Langsung ke konten utama

Bertemu dengan Orang-Orang Baik#1. Jakarta

            


     Agustus 2017 menjadi bulan penuh makna bagi pribadi saya. Tak henti-hentinya kegiatan mengasah diri saya ikuti. Tentu saya hanya sekadar ikut untuk tetap mencari jati diri. Dua kota besar menjadi persinggahan saya pada bulan ini. Bertemu dengan kawan baru membukakan jendela rezeki dan pengetahuan. Bertemu dengan permasalahan baru semakin mengukir jiwa untuk mendewasakan diri. Berderu dengan bis, kereta komuter, dan kereta Gajahwong membawa langkah saya selanjutnya.


Perjalanan akhir bulan ini,saya mulai dari Stasiun Wonokromo, Surabaya. Di salah satu stasiun lawas Kota Pahlawan ini saya bersama beberapa kawan tepat waktu menunggu kedatangan kereta Gaya Baru Malam. Hiruk pikuk stasiun, tukang becak, tukang parker, dan sopir taksi online seakan sudah biasa membersamai bunyi lonceng kereta itu. Tidak begitu ramai di dalam kereta, kami langsung mencari bangku sesuai yang kami pesan. Untungnya kami dapat satu gerbong dan hanya berselisih satu bangku saja. Kami ramai berswafoto diluar kereta namun diam saat duduk dan selesai menaruh koper. Ada yang membaca Al-Quran, membaca novel Pram, ada juga yang melanjutkan menulis paper. Sedang saya sibuk dengan kuas dan cat akrilik warna biru,merah, dan putih.
            Stasiun kota tetangga sudah kami lewati. Suasana khas senja hari dan pekarangan sawah memanjakan perjalanan kami. Hingga tak terasa hampir Magrib kami sampai Jogja. Berhenti cukup lama saya sampaikan salam pada suasana khas Jogja. Keluar dari gerbong dan melihat awan diatas Lempuyangan membuat saya selalu merindukan kota ini. Tangan-tangan pedangang makanan menyuguhkan nasi bungkus seharga dua belas ribu lengkap dengan sendok bebeknya. Banyak kawan yang akhirnya tersipu dengan tawaran pedagang itu. Luamayan, nasi sayur plus ayam goring untuk mengganjal perut sampai dini hari nanti.
            Selepas magrib kami lanjutkan perjalanan menuju ibukota. Jendela yang buram ditambah gelap malam seakan membutakan mata saya untuk melihat dunia luar. Akhirnya saya sibuk dengan earphone dan kuas imajinasi saya. Kanan kiri saya liat mata-mata tertidur dengan lelapnya, seakan tak memikirkan utang atau tugas kuliahnya. Beberapa kali saya mengunjungi kamar mandi untuk sekadar mencuci muka atau menghirup bau khas kereta. Sering pula kawan-kawan berdiri dan berkeliling untuk membuang penat.
            Saya mencoba tidur dengan beberapa gaya. Entah sudah beberapa gaya saya coba, dan hasilnya nihil. Hanya mata yang tertutup namun pikiran masih hidup. Punggung sudah berteriak ingin rebahan, namun harus bersandar di kursi 900 itu. Beberapa lampu stasiun kota yang hanya dapat terbaca malam itu.
            Pukul 02.00 kereta kami melewati stasiun terakhir sebelum Pasar Senen, ya Jatinegara. Satu dari kawan kami turun disana untuk segera pulang kerumah. Sedang kami harus merapikan wajah dan menurunkan koper untuk bersiap menginjakkan kaki di Ibukota. Tiga puluh menit kemudian kami benar-benar bebas dari hotel gerbong Gaya Baru Malam itu. Kami mencari suaka (masjid) untuk sekadar rebahan namun masih terunci. Belum waktu Shubuh akhirnya kami menggelandang di sekitaran stasiun untuk istirahat. Dengan perut berteriak saya memutuskan untuk membeli segelas mi instan agar menenangkan lambung saya.
            Sampai pada waktu shubuh kami langsung beranjak ke masjid depan. Air wudhu membangunkan kedua mata kami. Segarnya udara air conditioner masuk ditiap pori-pori kaus kami. Khusyuk saya melihat kawan-kawan dan warga ibukota melaporkan diri pada Sang Maha Esa.
            Kami menunggu ditemani Fajar yang mulai memanaskan ibukota. Menunngu KRL yang akan lewat dan siap kami tumpangi. Sembari menunggu kami mulai berimajinasi dengan buku-buku yang kami bawa. Sedang saya duduk diatas bangku besi dan kaki penuh gigitan nyamuk. KRL jurusan Depok datang dengan tergopoh-gopoh langsung kami naiki. Pintu gerbong terbuka semua, masih longgar, kosong belum ada suasana khas ibukota. Stasiun demi stasiun kami hampiri, banyak juga insan yang sudah berpakaian rapi mengawali pekan ini dengan earphone menggantung ditelinga.
            Suasana khas ibukota mulai nampak. Kami smua berjejal masuk gerbong demi gerbong. Kami yang masih dihantui rasa kantuk menyelesaikan hak mata kami untuk sekadar tidur. Akhirnya kami turun di stasiun terdekat kantor pusat Rumah Kepemimpinan, yaitu stasiun Universitas Indonesia, ya kampus U and I. Pagi itu kami berjalan bersama mahasiswa yang membawa jakun kemana-mana. Kami berhenti di halte bikun FIB untuk melanjutkan ekspedisi ini. Sempat beberapa kami naik bis kuning ini malah jauh dari koridor tujuan kami. Tak sengaja kami menaiki jalur yang sama dan turun di halte menwa. Lewat jembatan penyeberangan jalan kami dapat memandangi warga dari ketinggian. Hanya berjarak sekitar 300 meter dari halte, kami sudah disambut dengan logo instansi kebanggan kami, Rumah Kepemimpian.
            Kami sampai di markas utama. Lansung saja para Ksatria (sebutan regional RK Putra Jakarta, Universitas Indonesia) untuk sekadar rebahan di asrama. Dari kami ada yang melajutkan permintaan mata untuk tertidur dan ada yang menuruti permintaan perut yang masih kosong. Saya termasuk yang kedua. Akhirnya kami sarapan di warung nasi uduk dekat asrama pusat. Harga yang hampir sama di Surabaya tak mengagetkan saya. Pisang goreng saya pilih untuk hidangan pencuci mulut. Selepas itu saya bersiap untuk menemui kawan hidup saya yang sedang berkarya di UI, ya siapa lagi kalau bukan penyair ini, Harrits. Sebelum shalat Jumat saya bersiap untuk segera menuju kampus Ukhwah Islamiah (masjid kampus UI) sekaligus berjumpa dengan Harrits.
            Jumat itu di UI sedang berlangsung wisuda periode Agustus. Kebetulan juga saya memiliki saudara sambung yang sedang diwisuda untuk resmi menjadi Sarjana Humor hehe  (Sarjana Humaniora, sarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI) yang mengambil program studi Sastra Jawa. Siapa lagi kalau bukan mantan jenderal PSAMABIM, Mba Sifa aku memanggilnya. Saya dipacu waktu. Waktu shalat semakin dekat, alhasil saya shalat tepat dipintu gerbang masjid UI. Panas terik saat itu tak melelhkan kekhusukan kami mendekatkan diri pada Sang Maha Tinggi. Selesai dua rakaat saya berteduh di bawah pohon menunggu Harrits nonggol. Tak sampai lima menit kami bertemu kembali. Tak ada beda dari awak Harrits, hanya saja bertambah panjang kumis dan jenggotnya.
            Kami kemudian menuju FIB untuk mencari seteguh es teh. Di Kansas kami bertukar kabar dan saling membagi lawakan. Saya selalu ingat perjuangan kami berdua di tahun 2016 lalu jika mengunjungi tempat ini, terlebih Taman Arkeologi. Sore hari saya mengantar Harrits untuk berkumpul dengan prodinya (Sastra Indonesia). Disana mereka menyiapkan para wisudawan seniornya untuk sekadar memberikan salam selamat. Di depan rektorat UI juga sudah banyak berdiri banner beberapa program studi. Sore, saat semua wisudawan keluar kami berdua berupaya berenang dilautan manusia itu untuk mencari Mba Sifa. Kami bertemu dan seperti biasanya kami langsung berpose untuk diambil gambar dari kamera Cannon.

