saya melihat antusisme warga yang cukup tinggi, bahkan menurut info dari Pak Theo, kegiatan semacam ini jarang sekali dilakukan dan juga peran dokter desa disini masih belum maksimal. Hal itu mungkin juga dikarenakan keterbatasan tenaga.








            Secara bergantian warga bersabar menunggu giliran pemeriksaan. Saya juga melihat kak Nanda yang melakukan pemeriksaan sendiri sedikit kualahan. Kak Arni kemudian membantu untuk menulis hasil pemeriksaan itu di tiap-tiap kupon warga. Berdasarkan hasil pemeriksaan kak Nanda, warga disana jika dilihat dari kebiasaan hidup dan pola makannya, banyak juga yang kadar asam uratnya tinggi. Hal itu karena warga disana sering mengkonsumsi kacang-kacangan. Tekanan darah warga disana juga cukup tinggi, hal itu juga dikarenakan karena tingginya konsumsi kopi. Memang itu juga saya alami, selama beberapa hari disana setiap pagi dan malam serta setiap kami berkunjung ke rumah warga kami disuguhi kopi. Berjam-jam kegiatan ini berlangsung, warga yang masih setia mengante dengan bersabar menunggu giliran mereka. Jumlah total warga yang melakukan pemeriksaan kesehatan ini berjumlah 47-an orang.
            Akhirnya kegiatan kami ini selesai pada sekitar pukul 15.00 WITA. Bersamaan dengan warga pulang ke rumah, kami pun bergegas kembali ke rumah Pak Theo dan langsung saja kami repacking barang-barang kami. Didepan rumah Pak Theo sudah banyak warga yang menunggu kami dalam upacara perpisahan. Begitu juga OTOKOL yang sudah stand by untuk mengantarkan kami ke kota.
            Perwakilan Tua Golo menggiring kami ke dalam rumah Pak Theo. Kami kemudian melakukan upacara adat untuk pelepasan sekaligus perpisahan. Upacara itu teknisnya sama persis dengan saat upacara penyambutan kami. Dengan bahasa daerah kami diwakili mas Ando yang isinya permohonan maaf dan ucapan terimakasih telah menerima kami dengan baik. Akhirnya ada pertemuan maka selalu akan ada perpisahan. Dengan berat hati kami harus berpisah dan mengakhiri kegiatan pengabdian kami ini. Rasa haru menyelimuti sore itu. Saat kami keluar rumah sudah berbaris warga yang melepas perpisahan kami ini. Kami menyalami satu persatu warga yang ada di sore itu, tak terkecuali anak-anak kecil. Saya pribadi menyadari bahwa sore ini adalah hal paling berat selama kegiatan disini. Terakhir kami akhrinya foto bersama di bawah tugu salib di depan rumah Pak Theo. Kami lantas naik OTOKOL dan lambaian tangan warga Pota Wangka mengiringi deru mesin truk itu membawa kami ke kota. Anak-anak yang bermain di lapangan bola berteriak dan melambaikan tangannya saat kami melintasi mereka. Sebaran padang rumput hijau itu kini hanya dapat kami lihat dari gallery handphone kami. Jalan yang mengombak-ombak kami hadapi di malam perpisahan ini. Yaa, hanya terimakasih, terimaksih dan terimakasih yang dapat kami sampaikan. Kami sampai di kota pada pukul 20.30 WITA di rumah saudari mas Ando kami bersantap malam dan melakukan evaluasi kegiatan kami. Tidak banyak yang dievaluasi karena kami telah banyak belajar arti kehidupan yang pasti
            Mau tidak mau kami harus meninggalkan tempat itu. Harus kembali dekat dengan gadget dan disibukkan dengan hiruk-pikuk perkotaan. Tidak lagi kebungungan karena sinyal dan listrik. Mendengar lagi suara bising kendaraan 2 tak. Memahami kembali arti kebhinekaan yang selama empat hari itu kami rayakan. Mendengar kembali pidato-pidato pemimpin bangsa yang katanya masih peduli dengan rakyat. Yah memori Pota Wangka kini menjadi core memory di dalam pikiran dan benak kami. Tak akan terlupakan selama hidup kami. Juga, jika masih diberi umur panjang dan kesempatan kami memiliki misi yang sama di berbagai daerah lagi. Dikarenakan juga belajar di ruang kelas tidak lah cukup !, bahkan kurang. Kita hanya mempelajari diktat, buku dan materi-materi sedangkan jauh disana masih banyak orang yang hidup dengan keterbatasan. Saya pribadi menjadi lebih memahami arti kesederhanaan, yang mana itu menjadi kata motivasi saya dalam bahasa Jawa “Urip kang prasojo lan migunani liyan” yang artinya Hidup apa adanya dan berguna bagi orang lain. Karena mengabdi itu dari hati, tidak ada eksistensi yang dicari, apa lagi kesombongan diri. Semoga masih banyak pemuda-pemuda Indonesia yang mau peduli dan mengabdi, tidak hanya sibuk dengan urusan duniawi. Juga pemerintah yang memiliki jasa, harus bisa memenuhi hak-hak warganya, tidak hanya disibukkan dengan Jakarta, namun juga harus melirik Pota Wangka dan lainnya.



















Foto by : Mas Reyhan ( matur  nuwun mas)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JEJAK KULINER NUSANTARA JAWA TIMUR

makanansehat.biz                    Indonesia sebagai bangsa yang besar memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Perjalanan sejarah Indonesia sudah barang tentu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh bangsa-bangsa luar. Pengaruh itu meliputi keragaman dari banyak hal seperti halnya sistem pemerintahan, sistem sosial kemasyarakatan, sistem perekonomian, teknologi dan sebagainya. Namun juga terdapat suatu hal yang maenarik yaitu dengan adanya pengaruh dari pihak luar budaya tradisional bangsa Indonesia tidak tergantikan. Seperti halnya adat istiadat, norma, bahkan pada keragaman jenis makanan. Makanan sebagai suatu hasil dari kebudayaan manusia pertama-tama memiliki peran sebagai alat pemenuhan kebutuhan primer. Tidak hanya itu peran makanan dalam kehidupan manusia bahkan sampai pada ranah untuk kegunaan religuisitas. Hal itu tercermin dari kebudayaan Jawa yang banyak melakukan ritual-ritual adat dan makananpun menjadi hal yang tidak bisa dilepaskan [1] . Keberadaan makanan tra

PERKEMBANGAN FOLKLORE DI INDONESIA

www.folkloretravel.com Kebudayaan yang kini berkembang di masyarakat merupakan hasil pewarisan dari kebudayaan luhur terdahulu. Melalui banyak metode/cara tradisi masyarakat dapat tersalurkan dan terwarisi oleh generasi selanjutnya. Kebudayaan sendiri merupakan keseluruhan system, gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka menghidupi kehidupannya serta dijadikan sarana untuk belajar. Wujud dari kebudayaan itu antara lain ide/gagasan/norma/aturan/nilai yang kesemua itu menghasilkan wujud benda/fisik budaya. Kebudayaan hanya dapat berkembang di dalam masyarakat. Hal itu jelas bahwa tanpa adanya subyek yakni masyarakat tentu budaya tidak akan pernah ada dan berkembang. Di saat kebudayaan ini berkembang tentu menjumpai adanya budaya baru dari luar budaya induknya. Hal tersebut dapat menjadi salah satu kekuatan untuk mengakulturasi atau terjadinya proses percampuran budaya atau malah menjadi salah satu faktor untuk degradasi budaya (penurunan budaya). Folklore me

KOMIK STRIP TENTANG KERUSAKAN LINGKUNGAN