Merantau
dapat diartikan sebagai upaya seseorang yang pergi meningalkan tempat asalnya
untuk melangsungkan kehidupan di daerah yang baru demi berbagai kepentingan dan
faktor. Kegiatan ini juga telah ada sejak zaman prasejarah ketika para nenek
moyang melakukan pelbagai ekspedisi untuk bertahan hidup dan juga untuk
menyebarkan kebudayaannya dengan melalui jalur darat atau pun laut. Saat
perjalanan itu pula mereka bertemu dan berinteraksi dengan kebudayaan yang
berbeda hingga menciptakan akulturasi budaya.
Dalam
kehidupan modern, merantau seakan menjadi tuntutan masyarakat yang ingin
berkembang. Bahkan, kini masyarakat memiliki pola pikir keluar dari zona nyaman
yang mengharuskan mereka untuk merantau. Seseorang yang merantau secara
otomatis akan beradaptasi dengan lingkungan barunya dan mereka akan terus
berkembang hingga kebanyakan dari orang rantau mencapai impian serta
kesuksesan. Hal itu juga terbukti dengan banyaknya tokoh besar dunia yang
berhasil menjadi “orang” dengan merantau. Contohnya, Bung Karno yang dilahirkan
dan menghabiskan masa kecil di Jawa Timur dengan berani mengambil keputusan
untuk menimba ilmu di Bandung, keluar masuk pengasingan, dan penjara serta berbagai perjalanan hidup beliau hingga
menjadi Bapak Bangsa. Banyak juga kisah tokoh bangsa yang mereka lalui dengan
merantau. Dapat diambil tesis sederhana bahwa merantau sebagai salah satu
faktor kesuksesan seseorang.
Di
Indonesia, merantau telah menjadi budaya masyarakat atau suku di suatu daerah
dengan beragam faktor, seperti suku Bugis, suku Madura, dan suku Minangkabau.
Ekonomi dan pendidikan menjadi faktor terkuat untuk merantau. Hal tersebut terlihat
dengan banyaknya pedagang dan pelajar di Pulau Jawa yang berasal dari luar
pulau untuk mengadu nasib. Begitu pula sebaliknya, sebagian orang Jawa juga merantau
ke berbagai daerah di Indonesia atau bahkan ke luar negeri. Namun, pada
kenyataan saat ini, tidak banyak orang merantau yang mau kembali ke tanah
kelahirannya. Akhirnya, mereka tetap meneruskan kehidupannya di perantauan.
Para
perantau didominasi oleh usia muda dengan berbagai alasan, baik melanjutkan
studi maupun bekerja, sebagaimana pernyataan di atas bahwa faktor terbesar
untuk merantau adalah pendidikan dan ekonomi. Hal itu sangat mungkin terjadi di
Indonesia mengingat pendidikan dan ekonomi kini belum sepenuhnya merata.
Perguruan tinggi negeri yang tidak semua ada di setiap kota atau kabupaten
mengharuskan pelajar tingkat lanjutan yang ingin menggapai mimpinya untuk
merantau. Dari setiap pelajar yang telah
selesai studi di perantauan, ada yang memilih kembali ke daerahnya dan ada pula
yang tetap, bahkan mencari perantauan baru.
Merantau
juga memberikan banyak pengalaman baru. Semakin jauh seseorang merantau, maka
akan lebih banyak pengalaman yang didapatkan. Pada saat merantau, seseorang
tentu akan bertemu dengan orang yang baru dalam kehidupannya, pun lingkungan,
menu masakan, bahkan perlakuan yang berbeda, tidak seperti di kampung halaman.
Tidak hanya beradaptasi dengan fisik, merantau juga mengharuskan seseorang
untuk beradaptasi dengan norma, adat, dan tradisi yang ada. Akan sulit jika
seorang perantau tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Pilihannya
hanya harus bertahan hidup di daerah rantau atau pulang dengan tangan hampa.
Sebelum
merantau, seseorang harus mempunyai tujuan pasti. Tujuan tersebut adalah daerah
mana yang akan ia tuju dan hal apa yang akan ia lakukan di sana. Tujuan
tersebut harus dipikirkannya sebelum melangkah keluar dari rumah. Setidaknya,
jika belum dilakukan di tempat asal, perencanaan tujuan tersebut harus
dilakukan pada saat perjalanan. Namun, hal ini sangat jarang atau mungkin tidak
pernah dilakukan oleh para perantau pada umumnya karena persiapan dalam merencanakan
tujuan pada saat perjalanan tidak akan semaksimal persiapan dalam merencanakan
tujuan pada saat di rumah. Dengan kata lain, seorang yang akan merantau harus
mempersiapkan rencana tujuannya secara matang sebelum melangkah dari rumah.