            Saya juga sempat menemui kawan Sejarah UI saya, Alam. Dia saya temui sedang berada dalam kerumunan Rakyat Militan Sastra lengkap dengan drum gendering perangnya. Suasana padat hingga tak terasa petang hinggap. Kami berdua berpamitan dan melanjutkan laporan Magrib di masjid UI. Jalan yang riuh seusai pelepasan wisudawan memutuskan kami untuk mengambil jalan tikus melewati kutek dan berputar nun jauh sampai mendarat di kantor pusat Rumah Kepemimpinan lagi.
            Malam itu saya dan Harrits harus berpamitan untuk sementara waktu. Saya langsung bergegas menuju lantai dua untuk bersih diri, mengambil jas Rumah Kepemimpinan dan ikut dalam acara malam yaitu arahan peserta selama dua hari kedepan. Pada bulan ini Rumah Kepemimpinan sedang merayakan milad ke-15nya. Tentu usia yang sudah beranjak “remaja” ini telah banyak menunjukan hasilnya pada dunia. Terlihat dari prestasi dan kontribusi para alumni dan peserta yang malang melintang di berbagai bidang, seperti entrepreneur, akademisi, hingga politisi.
            Secara keseluruhan kegiatan milad ke-15 tahun Rumah Kepemimpinan ini dinamai National Leadership Camp (NLC). NLC pada kegiatan ini memiliki jargon yakni “Kontribusi Untuk Negeri”. Hari pertama dan kedua dikemas dengan talkshow perihal kepemimpinan dan wawasan kebangsaan. Tak tanggung-tanggung pembicara yang mengisi dan menyumbangkan suaranya pada kegiatan ini banyak dari tokoh nasional.
            Acara ini secara resmi dibuka dengan Opening Ceremony oleh direktur pusat Rumah Kepemimpinan, Bang Bachtiar Firdaus. Dalam sambutannya seperti biasa, beliau dengan nada tegas membakar jiwa-jiwa kami yang kerdil ini untuk menjadi raksasa. Bahkan, beliau mengingatkan peserta semua sebab sudah tiga belas bulan masa pembinaan Rumah Kepemimpinan, namun masih juga banyak hal yang belum mencapai target awal. Kembali lagi, saya menanyakan kepada diri saya selaku pengemban amanah ini. Introspeksi diri pagi itu memerlihatkan apa saa yang telah saya lakukan untuk kebermanfaatan orang banyak sesuai dengan misi Idealisme Kami Rumah Kepemimpinan. Menyesal sudah barang tentu saya rasakan pagi itu. Tiada kata lain untuk saling berbenah dan mengingatkan satu sama lain agar tidak lagi kata penyesalan di akhir. Bahkan setiap pekan kami kumandangkan “kami ingin agar bangsa ini mengetahui bahwa mereka lebih kami cintai daripada diri kami sendiri”. Sungguh berat, namun mengapa harus takut jika ada kekuatan Maha Besar diatas?

            Pada sesi pertama kami disuguhi materi oleh Dr. Bambang Widjojanto, S.H, M.H selaku pernah menjabat orang kedua di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beliau menusukkan materi pada kami tentang banyak hal, terutama permaslahan dan upaya anti korupsi. Sebagai orang yang pernah berjibaku dan memerangi koruptor beliau sudah tegas dengan captionnya untuk menjauhi dari perbuatan najis itu. Pada akhirnya beliau juga menggambarkan bahwa integritas seseorang akan terlihat tanpa sadar dengan perilaku yang dilakukannya, serta beliau juga menyusupkan pentingnya brperilaku jujur dan terbuka dalam setiap melakukan aktivitas.


            Sesi talkshow dilanjutkan bersama Dr.Ir. Nur Mahmudi Ismail. Beliau pernah menjadi orang nomor satu di Depok. Bahkan tidak cukup satu kali, beliau pernah menjabat dua kali periode kepemimpinan. Beliau yang asli Jawa Timur ini memberikan wasiat kepada kami mengenai kepemimpinan disektor publik. Kemampuannya untuk bertemu,berunding,dan bercakap dengan masyarakat luas sudah tidak diragukan lagi.
            Hari ini saya merasa sangat panjang. Otak saya kembali dibuka untuk wawasan baru dan mata saya disegarkan dengan tokoh-tokoh yang hadir mengisi podium hari ini. Sore hari menurut saya sebagai klimaksnya. Kami kedatangan Dr.(HC) H. Zulkifli Hasan, S.E, M.M selaku ketua MPR RI. Pembawaan sederhana beliau mencurahkan pelbagai pengalaman dimasa mudanya. Akhir acara saya memberikan buku pertama saya kepada beliau. Meskipun sederhana namun saya ingin memberikan kenang-kenangan abadi kepada setiap orang baru yang saya temui, salah satunya adalah Zulkifli Hasan ini.