Perantau
dapat dikatakan seseorang yang menantang diri. Menantang dirinya untuk keluar
dari zona nyaman, menghadapi bermacam-macam risiko, dan mempertanggungjawabkan mimpi
atau tujuan merantau. Jauh dari keluarga, sahabat lama, bahkan kekasih adalah
sedikit dari beribu risiko yang harus dihadapi perantau. Saat jauh dari
keluarga, kontrol sosial bahkan pribadi seorang perantau menjadi berkurang. Hal
itu juga menjadikan perantau untuk bertanggung jawab dengan segala yang
dilakukannya. Terkadang perantau mengalami culture
shock dan home sick saat pertama
kali merantau, apalagi di tempat yang sangat jauh dari kampung halaman. Jelaslah
perbedaan kebiasaan dan keadaan yang terdapat di daerah asal membuat seseorang seakan
kaget dengan kondisi barunya. Hal ini berarti bahwa seorang perantau akan
memulai kehidupan baru. Ibarat seseorang yang hendak membangun rumah, perantau
adalah sang penentu lokasi rumah yang akan dibangun, menentukan apa saja yang
perlu untuk pembangunan, membuat fondasi, menghias rumah, hingga berkenalan
dengan tetangga dan lingkungan baru. Perantau dituntut dapat bertahan hidup
dengan berbagai kemungkinan baik dan buruk.
Terdapat
proses merantau itu sendiri yang banyak mengubah kondisi rohani dan jasmani .
Seorang perantau dituntut untuk menjadi pribadi yang mandiri, hampir semua
kegiatan memaksa untuk dilakukan dengan sendiri. Dalam hal ini, merantau juga
dapat menanamkan sifat mandiri dan sedikit memberikan gambaran bahwa di
kehidupan nanti manusia tidak selamanya bergantung pada orang lain. Kemampuan
manajemen juga dibutuhkan pada setiap perantau, terutama pada perantau yang
belum memiliki penghasilan sendiri. Memanajemen uang dan waktu dirasa sangat
penting guna kelangsungan hidup perantau. Dalam hal tersebut, juga dilatih
bagaimana perantau memanfaatkan, memilah, dan mimilih kegiatan mana yang
bermanfaat atau tidak, serta diajarkan sifat hidup hemat.
Tujuan
merantau paling filosofis adalah menemukan siapa sebenarnya diri dari
masing-masing perantau atau menemukan manusia yang seperti apa dirinya. Seorang
perantau akan menemukan jati dirinya melalui berbagai tahap. Tahap yang dilalui
bisa jadi dari hal yang termudah ke hal yang tersulit, hal tersulit ke hal
termudah, atau terkadang sulit dan terkadang mudah. Hasil dari proses menemukan
jati diri tersebut adalah penyadaran fungsi atas kemampuan yang dimiliki oleh si
perantau sehingga ia tahu apa yang akan ia lakukan ketika kembali ke daerah
asalnya suatu saat. Selain itu, dapat digunakan juga ketika ia berada di tempat
rantau lain.
Merantau
juga memberikan arti sesungguhnya keluarga, pulang, dan rindu. Pada saat jauh
dari kampung halaman, seorang perantau akan merasa bahwa di setiap sudut
rumahlah yang ternyaman, masakan ibu adalah masakan yang paling cocok dengan lidah,
dan suhu udara di tempat asal yang sesuai dengan tubuh. Begitu pula pulang yang
disebut sebagai momen yang sangat dinantikan para perantau, bahkan tidak
dipungkiri setiap perantau telah menjadwalkan kapan mereka harus pulang.
Seringkali pula perantau melewatkan momen penting di keluarganya. Dari semua
itu, perantau mengamini bahwa keluarga adalah hal paling penting dan karenanya
setiap orang ada dan hidup.
Pada
akhirnya, berbagai kejadian, pengalaman, dan risiko di atas hanya dapat
dirasakan pada proses merantau, yaitu proses yang membuat seseorang terlatih untuk
menjalani hidup lebih dewasa dengan kondisi yang baru, terbiasa dengan perjuangan,
dan mengajarkan betapa pentingnya keluarga. Sekali lagi, merantau adalah upaya
menantang diri dan pendobrak kenyamanan yang bukan sekadar untuk melanjutkan
studi, tetapi juga menggapai impian serta tujuan hidup.
Komentar
Posting Komentar