            Malamnya kantor pusat ramai dengan dipenuhi mobil diparkiran. Di dalam para donatur, penyantun, dan petinggi yayasan sedang bertasyakuran. Beberapa dari kami juga diajak untuk mengikuti kegiatan sakral ini. Sedang saya dan semua peserta mendiskusikan untuk penampilan persembahan angkatan kami. Kami berunding dan sepakat untuk membagi setiap regional dalam pelbagai peragaan alur cerita.
            Hari kedua dimulai dengan kegiatan Kajian Islam Kontemporer yang diisi oleh bapak kami (begitu kami menyebutnya) Ust. Musoli. Beliau memberikan ilmu-ilmu Islami dalam kehidupan kekinian serta sedikit mendiskusikan permasalahan hari ini. Pagi itu tak banyak dari kami yang masih berbau guling. Beberapa dari kami yang mengangguk-anggukkan kepala sembari menutup matanya. Kami dijejali kembali oleh pengalaman dan ilmu-ilmu dari alumni Rumah Kepemimpinan yang telah mulai menunaikan citanya. Tak terasa sudah siang hari, waktunya kami bermain peran sesuai dengan yang telah kami bagi kemarin. Alur cerita yang mencerminkan kami, seakan menyadarkan saya pribadi bahwa kami bukan siapa-siapa, masih bukan siapa-siapa dan memang bukan siapa-siapa. Idealisme yang besar dan kuat diperagakan kawan-kawan dengan ekspresi dan tingkah yang lucu. Idealisme itu kemudian luntur dan dibenturkan oleh realita. Begitu lah kami, yang masih memiliki gagasan besar, namun kami akan sadar bahwa kami bias, bias, dan bisa mewujudkannya, demi bangsa yang mulia. Kegiatan haru ini ditutup dengan persembahan cinderamata dari peserta dan panitia. Saya membawakan lukisan dengan topeng wajah sebagian tertempel dikanvas. Saya berikan untuk menjadi cerminan bahwa 15 tahun Rumah Kepemimpinan, masih memiliki banyak tantangan dan harapan nantinya.


            Akhirnya kami berkemas dan bersalam-salaman, ada yang bertukar nomor telepon ada yang bersenda gurau dan sebagainya. Kawan-kawan Bogor, Bandung, Jogja, Medan, Makassar harus kembali ke wadah penggodokannya ini. Saya cukup puas dengan dua hari ini. Banyak hal yang baru dan mewarnai jalan pikiran saya. Bahkan hingga kini saya menjadi malu dan merasa bersalah jika masih belum bisa berbuat lebih untuk kebermanfaatan orang lain. Sekali lagi terima kasih benderaku, jaya selalu, terus tempa kami hingga menjadi manusia-manusia yang berguna bagi bangsa yang lebih bermartabat dibawah lindungan Allah pencipta alam semesta.
            Agenda saya selanjutnya adalah menetap selama dua hari di Jakarta utnuk langsung mengikuti kegiatan pengabdian masyarakat di Jogja. Saya dijemput Harrits pukul 15.00 dan langsung menuju rumah saudara Harrits, mas Bagos di daerah Sudirman. Pertemuan satu tahun lalu saat saya mengikuti tes penerimaan mahasiswa baru disini terulang kembali. Mas Bagos dengan segala kebaikannya menerima saya dan menganggap saya sebagai saudara sendiri. Hasrat ingin berjalan-jalan malam di Ibukota membara. Saya memutuskan untuk berjalan-jalan melepas beban ke Gramedia Matraman. Seperti biasa jika ke toko buku, mata saya tidak bisa terkontrol. Tangan ingin menyabet buku di rak kanan dan kiri melihat judul yang menarik dan membaca sinopsis. Akhir dari perjalanan saya adalah membeli buku terbaru Andrea Hirata Sirkus Pohon. Wow, judul yang menarik dan saya rasa imajinasi saya akan terbang bebas dengan buku ini saat sekilas membaca buku yang telah lepas plastiknya.


            Kami pulang malam hari ke rumah mas Bagos di Cibinong. Jauh saya rasa, badan serasa dilipat dalam koper dan diterjunkan dari langit Jawa. Tak panjang lebar kami bercerita malam itu, kami langsung menutup hari yang panjang ini. Pagi hari kami bersiap mandi pagi dan shalat Shubuh dengan air wudhu yang membangunkan kami. Eh, tapi gravitasi kasur lebih besar dari yang kami pikirkan, kami terlelap hingga pukul 10.00. Gupuh! Kami melihat jam. Langsung meloncat menuju supra fit milik Harrits kami meluncur menuju kampus UI yang sedang pertama kali masuk perkuliahan, wah tepat sekali saya pikir.
            Jalanan Depok yang semrawut ditambah cegatan polisi mingguan menambah kegelisahan kami pagi itu. Sampai parkiranpun kami mendapat posisi pojok disamping vespa klasik warna hijau tosca. Sedang si Harrits menemui jurusannya saya menemui kawan sejarah UI dan berbincang dengannya hingga siang hari. Tak lama kemudian saya berjenjian untuk bertemu dengan kawan yang dulu di UNAIR dan kini memakai Jakun UI dengan makara abu-abu itu.
            Puas bertemu kawan-kawan lama, kami menancap gas dan berlikuk di jalan Ibukota (lagi). Kali ini kami menuju jalan Ampera untuk sekadar berkunjung ke ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia). Saya sengaja mendatangi tempat ini untuk nanti keperluan studi saya dalam mencari sumber sejarah. Tepat kami sampai di tangga pusat layanan, si pak satpam memberitahu kami bahwa mereka telah tutup. Yah, namun saya mencoba mencari informasi terkait alur masuk dan peminjaman arsip disana. Kami lanjut dan makan bubur ayam di depan mini market tak jauh dari ANRI. 


       Malam membuntuti kami, rasanya rugi jika langsung pulang. Kami memarkir sepeda ke rumah mas Bagos lagi dan menuju halte bus transJakarta dan menuju Blok M. Suasana ibukota sepulang kerja semakin mendesak kami mendekat dengan pintu keluar. Awalnya kami akan turun di halte senayan untuk melihat gedung rakyat, namun tidak, kami tetap menuju koridor Blok M. Suasana perbelanjaan malam dan Kedai Filosofi Kopi menyilaukan mata saya. Harrits mengajak saya untuk ke lantai bawah dan melihat kaset dan buku klasik yang dijual disana. Rute pulang juga sama dengan awal kami berangkat, bahkan lebih, tidak hanya koper, tubuh saya serasa ditekuk di lemari es bagian bawah. Malam terakhir di ibukota ini menjadi haru dengan sejuknya kota Bogor tak jauh-jauh dari badan saya. Esok saya harus berangkat pagi menuju Stasiun Pasar Senen untuk mengejar kereta Gajah Wong pukul 06.45 menuju kota penuh kenangan Jogjakarta. Sudah, cukup banyak orang-orang baik yang saya temui pada kurang dari sepekan ini. Tak henti-hentinya mata, hati, dan telinga ini membuka dialog dengann orang-orang baru. Pintu rezeki terbuka, wawasan bertambah-tambah, dan pasti semangat untuk berkarya akan lebih menjulang tinggi.

Jakarta, entah kau akan jadi lahan kemahku nanti atau tidak, yang jelas kau sudah mempertemukan dengan orang-orang baik.




             

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JEJAK KULINER NUSANTARA JAWA TIMUR

makanansehat.biz                    Indonesia sebagai bangsa yang besar memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Perjalanan sejarah Indonesia sudah barang tentu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh bangsa-bangsa luar. Pengaruh itu meliputi keragaman dari banyak hal seperti halnya sistem pemerintahan, sistem sosial kemasyarakatan, sistem perekonomian, teknologi dan sebagainya. Namun juga terdapat suatu hal yang maenarik yaitu dengan adanya pengaruh dari pihak luar budaya tradisional bangsa Indonesia tidak tergantikan. Seperti halnya adat istiadat, norma, bahkan pada keragaman jenis makanan. Makanan sebagai suatu hasil dari kebudayaan manusia pertama-tama memiliki peran sebagai alat pemenuhan kebutuhan primer. Tidak hanya itu peran makanan dalam kehidupan manusia bahkan sampai pada ranah untuk kegunaan religuisitas. Hal itu tercermin dari kebudayaan Jawa yang banyak melakukan ritual-ritual adat dan makananpun menjadi hal yang tidak bisa dilepaskan [1] . Keberadaan makanan tra

PERKEMBANGAN FOLKLORE DI INDONESIA

www.folkloretravel.com Kebudayaan yang kini berkembang di masyarakat merupakan hasil pewarisan dari kebudayaan luhur terdahulu. Melalui banyak metode/cara tradisi masyarakat dapat tersalurkan dan terwarisi oleh generasi selanjutnya. Kebudayaan sendiri merupakan keseluruhan system, gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka menghidupi kehidupannya serta dijadikan sarana untuk belajar. Wujud dari kebudayaan itu antara lain ide/gagasan/norma/aturan/nilai yang kesemua itu menghasilkan wujud benda/fisik budaya. Kebudayaan hanya dapat berkembang di dalam masyarakat. Hal itu jelas bahwa tanpa adanya subyek yakni masyarakat tentu budaya tidak akan pernah ada dan berkembang. Di saat kebudayaan ini berkembang tentu menjumpai adanya budaya baru dari luar budaya induknya. Hal tersebut dapat menjadi salah satu kekuatan untuk mengakulturasi atau terjadinya proses percampuran budaya atau malah menjadi salah satu faktor untuk degradasi budaya (penurunan budaya). Folklore me

KOMIK STRIP TENTANG KERUSAKAN LINGKUNGAN